K |
eimanan membuahkan sikap tegas menunjukkan kemuliaan
Islam di atas kebatilan dan pengembannya, hingga sinarnya mampu menyinari
gelapnya jalan-jalan kebatilan yang menjerumuskan manusia ke dalam lembah
kehinaan. Bukankah Allah menurunkan risalah Islam untuk dimenangkan atas
seluruh agama? Bukankah baginda Rasulullah Saw dan para sahabat pantang mundur
memenangkan Islam?
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ
بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ
الْمُشْرِكُونَ {٩}
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk
dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama
meskipun orang musyrik membenci.” (QS. Al-Shaff
[61]: 9)
Kata
kerja arsala, jelas berkaitan dengan tanggung jawab mengemban risalah, mengunggulkan
kebenaran Islam di atas segala bentuk kebatilan. Sebaliknya, lemah terhadap kebatilan
adalah kemungkaran, berujung menyamarkan kebenaran yang terang benderang
bagaikan rembulan di tengah kegelapan malam. Dasarnya jelas, karena Allah
mengutus Rasulullah Saw dengan al-hudâ (petunjuk) dan dîn al-haqq (din
yang benar), mengisyaratkan bahwa risalah Islam adalah risalah petunjuk kepada
satu-satunya jalan kebenaran, dimana Allah senantiasa memilih diksi sabiil dalam
bentuk mufrad (satu jalan), tidak berbilang.
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ
بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {١٥٣}
“Dan bahwa (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa.” (QS. Al-An’âm
[6]: 153)
Keadaan mereka, seperti apa yang dituturkan penyair:
وَمَا الدِّيْنُ
إلاّ وَاحِدٌ وَالّذِي نَرَى ٭ ضَلاَلاَتِ أَتْبَاعِ الهَوَى تَتَقَارَعُ
ومَا تَرَكَ
المُخْتَارُ أَلْفَ دِيَانَةٍ ٭ وَلاَ جَاءَ فِيْ القُرْآنِ هذا التَّنَازُع
فَيَا لَيْتَ
أَهْلُ الدِّيْنِ لَمْ يَتَفَرَّقُوْا ٭ وَلَيْتَ نِظَامُ الدِّيْنِ للكُلِّ جَامِعٌ
“Tidaklah Din
melainkan satu saja, dan yang kita lihat * berbagai kesesatan pengikut hawa
nafsu berkecamuk”
“Dan tidaklah sang pilihan (Nabi Saw) meninggalkan seribu agama * Tiada
pula ajaran berpecah belah ini dalam al-Qur’an.”
“Andai para orang beragama tidak berpecah belah * Andai sistem Din ini
menyatukan seluruhnya.”
Apa hikmah dan tujuan diturunkannya risalah Islam? Adanya
laam al-ta’lîl pada liyuzhhirahu-, menunjukkan bahwa Allah
akan senantiasa mengunggulkannya di atas segala agama, hattâ kaum Kuffâr
membencinya. Kalimat wa law kariha al-musyrikûn, mengisyaratkan bahwa
tidak ada kompromi bagi unggulnya Islam dalam kehidupan. Lantas, bagaimana
mungkin seorang muslim menghinakan dirinya di bawah kaki kebatilan dan
pengembannya? Rela memarjinalkan peranan Islam dalam kehidupan dengan menolak
penerapan hukum-hukumnya, demi mencari keridhaan mereka yang tak beriman?
Mengunggulkan
Islam adalah menampakkan syi’ar-syi’arnya, mengamalkan ajarannya dalam seluruh
aspek kehidupan, mendakwahkannya tanpa kecuali, tanpa kompromi hingga dakwah
memasuki setiap pelosok bumi, tidak apalagi bermanis muka menjilat para penyeru
kebatilan, demi meraih seonggok dunia yang Allah berikan kepada mereka sebagai istidrâj[an]
(penurun derajat), hingga ditimpa berbagai kehinaan. Prinsip ini pun
tergambar dalam atsar Umar bin
al-Khaththab r.a. –sebagaimana diriwayatkan al-Hakim- yang menjadikan Islam
sebagai sumber kemuliaannya:
«إِنَّا قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ
بِالإِسْلامِ فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ»
“Kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam, maka
kami takkan pernah mencari kemuliaan dengan selainnya.”
Kemuliaan Milik Allah, Kehinaan Bagi yang Menyelisihi-Nya
Adalah Islam satu-satunya
jalan kemuliaan, dimana kemuliaan kembali kepada Allah:
وَللهِ الْعِزَّةُ
وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ {٨}
“Dan bagi Allah kemuliaan itu, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang yang beriman.”
(QS. Al-Munâfiqûn [63]: 8)
Dalam ayat yang agung ini, Allah menisbatkan secara
khusus (qashr) kemuliaan hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman. Dimana keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi sebab
kemuliaan (al-’izzah), yakni kemuliaan dengan turunnya pertolongan Allah
bagi orang yang beriman menghadapi musuh-musuhnya, hingga meraih kemenangan,
sebagaimana diuraikan al-Tsa’labi dalam Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr
al-Qur’ân (IX/322). Relevan dengan paradigma Islam adalah Din yang mulia, tiada yang lebih mulia
darinya, Ibn Abbas r.a. –sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari dan al-Thahawi- menuturkan
:
«الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى»
“Islam itu mulia, tiada
yang lebih mulia darinya.”
Dimana umat yang mulia, wajib menjemput kemuliaannya
dengan jalan dakwah:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ {١١٠}
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.”
(QS. Âli Imrân [3]: 110)
Ayat yang agung ini, turun berkenaan dengan klaim kaum
Yahudi, Malik bin al-Shaif dan Wahhab bin Yahudza dihadapan Ibn Mas’ud r.a.,
Ubay bin Ka’ab r.a., Mu’adz bin Jabal r.a. dan Salim r.a. mawla Abi
Hudzaifah r.a.. Keduanya mengklaim, ”Sesungguhnya agama kami (Yahudi), lebih
baik daripada apa yang kalian dakwahkan kepada kami, dan kami lebih baik serta
lebih utama daripada kalian.” Maka turunlah ayat yang agung ini, sebagai
jawaban dan bantahan telak atas klaim kaum Yahudi, sebagaimana diuraikan oleh
Ikrimah dan Muqatil.
Allah
menjelaskan kedudukan kaum Muslim sebagai umat terbaik, selama mereka menyuruh
kepada yang ma’ruf, melarang dari yang mungkar dan beriman kepada Allah, dengan
keimanan yang benar. Dimana perbuatan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang
dari yang mungkar, disebutkan terlebih dahulu sebelum keimanan kepada Allah,
hal itu karena keduanya (dakwah) merupakan sejelas-jelasnya bukti keutamaan
umat Islam atas umat-umat lainnya. Dengan kata lain, kemuliaan ini akan berada
di tangan kaum Muslim selama mereka beriman, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
melarang dari yang mungkar.
Sebaliknya, kehinaan bagi mereka yang menyalahi jalan
Islam:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا
لَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ {١١٣}
“Dan janganlah kamu
cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan api neraka
menyentuhmu, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain
daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hûd [11]: 113)
Kalimat “fatamassakum
al-nâr”, dalam ’ilm al-bayân merupakan bahasa kiasan yang dipinjam (majâz
al-isti’ârah), seakan-akan api secara aktif menyambar dan membakar manusia,
sebagai bentuk peringatan kepada manusia yang berakal agar sekali-kali tidak
condong kepada kezhaliman itu sendiri, karena kalimat “wa lâ tarkanû ilâ
alladzîna zhalamû” menisbatkan larangan condong kepada pelaku kezhaliman
hakikatnya larangan kepada perbuatan zhalim itu sendiri (al-majâz al-mursal
bi al-’alâqah al-sababiyyah), karena pelaku kezhaliman adalah sumber
kezhaliman, siapapun orangnya, apapun jenis dan bentuk kezhalimannya.
Apakah kezhaliman
menyekutukan Allah dengan makhluk yang hina (QS. Luqmân [31]: 13), atau
kezhaliman mengabaikan hukum-hukum Allah dalam kehidupan (QS. Al-Mâ’idah [5]:
45). Dimana kecendrungan ini hukumnya haram, karena dalam ilmu ushûl
al-fiqh, adanya ancaman siksa neraka dalam ayat ini menjadi indikasi tegas
keharaman (qarînah jâzimah li thalab al-tark). Jika cenderung kepada
individu-individu saja terlarang ditandai adanya dukungan kepada kezhalimannya,
maka perkaranya lebih besar lagi (min bâb al-awlâ) jika cenderung kepada
agama, keyakinan, sistem kehidupan yang jelas-jelas menggagas kezhaliman bahkan
melegitimasinya, seperti sistem kufur Demokrasi, ekonomi Neo Liberalisme, dan
yang semisalnya (lihat: QS.
Âli Imrân [3]: 19).
Comments
Post a Comment