Irfan Abu Naveed
(Dosen, Peneliti Balaghah al-Qur’an & Hadits
Nabawi)
Maha Suci Allah Ta’ala yang berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ {٣١}
“Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Âli Imrân [3]: 31)
Ayat yang
agung ini, mengajarkan setiap hamba cinta hakiki pada Allah ‘Azza wa Jalla, cinta
yang tak sekedar hiasan lisan semata, namun cinta yang lahir dari keimanan
pada-Nya. Cinta (mahabbah) inilah cinta yang beralamat dan berbuah
ta’at. Mengingat cinta
itu bersyarat dan alamatnya adalah ta’at, sebagaimana isyarat Allah dalam ayat yang
agung ini: Dia mengawali pesan-Nya dengan kalimat syarat, ditandai keberadaan in
syarthiyyah, yang menjadikan perbuatan ittibâ’ kepada Rasulullah ﷺ,
sebagai bukti kecintaan kepada-Nya, ditunjukkan oleh sikap ta’at pada Allah dan
Rasul-Nya. Sebaliknya, pelakunya akan diganjar dengan ganjaran yang sangat
istimewa, yakni rahmat dan ampunan-Nya, sejalan dengan uraian para ulama
mu’tabar yang berbicara dalam topik al-mahabbah.
Cinta inilah yang mendorong pada
keta’atan meniti jalan kebenaran dan istiqamah di atasnya:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ
وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ
ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {١٥٣}
“Dan bahwa (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa.”
(QS. Al-An’âm [6]: 153)
Rasulullah ﷺ pernah membuat garis di depan para sahabatnya dengan satu garis
lurus di atas pasir, sementara di kanan kiri itu beliau menggariskan
garis-garis yang banyak. Lalu beliau ﷺ bersabda, “Ini adalah
jalanku yang lurus, sementara ini adalah jalan-jalan yang di setiap pintunya
ada syaithan yang mengajak ke jalan itu.” Kemudian Nabi ﷺ membaca QS. Al-An’âm [6]: 153 yang memerintahkan kita mengikuti
jalan yang lurus serta melarang untuk mengikuti jalan yang lain. Kalimat (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) dalam ayat ini, menunjukkan hikmah dibalik seruan tersebut,
yakni sebagai realisasi ketakwaan pada-Nya. Dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي
كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ»
“Barangsiapa
yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja
yang mencintaiku, maka ia pasti bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR.
Al-Tirmidzi, al-Thabrani)
Hadits
yang agung ini, mengandung informasi berharga bagi mereka yang mengaku
mencintai Sayyid al-Mursalîn Muhammad al-Mushthafa ﷺ, wajib dibuktikan dengan menghidupkan sunnah nabi ﷺ.
Lafal ahyâ dalam
ungkapan man ahyâ sunnati, berkonotasi “menghidupkan”, yang
diuraikan para ulama yakni dengan mempelajari, mengamalkan, meneladani, mendakwahkan
dan membelanya dari segala bentuk tikaman dan penyimpangan, sebagaimana
dituturkan oleh Imam
Izzuddin al-Shan’ani (w. 1182 H) dalam Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr (X/55).
Lafal
sunnati, berkonotasi thariqi, yakni jalan hidupku, mencakup
seluruh ajaran-ajaran yang beliau gariskan untuk umatnya, baik berupa ucapan (qauliyyah),
perbuatan (fi’liyyah) yang dicontohkan Rasulullah ﷺ bagi
umatnya. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) dalam Al-Nihâyah fi Gharib
al-Hadîts (II/409) menguraikan: Sunnah asalnya bermakna thariqah (metode)
dan sirah (jalan hidup), dan disebutan secara syar’i, yang dimaksud
dengannya adalah apa-apa yang Nabi ﷺ perintahkan,
dan beliau ﷺ larang, serta puji baik berupa perkataan,
maupun perbuatan, selain ungkapan ayat al-Qur’an.
Secara
umum, gambaran
hidup Rasulullah ﷺ
menggambarkan keteladanan praktis penegakkan Islam secara totalitas (kâffah)
dalam seluruh aspek kehidupan, dari mulai kehidupan pribadi, keluarga, hingga
kehidupan bermasyarakat dan bernegara; dari mulai perkara syahadat, shalat, dakwah,
hingga urusan imâmah (kepemimpinan) dan siyâsah (politik).
Adanya sunnah dalam kepemimpinan politik pun ditunjukkan secara jelas (dalalah
lafzhiyyah) oleh lisan yang mulia Rasulullah Saw, dari Hudzaifah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
“Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti
manhaj kenabian.” (HR Ahmad dan al-Bazzar)
Dalam hadits yang dinilai shahih oleh al-Hafizh al-‘Iraqi
(w. 806 H) ini, terdapat kalimat ’alâ minhâj al-nubuwwah yang
menunjukkan adanya sifat istimewa kepemimpinan dalam Islam. Al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam Syarh Misykât
al-Mashâbîh (VIII/3376) menjelaskan:
(على منهاج النبوة) أي: طريقتها الصورية والمعنوية
“(Di
atas manhaj kenabian) yakni metodenya baik tersurat maupun tersirat.”
Ini menegaskan adanya manhaj salafunâ
al-shâlih menegakkan kehidupan Islam dalam naungan Kekhilafahan yang menjadi
pengganti kenabian dalam memelihara Din ini; menjadikan akidah Islam sebagai
fondasi dan syari’at Islam sebagai konstitusinya. Itu semua jelas wajib diteladani, dari Al-’Irbadh bin
Sariyah r.a. ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku,
dan sunnah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (khalifah empat yang
mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang
kuat.” (HR. Ahmad,
Ibn Majah)
Rasulullah ﷺ meminjam
istilah gigitlah dengan gigi geraham yang kuat, sebagai kiasan (al-isti’ârah)
konsistensi berpegang teguh terhadap sunnah, yakni jalan hidup
Rasulullah ﷺ dan al-Khulafâ’
al-Râsyidûn, dimana diksi al-khulafâ’ berkaitan erat dengan
kepemimpinan politik, menunjukkan cakupan sunnah dalam membangun
kehidupan politik umat.
Hingga relevan jika salah
satu sunnah para al-khulafâ’ al-râsyidûn -digambarkan Syaikh
Abdullah al-Dumaiji dalam al-Imâmah (hlm. 51-52)- yakni menjaga estafeta
kekhilafahan dari masa ke masa demi menegakkan Islam dalam kehidupan, maka
wajib meniti jalan mereka berdasarkan perintah Nabi ﷺ, dimana
mengikuti perintah Nabi ﷺ merupakan perintah Allah, sekaligus bukti kecintaan pada-Nya.
Dalam atsar yang diriwayatkan Imam
al-Ajurri dalam al-Syarî’ah (I/298), Ibn Mas’ud r.a. berkata dalam
khutbah-nya: “Wahai manusia, kalian wajib berpegang teguh pada
keta’atan dan al-jama’ah, karena sesungguhnya ia adalah tali Allah dimana Allah
memerintahkan untuk (berpegangteguh) padanya, apa-apa yang kalian benci ada
pada al-jama’ah, lebih baik daripada apa-apa yang kalian cintai di atas
perpecahan.”
Pesan-pesan agung dalam
nas di atas mewajibkan kita terikat pada manhaj Rasulullah ﷺ menjalani kehidupan, termasuk dalam upaya menegakkan Islam
dalam kehidupan. Catatan-catatan perjuangan
sarat makna dari para sahabat, menggambarkan benar cinta mereka pada Allah dan
Rasul-Nya.
Di sisi lain, Allah pun
memperingatkan kaum Muslim atas sikap menyalahi perintah Rasulullah ﷺ dengan musibah dan azab yang pedih (QS. Al-Nûr [24]: 63),
didukung dalil-dalil al-Sunnah yang secara tegas melarang kaum Muslim
menyimpang dari jalan Rasulullah ﷺ, meskipun hanya seutas rambut.
Sebagaimana Allah pun memperingatkan dari cinta yang salah alamat (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
Bagaimana mungkin mengaku cinta pada
Allah dan Rasul-Nya namun mati-matian membela sistem kehidupan yang
bertentangan dengan Islam? Terlebih tidak, dengan memusuhi Khilafah dan
syari’ah yang jelas bagian dari ajaran Islam. Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) dalam Bahr al-Dumû’ (hlm. 28)
memperingatkan:
تعصى الإلٰه وأنت تزعم حبه * هذا محال في القياس بديع
لو كان حبك صادقًا لأطعته * إن المحب لمن يحب مطيع
“Engkau bermaksiat kepada Allah tapi mengaku
mencintai-Nya # Ini sangat mustahil dalam suatu pengukuran.”
“Jika cintamu benar maka sungguh engkau akan mena’ati-Nya
# Karena sesungguhnya seorang kekasih itu ta’at kepada yang dicintainya.”
Comments
Post a Comment