Skip to main content

Dialog LGBT: Ilusi Kaum Liberal VS Solusi Kaum Intelektual

 Oleh: Irfan Abu Naveed

[Penulis Buku LGBT: Ilusi Kaum Liberal VS Solusi Kaum Intelektual]

1.       Ust, LGBT itu sunnatullah atau penyimpangan?

LGBT sebagai akronim dari Lesbian, Gay, Biseksual and Transgender, jelasnya termasuk disorientasi seksual. Al-Qur’an bahkan menggambarkan praktik liwâth (sodomi) yang dilakukan kaum gay atau biseksual sebagai perilaku melampaui batas:

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ {٨١}

Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’râf [7]: 81)

Kalimat (بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ) menunjukkan celaan atas perbuatan liwâth (sodomi homoseksual), yakni perbuatan melampaui batas atau dengan kata lain perbuatan zhalim yang menyalahi fitrahnya. Hingga dikabarkan bahwa Nabi Luth a.s. pun memohon pertolongan kepada Allah dari kerusakan kaumnya ini (QS. Al-’Ankabût [29]: 30).

Bukan hanya itu, al-Qur’an pun menyebut perbuatan tersebut tidak berakal (QS. Hûd [11]: 78), sangat keji dan kotor (QS. Al-’Ankabût [29]: 28), begitu pula praktik lesbianisme termasuk perbuatan sangat keji dan kotor (QS. Al-Nisâ’ [4]: 15). Ini belum berbicara tentang berbagai peringatan dan celaan hadits-hadits Rasulullah Saw yang berkaitan erat dengan realita perilaku LGBT. Perbuatan liwâth dalam hadits misalnya, digambarkan sebagai perbuatan terla’nat, wajib dikenai sanksi hadd hukuman mati, pelakunya pun tidak ‘dilihat’ Allah, dan berbagai celaan lainnya, itu semua cukup menjadi dalil keharamannya dan cukup menunjukkannya sebagai penyimpangan dari aturan Allah yang memanusiakan manusia.

2.       Ada yang berdalil bahwa LGBT itu sunnatullâh, bahkan berargumentasi dengan dalil Qur'an dan Hadits, dimana letak kekeliruannya?

Ketika sudah jelas LGBT merupakan penyimpangan dalam perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah, maka tidak ada celah dibenarkan dengan dalih ia adalah sunnatullâh, karena Allah tidak pernah meridhai kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan setiap hamba-Nya. Terlebih, perilaku liwâth pun menjadi salah satu hal yang paling dikhawatirkan Nabi Saw:

«إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ»

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibn Majah)

Jika ia bisa dibenarkan dengan dalih sunnatullâh, maka tidak mungkin dikhawatirkan Nabi Saw, sebaliknya, segala sesuatu yang dikhawatirkan Nabi Saw atas umatnya bisa dipastikan keburukan dan bahayanya. Maka relevan jika keharaman LGBT pun disepakati, al-Imam al-Shan’ani (w. 1182 H) dalam Subul al-Salâm (III/138) misalnya, menegaskan bahwa praktik liwâth keharamannya pasti, tidak ada ruang ijtihad di dalamnya, terlebih penyebutan ancaman dalam hadits atas praktik liwâth tidak perlu diketahui dengan ijtihad.

لا اجتهاد مع النص

“Tidak ada ruang ijtihad dalam nas (yang pasti).”

Benarlah sya’ir para ulama:

وليس كل خلاف جاء معتبراً ٭ إلا خلافاً له حظ من النظر

"Tidak setiap perbedaan pendapat merupakan hal yang diakui * melainkan perbedaan yang memiliki celah peninjauan (memungkinkan multipenafsiran)."

3.       Dalih dan dalil apa yang sering dipakai kaum sekular membela LGBT? Dan dimana letak kesalahannya?

Kaum liberalis sekularis dengan visi liberalisasi kehidupan, terbukti melegitimasi LGBT dengan beragam macam dalih, di antaranya jaminan HAM (hak asasi manusia) dan kebebasan berekspresi ala Demokrasi, di samping dalih bahwa LGBT adalah takdir (given from God); dalam harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post, (Jum’at, 28/3/2008) diterbitkan berita bertajuk Islam ‘Recognizes Homosexuality’, yang mengklaim bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan Tuhan, sehingga diklaim diperbolehkan Islam, dan tidak ada alasan menolaknya. Tulisan ini pun menukil Siti Musdah Mulia dalam Indonesia Conference of Religions and Peace yang mengutip al-Qur’an Surat al-Hujurat sebagai dalih bahwa salah satu nikmat bagi manusia adalah semua laki-laki dan perempuan setara, tanpa memandang suku, kekayaan, posisi sosial atau bahkan orientasi seksual.

Tak hanya Musdah, Aan Anshori dalam salah satu program acara TvOne, Fakta, yang mengangkat tajuk LGBT Antara HAM dan Agama, pada Senin (8/1/18) malam, mengeluarkan statemen-statemen yang kontroversial, menyoal umat Islam, al-Qur’an, Tuhan dan LGBT: Ia mengklaim bahwa LGBT merupakan given, pemberian Tuhan, sebagaimana pemberian Tuhan kepada seorang perempuan atau laki-laki untuk mencintai lawan jenis, maka Tuhan pun memiliki kekuasaan untuk menciptakan ”rasa” pada sesama jenis, tidak semua laki-laki suka perempuan. Aan, berdalih dengan dalil uli al-irbat min al-rijâl (أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ) dalam QS. Al-Nûr [24]: 31.

Bukan hanya itu, laknat dan adzab Allah atas kaum Luth dalam al-Qur’an pun mereka framing itu semua terjadi karena tindak pemerkosaan -adanya paksaan- sesama jenis, bukan semata-mata karena perbuatan liwâth-nya. Dalih-dalih yang ada, jelasnya cacat logika baik logika syar’i maupun akal sehat.

4.       Ada yang berdalil bahwa perlu dibedakan antara kelamin dengan gender, dengan logika tersebut akhirnya membenarkan LGBT, dimana letak kekeliruannya?

Bahkan para penyokong LGBT membedakan antara identitas kelamin, identitas gender, dan identitas seksual, untuk sampai pada kesimpulan bahwa itu semua adalah identitas yang harus diakui keberadaannya, menjadi bagian dari hak asasi manusia dan kebebasan privasi yang harus dihargai. 

Gender didefinisikan belakangan sebagai konsep peran, status dan fungsi sosial, sedangkan kelamin lebih kepada bentuk, sifat, dan fungsi biologis antara laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya eneruskan garis keturunan. Konsep di atas, kalau pun dibenarkan, maka sama sekali tidak bisa membenarkan penyimpangan disorientasi seksual ala LGBT, mengingat penyimpangan LGBT bertentangan secara asasi dengan syari’at Allah yang menciptakan manusia itu sendiri:

 كل ما بني على باطل فهو باطل

“Segala hal yang dibangun di atas asas yang batil maka ia pun batil.”

Terlebih perbedaan kodrati fisik laki-laki dan perempuan, sejatinya difungsikan untuk saling melengkapi dalam melestarikan keturunan umat manusia itu sendiri. Realitanya, disorientasi seksual LGBT secara kodrati mengancam kelestarian umat manusia, sebagaimana LGBT pun menjadi salah satu penyumbang terbesar angka penyakit HIV/AIDS di samping penyakit-penyakit kelamin lainnya. Namun yang paling asasi adalah: LGBT jelas keharamannya berdasarkan nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah (al-nuqûl) bukan akal-akalan manusia (munâsabat al-’uqûl) yang terbatas:

وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ {٢١٦}

Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Benarlah ungkapan:

إن الدين مبني على النقول لا على مناسبة العقول

“Sesungguhnya Din ini dibangun di atas asas dalil nukilan (al-Qur’an dan al-Sunnah), bukan pada apa yang sesuai dengan akal pikiran (hawa nafsu).”

5.       Frame logika apa yang melatarbelakangi pembelaan mereka pada LGBT?

Segala hal yang melemahkan konsistensi umat Islam pada Islam, pada prinsipnya melemahkan kekuatan umat Islam itu sendiri, karena Islam adalah sumber kekuatan dan kemuliaannya. Pembenaran atas LGBT yang jelas-jelas diharamkan Islam, menjadi pengejawantahan paham Liberalisme, Demokrasi dan HAM. Ketika paham-paham menyimpang ini mengotori pemahaman umat Islam, ibarat penyakit yang mengotori darah akan menyebabkan sakit pada tubuh, sakit pada tubuh melemahkan bahkan berujung pada kematian. Umat yang lemah, akan mudah dikuasai oleh penjajah (imperialis), disetir memuaskan kepentingan mereka.

6.       Bagaimana Islam mendudukkan LGBT?

LGBT dipandang sebagai bentuk penyimpangan fitrah yang harus diluruskan, penyakit yang harus disembuhkan, dan keburukan yang harus dicegah. Maka Islam hadir meluruskan, mengobati serta mencegahnya menjangkiti masyarakat luas dengan solusi praktis dan ideologis.

7.       Bagaimana cara Islam mencegah LGBT?

Islam mencegah LGBT dengan solusi paradigmatik, praktis dan sistemik. Secara paradigmatik, Islam mencegah tersebarnya LGBT dengan menutup pintu-pintu yang mengantarkan pada LGBT. Islam mengharamkan perilaku LGBT, sebagaimana Islam pun mengharamkan perilaku menyerupai lawan jenis, mengharamkan laki-laki atau perempuan tidur dalam kasur yang sama dengan sejenisnya (ahkâm al-mudhâja’ah).

8.       Apa yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk memerangi LGBT ini?

Masyarakat harus satu pemikiran dan perasaan memandang LGBT sebagai suatu masalah yang harus diatasi, penyakit yang wajib diobati dan keburukan yang wajib dicegah, sehingga mereka akan aktif melakukan kontrol sosial, poin ini sangat penting, sebagaimana digambarkan sya’ir yang dinukil al-Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihyâ’ ’Ulûm al-Dîn (juz I, hlm. 77):

عرفتُ الشرّ لا للشرّ * لكن لتوقيه

ومن لا يعرف الشرّ * من الناس يقع فيه

“Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri darinya.”

“Dan barangsiapa tidak mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus ke dalamnya.

9.       Dengan massifnya kampanye LGBT, bagaimana seharusnya peran Negara dalam hal ini?

Negara wajib memelihara (ri’aayah) masyarakat dengan Islam dan melindungi mereka dari keburukan (junnah), Negara wajib melarang kampanye LGBT.

10.   Apa hukuman bagi kaum LGBT dalam Islam?

Sanksi hukum Islam yang wajib ditegakkan oleh Khalifah (atau yang mewakilinya) atas pelaku LGBT, jelasnya dirinci sesuai dengan jenis penyimpangannya itu sendiri: (1) Lesbian disanksi sanksi ta’ziir, begitu pula pelaku transgender dan orang yang menyerupai lawan jenis; (2) Gay atau biseksual pelaku liwâth jelasnya disanksi hadd hukuman mati, dengan bentuk hukuman mati dibakar (pendapat Ali bin Abi Thalib r.a.) atau dilemparkan dari tempat yang paling tinggi secara terbalik diikuti oleh rajam (lemparan batu) hingga ia mati (pendapat Ibn Abbas r.a.). Berdasarkan dalil:

«مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاِعَلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ»

“Siapa saja di antara kalian menemukan seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka hukum mati lah subjek dan objeknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim)

Dalil di atas menunjukkan keumuman dengan menggunakan lafal man, tidak ada pengkhususan muhshân (menikah) atau ghayr muhshân (tidak menikah), melainkan wajib dihukum dengan sanksi yang sama yakni dihukum mati. ijmâ’ sahabat sepakat mengenai sanksi untuk pelaku liwâth dibunuh. Hanya, para sahabat berbeda cara dalam melakukan pembunuhan tersebut. Ada yang dirajam, dibakar, dilempar dari bangunan tinggi dan sebagainya.[1] Ibn ’Abbas r.a. misalnya, menyatakan bahwa pelaku liwâth dibawa ke tempat yang paling tinggi lalu dilemparkan dengan posisi terbalik dari tempat tersebut lalu dilempari batu.[2] Ibn ’Abbas r.a. ditanya apa sanksi had bagi pelaku liwath? Ia berkata:

يُنْظَرُ إِلَى أَعْلَى بِنَاءٍ فِي الْقَرْيَةِ، فَيُرْمَى اللُّوْطِيُّ مِنْهُ مُنَكِّبًا، ثُمَّ يُتَّبَعُ بِالْحِجَارَةِ

“Ia (pelaku gay) dinaikkan ke atas bangunan yang paling tinggi di satu kampung, kemudian dilemparkan darinya dengan posisi pundak di bawah, lalu dilempari dengan bebatuan.”[3]

Adapun ’Ali bin Abi Thalib r.a. memandang pelaku liwâth dihukum dengan cara dibakar.[4] Dalam keterangan lain, menurut ’Ali bin  Abi Thalib r.a. yakni dirajam dan dibakar.[5]

 



[1] Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual, hlm. 234-235.

[2] Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Ma’rifat al-Sunan wa al-Âtsâr, juz XII, hlm. 312.

[3] Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (no. 28925), dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ (no. 17480).

[4] Ibid, hlm. 314

[5] Ibid.

Comments

Popular posts from this blog

Balaghah Hadits [4]: Ganjaran Agung Menghidupkan Sunnah Kepemimpinan Islam

Kajian Hadits: Man Ahya Sunnati Oleh: Irfan Abu Naveed [1] S alah satu dalil al-Sunnah, yang secara indah menggambarkan besarnya pahala menghidupkan sunnah, termasuk di antaranya sunnah baginda Rasulullah ﷺ dalam hal kepemimpinan umat (imamah) adalah hadits dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah ﷺ bersabda:   «مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ» “Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja yang mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Marwazi, al-Thabarani, al-Lalika’i, Ibn Baththah dan Ibn Syahin) Keterangan Singkat Hadits HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan- nya (no. 2678, bab بَابُ مَا جَاءَ فِي الأَخْذِ بِالسُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ البِدَعِ ), ia berkata: “Hadits ini hasan gharib dari jalur ini.”; Abu Abdillah al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadr al-Shalât (no. 714); Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath (no. 9439); Al-Lalika’i d

Mendudukkan Hadits “Aku Diutus untuk Menyempurnakan Akhlak yang Mulia”

Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I A.   Mukadimah Di zaman ini umat islam seringkali disuguhkan dengan berbagai syubhat yang cukup mengkhawatirkan karena merusak pemahaman dan lebih jauh lagi amal perbuatan. Dan di antara syubhat yang berbahaya dan nyata bahayanya adalah kekeliruan memahami hadits-hadits yang mulia untuk menjustifikasi pemahaman yang salah sehingga malah bertentangan dengan maksud dari hadits-hadits itu sendiri, menjauhkan umat dari perjuangan menegakkan syari’at Islam kâffah dalam kehidupan. Di antaranya hadits-hadits yang berkaitan dengan diutusnya Rasulullah – shallallâhu ‘alayhi wa sallam - untuk menyempurnakan akhlak yang mulia: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ “ Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. ” Beberapa waktu yang lalu, dalam diskusi mengenai kitab Nizham al-Islam salah satu panelis menjadikan hadits tentang akhlak sebagai dalil untuk menolak wajibnya menegakkan Negara Islam, Khilafah Islamiyyah.

Soal Jawab Mengenai Adopsi Penemuan Barat, Epistemologi Islam & Barat

Pertanyaan Bagaimana seorang muslim merespon temuan-temuan Barat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berbasis empiris? Jelaskan apa yang dimaksud dekonstruksi epistemologi Islam dan apakah hal ini diperlukan masyarakat muslim hari ini? Apa yang anda pahami tentang epistemologi Barat dan apakah ada titik temu antara epistemologi Barat dan epistemologi Islam? Jawaban Soal Ke-1:   Bagaimana seorang muslim merespon temuan-temuan Barat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berbasis empiris? Jawaban Penemuan-penemuan Barat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berbasis empiris, semisal ilmu teknologi, boleh kita adopsi. Hal itu sebagaimana dijelaskan para ulama, di antaranya al-‘Allamah Taqiyuddin bin Ibrahim (w. 1977) dalam kitab Nizhâm al-Islâm, bab. Al-Hadhaarah al-Islaamiyyah. Ilmu pengetahuan yang berbasis empiris misalnya ilmu penyerbukan dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik  - radhiyaLl â hu 'anhu - : أَنّ النَّبِيَّ  -صل