[Koreksi Atas Klaim Menyoal Al-Qur’an dalam Perspektif
Islam][1]
Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I[2]
Salah satu topik yang sudah selesai dibahas oleh para
ulama Islam lintas madzhab dari generasi ke generasi adalah topik berkenaan
dengan hukum tahni’ah (ucapan selamat) atas perayaan agama lain, salah
satunya perayaan Natal yang dirayakan oleh umat kristiani. Sayang beribu-ribu
sayang, kejelasan hukum tersebut rupa-rupanya dikaburkan oleh segelintir orang
di zaman ini, dengan beragam dalih yang lemah, tidak relevan, dan jelas
kekeliruannya secara ushuli, salah satu landasan asasi asumsinya adalah pendalilan
berdasarkan ayat ini:
وَالسَّلَامُ
عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا {٣٣}
“Dan
kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari
aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam [19]: 33)
Tanggapan
Ayat yang mulia
ini bukanlah dalil adanya ucapan “selamat natal” dalam al-Qur’an, berdasarkan
runutan argumentasi berikut ini:
A. Kritik
Metodologis
Hukum seorang muslim mengucapkan “selamat natal”
kepada umat kristiani, wajib bertolak dari pemahaman yang benar atas hakikat
natal dan hakikat ucapan selamat itu sendiri, untuk kemudian dinilai apakah
sesuai dengan pesan di balik QS.
Maryam [19]: 33-36 atau tidak, untuk memenuhi rukun istinbaath al-hukm:
(1) Fahm al-waaqi’ (tahqîq al-manath), yakni
memahami objek yang dihukumi secara komperhensif, tidak parsial; Menghukumi
ucapan selamat natal misalnya, maka wajib bertolak dari pemahaman yang benar atas
perayaan natal dan hakikat ucapan selamat dalam tradisi lisan manusia, menyeluruh dan tidak parsial, sesuai kaidah:
الحكم على الشيء فرع عن تصوره
“Penghukuman atas sesuatu merupakan cabang dan
penggambaran (realitanya).”[3]
Dimana kaidah ini pun berlaku sebagai salah satu syarat
benarnya suatu fatwa atas suatu permasalahan hukum, sebagaimana disebutkan Ibn
al-‘Utsaimin (w. 1421 H) dalam ilmu ushul.[4]
Bahwa realita yang dipertanyakan harus dipahami dalam bentuk gambaran utuh (tashawwur[an]
tâmm[an]), agar seorang mufti bisa menghukuminya.[5]
Hasil tahqîq al-manath ini kemudian dihukumi berdasarkan pedoman hukum Islam (mashâdir
al-ahkâm al-syar’iyyah);
(2) Fahm al-nushûsh al-shahîh, yakni memahami
dengan benar nas-nas syara’ yang menjadi dalil hukum syari’at, sebagaimana kaidah yang digunakan para ulama salaf dan
khalaf:
الحكم على الواقع من وجهة
نظر الإسلام
“Upaya menghukumi
realita berdasarkan sudut pandang Islam.”[6]
Berdasarkan sudut pandang Islam, yakni berdasarkan sumber
pedoman hukum Islam (baca: ushûl al-syarî’ah) yang disepakati (muttafaqun
’alayhâ), dalam ilmu ushul fikih mencakup: (a) Al-Qur’an; (b) Al-Sunnah; (c)
Ijma’; (c) Qiyas.
(3) Kayfiyyat al-Istidlâl al-shahîhah, yakni
tatacara yang benar dalam berdalil, mengaitkan dalil atas objek yang dihukumi,
ditopang kaidah-kaidah mapan penggalian dalil dalam ilmu ushûl al-fiqh.
Jika tak terpenuhi salah satu rukun di atas, maka
kesimpulan hukum yang ada pun jelas batil, batal dengan sendirinya. Tidak cukup
berbekal tafsir atas satu ayat, lalu darinya dibangun kesimpulan prematur
bertolak dari logika prematur (baca: tidak mapan). Dalam menarik kesimpulan
hukum atas suatu fenomena, tidak cukup mendasarkan pada tafsir ayat semata.
B. Hukum Mengucapkan Selamat Atas Perayaan
Agama di Luar Islam
1.
Realita
Perayaan Natal & Ucapan Selamat dalam Tradisi Lisan Manusia
Realitanya, perayaan natal bagi pemeluknya merupakan
ekspresi (tashawwur) dari keyakinan mereka atas Yesus yang jelas berbeda
dengan keyakinan Islam menyoal Nabiyullah Isa bin Maryam a.s., perayaan ini
sudah barang tentu tidak bisa dipisahkan dari keyakinan pemeluknya, sama halnya
dengan keyakinan umat Islam atas perayaan ‘Id al-Fithr yang jelas tidak
diyakini oleh pemeluk agama lain.
Adapun berkaitan dengan ucapan selamat, maka
perhatikan: dalam ’urf (tradisi) kita, ucapan selamat merupakan ungkapan
do’a dan simpati atas apa yang disebutkan dalam ucapan tersebut. Begitu pula haqiiqah
’urfiyyah dari istilah al-tahni’ah. Hakikat dari ucapan
"selamat" itu sendiri apakah wilayah ijtihadi? Kenyataannya tidak,
karena ia sudah menjadi haqiqah 'urfiyyah yang menunjukkan do'a
keselamatan dan keberkahan atas kebaikan yang dido’akan tahni’ah tsb, sudah
melekat menunjukkan sikap simpatik atas apa yang diucapkan selamat itu sendiri.
Bahkan dalam kitab Mu'jam Lughat al-Fuqaha', pakar fikih, Prof. Dr.
Muhammad Rawwas Qal'ah Ji menggambarkan hakikat dari tahni'ah:
التهنئة: مص هنا، المباركة للشخص بخير أصابه، خلاف التعزية * مواجهة من أصابه
خير بالسرور مع الدعاء له بالاستمتاع بهذا الخير.
Al-Tahni'ah: mashdar dari kata kerja hana, yakni do'a
keberkahan atas seseorang atas kebaikan yang menimpanya, kebalikan dari
al-ta'ziyyah. Ditujukan kepada siapapun yang mendapatkan kebaikan dengan rasa
suka cita, disertai do'a atasnya, menikmati kebaikan tersebut.[7]
Ini merupakan perkara yang ma’lûm, sudah diketahui
dan dipahami secara umum, dalam ilmu manthiq, ia termasuk dilâlat lafzhiyyah
thabî’iyyah. Di sisi lain, secara etimologi kata selamat pun mengandung
unsur do’a, kata selamat dalam KBBI:
se.la.mat 1 a terhindar dr
bencana; aman sentosa; sejahtera; tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat
gangguan, kerusakan, dsb; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal: ~ dr
bahaya maut; biar lambat asal ~; 2 n doa (ucapan, pernyataan, dsb) yg
mengandung harapan supaya sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dsb):
doa ~; ketika ia kawin banyak handai tolannya yg memberi ucapan ~ kepadanya; 3
n pemberian salam mudah-mudahan dl keadaan baik (sejahtera, sehat dan afiat,
dsb).
Di sisi lain, natal itu sendiri
dalam KBBI:
na.tal: n kelahiran seseorang/ n kelahiran Isa Almasih
(Yesus Kristus): hari -- hari raya untuk memperingati kelahiran Isa Almasih
(tanggal 25 Desember)
Dari petunjuk kamus makna ”selamat”, ”natal” dan ”tahni'ah”
di atas, maka bisa disimpulkan secara pasti bahwa ucapan tahni'ah atas natalan
itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang meyakini kebaikan di balik natalan. Tidak
bisa pula dengan dalih ”basa-basi” karena perayaan natal bukan lah basa-basi
itu sendiri, ia lahir dari keyakinan para pemeluk agama Nasrani, yang jelasnya
berbeda dengan keyakinan kaum Muslim itu sendiri.
Pertanyaan asasinya, lalu apakah seorang muslim
diperbolehkan mendo’akan keselamatan atas perayaan agama lain yang jelas
ditolak oleh Allah dalam keyakinan seorang muslim? Padahal telah jelas adanya
peringatan keras dalam firman Allah:
Allah mencela kekufuran di balik natalan, bukan simpatik
mengucapkan doa keselamatan:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ
مَرْيَمَ ۚ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ
مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ
وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ۗ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ
ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ {١٧}
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya
Allah itu ialah Al Masih putra Maryam." Katakanlah: "Maka siapakah
(gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak
membinasakan Al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang
yang berada di bumi kesemuanya?." Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan
bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 17)
Lalu, apakah Allah mengajari kita menunjukkan simpatik
atas perayaan natal tsb secara lisan dan perbuatan? Tidak, nas-nya jelas Allah
sendiri menggambarkan Diri-Nya:
إِنْ تَكْفُرُوا
فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ {٧}
“Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan
(iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (QS. Al-Zumar [39]: 7)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ
دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ {٨٥}
“Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama,
sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat dia
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Âli
Imrân [3]: 85)
Kata lan mengandung faidah penafian yang lebih
kuat maknanya daripada kata lâ, hal itu sebagaimana penjelasan para
ulama pakar bahasa. Al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidi (w. 170 H) dalam Kitab al-’Ain menyatakan:
أَلا تَرى أَنَّهَا تُشبه فِي المَعْنى
(لَا) وَلكنهَا أَوْكد
“Bukankah engkau melihat bahwa kata lan menyerupai
kata lâ dalam pemaknaannya, akan tetapi kata lan lebih
kuat maknanya.”[8]
Penjelasan ini pun dinukil oleh
al-Azhari dalam Tahdzîb al-Lughah,[9] atau dalam istilah lain yakni li
tab’îd (yakni untuk selama-lamanya). Dan dalam ayat
di atas, kecaman tidak akan diterima diawali dengan lan (فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ) yakni tidak akan diterima selama-lamanya, ini sudah cukup menjadi indikasi
tegasnya kecaman dan peringatan dalam ayat yang agung ini bagi siapa saja yang
mencari selain Islam sebagai Dîn, ideologinya.
Padahal terang benderang adanya
perbedaan keyakinan asasi, antara
penganut agama nasrani yang merayakan natal kaitannya dengan Yesus
(sebagai anak Allah) ini dengan keyakinan penganut Din Islam menyoal Nabiyullah
Isa bin Maryam a.s.. Dalam sebuah situs nasrani (sabda.org/24-12-2008),
disebutkan bahwa:
"Anak Allah"
...Ide kedua yang berkaitan dengan "Anak Allah" adalah hubungan kasih
sayang Sang Anak yang unik kepada Bapa-Nya, yang secara langsung
menunjukkan bahwa Kristus memunyai natur ilahi yang sama seperti
Bapa-Nya (Yoh. 10:30-38). Yesus merujuk Allah sebagai Bapa-Nya lebih
dari seratus lima puluh kali di keempat Kitab Injil. Matius 11:27
(bandingkan Luk. 10:22) menyatakan posisi Yesus yang unik sebagai
Anak. Ayat ini menyatakan bahwa hanya Yesus yang dapat mengungkapkan
Sang Bapa kepada umat manusia, menunjukkan bahwa Ia memunyai
hubungan yang eksklusif dengan Allah, hubungan yang tidak dimiliki
oleh manusia lainnya. Di samping itu, pengetahuan Sang Anak di sini
tampaknya setara dengan pengetahuan Sang Bapa, yang jelas
menunjukkan keilahian Sang Anak.
Bukankah Allah telah
menegaskan bantahan atas keyakinan Isa sebagai Anak Allah dalam banyak
ayat-ayat al-Qur’an?
Pertama, Dalil
kekufuran mereka yang menyekutukan Allah dengan Isa a.s.:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ
مَرْيَمَ ۚ قُلْ فَمَنْ
يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ۗ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا
بَيْنَهُمَا ۚ يَخْلُقُ مَا
يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ {١٧}
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam." Katakanlah:
"Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah,
jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan
seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?." Kepunyaan Allahlah
kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.
Al-Mâ’idah [5]: 17)
Dalam ayat yang agung ini, Allah membatalkan keyakinan
mereka yang mengklaim Isa sebagai Anak Allah, lebih jauh lagi, Allah menegaskan
bantahan tersebut dengan menunjukkan kelemahan manusia termasuk Isa bin Maryam
a.s.. Sesungguhnya Isa a.s. adalah hamba-Nya, nabi dan rasul-Nya. Ayat ini
jelas membantah mereka yang menyekutukan Allah ’Azza wa Jalla dengan makhluk
ciptaan-Nya. Dan Allah sebagaimana firman-Nya:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ {١} اللَّهُ الصَّمَدُ {٢} لَمْ يَلِدْ وَلَمْ
يُولَدْ {٣} وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ {٤}
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan
tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang menyamai-Nya.” (QS. Al-Ikhlâsh [112]: 1-4)
Kedua, Dalil
kekufuran mereka yang menyekutukan Allah dengan Isa a.s., padahal Isa a.s.
adalah hamba-Nya, nabi dan rasul-Nya yang menyeru kepada mentauhidkan Allah,
menolak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ
الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۖ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا
اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ
عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ {٧٢}
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al-Masih
(sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu." Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 72)
Menurut
Al-Imam Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi (w. 338 H), ayat ini menjelaskan bantahan
yang qath’iy (tegas, pasti) atas keyakinan batil yang mempertuhankan Isa a.s[10] dengan seruan dari Isa
a.s. yang justru menyeru untuk mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun. Karena Ibn ’Abbas r.a. ketika menafsirkan perintah (اعْبُدُوا اللَّهَ) maknanya adalah tauhidkanlah
Allah, sebagaimana dinukil oleh Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H).[11]
Ketiga, Dalil
kekufuran konsep Trinitas, sebagaimana Allah tegaskan:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ
ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ
إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ {٧٣}
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:
"Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa
yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Mâ’idah [5]:
73)
Di sisi lain, semua ayat
yang membantah keyakinan batil Nasrani di atas diawali dengan dua penegasan,
yakni lâm al-ibtidâ’[12] dan kata qad di depan kata kerja lampau (al-fi’l
al-mâdhî)[13] yang berfungsi sebagai lafal-lafal penegasan (taukîd).
Dalam ilmu balaghah dua bentuk penegasan ini menafikan adanya keraguan dan
pengingkaran atas kebenaran informasi di dalamnya[14], yakni kekufuran agama yang meyakini bahwa Isa a.s
adalah Anak Allah, padahal Nabi Isa a.s. adalah seorang hamba Allah, nabi dan
rasul-Nya yang menyeru kepada mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun.
Dengan kejelasan dalil-dalil
bantahan atas keyakinan Isa sebagai Anak Allah, lantas, apakah logis seseorang
yang mengaku beriman mengucapkan selamat atas perayaan yang mengekspresikan
keyakinan batil tersebut? Lebih tidak logis lagi mengklaim ayat al-Qur’an
mengucapkan selamat atasnya? Logika simpelnya, jika mengucapkan selamat natal
diperbolehkan, maka dengan logika sesat yang sama, mengucapkan selamat pelangi
(hari gay sedunia) kepada kaum LGBT lebih boleh lagi, karena kemungkaran di
balik natalan (kekufuran) lebih besar daripada kemungkaran liwath (gay) yang
jelas dosa besar.
Bagaimana
bisa?! Justru mengucapkan selamat atas seluruh jenis kemungkaran merupakan dosa
dan maksiat itu sendiri, relevan dengan peringatan al-Imam al-Hasan al-Bashri (w. 110 H):
من دعا لظالم بالبقاء فقد أحب أن يعصى الله عز و جل
“Siapa saja yang berdo’a
untuk orang zhalim agar tetap eksis (dengan kezhalimannya-pen.); maka
sesungguhnya ia senang ada orang yang bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya.”[15]
2. Hukum Mengucapkan Selamat Atas Perayaan Agama di Luar Islam
Bertolak dari fahm al-wâqi’ di atas, maka bisa
disimpulkan secara mapan bahwa Islam tidak mungkin menghalalkan seorang mukmin
mengucapkan selamat atas perayaan agama lain, yang jelas bertentangan dengan
keyakinan seorang mukmin itu sendiri. Mengucapkan selamat atas perayaan agama
lain adalah tanda kemunafikan, bagaimana tidak? Mengucapkan ucapan yang zhahir
dan bathin-nya berbeda? Dengan perincian argumentasi:
Pertama, Keharaman Menyerupai Non
Muslim dalam Perkataan Khusus Mereka (al-Tasyabbuh bi al-Kuffâr)
Islam, jelas mengharamkan pemeluknya mengucapkan
perkataan khusus yang menjadi kekhasan dari pemeluk agama lain, menggambarkan
keyakinan khusus agama mereka. Tasyabbuh
secara bahasa bermakna tamatstsala (menyerupai), sebagaimana disebutkan
dalam kitab Syams al-’Ulûm:
[التشبه]: تشبه
به: أي تَمَثَّل
“(Al-Tasyabbuh): tasyabbaha bihi yakni tamatstsala
(menyerupainya).”[16]
Sedangkan secara istilah, tasyabbuh mengandung konotasi
menjiplak dan mengikuti, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H)
menjelaskan:
التشبه: من شبه، المحاكاة والتقليد، ومنه: كراهة التشبه بالفساق
“Al-Tasyabbuh: dari kata kerja syabbaha, menjiplak
dan mengikuti, dan di antara bentuknya: dibencinya menyerupai orang-orang
fasik.”[17]
Dan kita bisa menyaksikan bahwa ucapan selamat seperti
itu merupakan ucapan yang menjadi kebiasaan di antara mereka, semisal Kaum
Nasrani yang saling mengucapkan selamat dan mengirimkan kartu selamat dalam
perayaan natalnya. Ini merupakan kebiasaan mereka. Maka ucapan selamat atas
perayaan agama kufur merupakan perkataan yang bertentangan dengan larangan
mengucapkan perkataan yang mengandung kemungkaran, ini termasuk dari apa yang
Allah ’Azza wa Jalla firmankan:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian
mengatakan ”râ’inâ” akan tetapi katakanlah ”unzhurnâ” dan dengarkanlah, dan
bagi orang-orang kafir itu ’adzab yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah [2]:
104)
Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) ketika menafsirkan QS.
Al-Baqarah [2]: 104 di atas menjelaskan:
والغرض: أن الله
تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا
Maksudnya: Allah Ta’âlâ melarang orang-orang beriman
menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan
mereka.[18]
Ini menjadi dalil keharaman menyerupai orang-orang kafir
baik dalam perkataan dan perbuatan. Ini menjadi salah satu dasar keharaman mengucapkan
”selamat natal” atau mengucapkan selamat kepada perayaan-perayaan agama kufur
lainnya. Al-Hafizh Ibn Katsir pun menukil dalil hadits dari Ibnu ’Umar –radhiyallâhu
’anhu--, ia berkata bahwa Rasulullah –shallallahu ’alayhi wa sallam-
bersabda:
«مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad[19], Abu Dawud[20], Ibn Abi Syaibah[21])
Al-Mulla’ al-Qari dalam Al-Mirqât mengatakan
hadits ini hasan[22], dishahihkan oleh Ibn Hibban.[23] Setelah menukil dalil hadits di atas, al-Hafizh Ibn
Katsir pun merinci:
ففيه دلالة على النهي الشديد والتهديد والوعيد، على التشبه بالكفار في أقوالهم
وأفعالهم، ولباسهم وأعيادهم، وعباداتهم وغير ذلك من أمورهم التي لم تشرع لنا ولا
نُقَرر عليها
Di dalam hadits ini, terdapat larangan, ancaman dan
peringatan keras terhadap sikap menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan,
perbuatan, pakaian (khas-pen.), ritual, ibadah mereka, dan perkara-perkara
lainnya yang tidak disyari’atkan bagi kita dan tak sejalan dengan kita.”[24]
Para ulama mu’tabar lainnya pun menjadikan hadits ini
sebagai dalil larangan menyerupai orang kafir baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Dan jika ada yang mengklaim bahwa keikutsertaan dalam perayaan tahun
baru tersebut tidak bermaksud menyerupai kebatilan mereka, maka al-Hafizh
al-Suyuthi setelah menggunakan dalil hadits ini menegaskan bahwa perbuatan
menyerupai orang-orang kafir itu haram meskipun tidak dimaksudkan seperti itu.[25]
Dan bentuk penyerupaan apa yang zhahir (fisik) menggiring
kepada penyerupaan batin, padahal menutup berbagai sarana dan penghantar kepada
keburukan merupakan maksud Al-Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) dari segala arahnya,
sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Sa’di (w. 1376 H).[26] Dan karena frase fa huwa min hum, sebagaimana
disebutkan Imam al-Mulla’ al-Qari bahwa di antara makna fa huwa min hum dalam
hadits ini jika menyerupai orang kafir, fasik dan fajir dalam kebatilannya maka
sama-sama dalam dosa.[27]
Bahkan ia termasuk seburuk-buruknya kemungkaran, al-Hafizh
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) pun merinci:
وأقبح منه ما أحدثوه من العبادات أو العادات؛ فإنه مما أحدثه الكافرون،
وموافقة المسلمين لهم فيه من أعظم المنكرات. فكل ما يتشبهون بهم من عبادة أو عادة،
فهو من المحدثات والمنكرات. وقد مدح الله عز وجل من لم يشهد أعيادهم ومواسمهم ولم
يشاركهم فيها
Dan seburuk-buruknya perbuatan orang kafir adalah apa-apa
yang dibuat-buat berupa berbagai bentuk peribadahan dan adat kebiasaan; maka
sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat oleh orang-orang kafir dan dituruti kaum muslimin
adalah seburuk-buruknya kemungkaran. Maka setiap perkara yang dituruti dari
orang kafir berupa ritual peribadan dan adat kebiasaan, ia termasuk
perkara-perkara baru (bid’ah yang tercela) dan kemungkaran. Dan sungguh Allah
’Azza wa Jalla telah memuji siapa saja yang tidak menyaksikan hari-hari
perayaan mereka dan tidak ikut serta di dalamnya.”[28]
Dipertegas larangan menyerupai perbuatan orang-orang
kafir, musyrik sebagaimana disebutkan dalam hadits, dari Ibnu ’Umar –radhiyallâhu ’anhu-, bahwa Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«خَالِفُوا
الْمُشْرِكِينَ»
“Selisihilah orang-orang musyrik.” (HR. Al-Bukhari,
Muslim, al-Baihaqi)[29]
Menjelaskan hadits ini, Al-Imam Badruddin al-’Ayni (w.
855 H) menyatakan bahwa Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- telah
melarang kita dari perbuatan menyerupai orang-orang kafir, dan hal tersebut
merupakan perintah untuk menyelisihi mereka baik dalam perbuatan maupun perkataan.[30]
C. Bantahan & Koreksi Atas Klaim Adanya Ucapan “Selamat” dalam al-Qur’an
Secara metodologis, kesimpulan hukum tersebut jelas
prematur karena bertolak dari logika pendalilan yang tidak relevan dan
metodologi pengkajian yang prematur, mendasarkan pada satu ayat yang jelasnya
tidak relevan dengan kesimpulan yang dibangun, bahkan bertolak belakang, karena
ayat yang dijadikan dalil, jika dikaji lanjutannya secara utuh justru menjadi
dalil yang meruntuhkan keyakinan (i’tiqâd) di balik perayaan natal itu
sendiri:
وَالسَّلَامُ
عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا {٣٣}
“Dan
kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari
aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam [19]: 33)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imâm al-Mufassirîn al-Hafizh
Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) menjelaskan:
يخبرهم
في قصة خبره عن نفسه، أنه لا أب له وأنه سيموت ثم يُبْعث حيا
Isa
a.s. mengabarkan kepada mereka sebuah kisah yang menginformasikan tentang
dirinya, bahwa ia tidak memiliki bapak biologis, dan bahwa ia kelak akan
meninggal kemudian dibangkitkan kembali dalam keadaan hidup.[31]
Jika dilanjutkan, ayat di atas justru diikuti dengan
bantahan atas keyakinan Isa sebagai Anak Allah, Allah berfirman:
ذَٰلِكَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ ۚ قَوْلَ الْحَقِّ الَّذِي فِيهِ يَمْتَرُونَ {٣٤} مَا كَانَ
لِلَّهِ أَنْ يَتَّخِذَ مِنْ وَلَدٍ ۖ سُبْحَانَهُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
{٣٥} وَإِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ {٣٦}
“Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan
yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak
bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu,
maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia. Sesungguhnya
Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah
jalan yang lurus.” (QS. Maryam [19]:
34-36)
Lantas, bagaimana mungkin QS. Maryam [19]: 33 di atas diklaim sebagai dalil
kebolehan mengucapkan do’a keselamatan atas perayaan yang justru esensinya
dibantah oleh QS. Maryam [19]: 34-36? Realitanya, ayat yang agung ini, justru menegaskan keyakinan yang benar
dalam Islam menyoal Isa bin Maryam a.s., yang jelas sangat jauh berbeda dengan
keyakinan mereka yang merayakan natal?
Ketika menafsirkan QS.
Maryam [19]: 33, Prof. Dr. Muhammad Ali al-Shabuni menegaskan:
ولكننا لا نجد لها وجودًا في الأناجيل الآن، فقد حذفها القسسُ والرهبان،
لأنها تبطل دعواهم أنه ابن الله، مع أنها إحدى الخوارق العجبية
Akan tetapi kita tidak mendapati pernyataan tersebut
ada dalam kitab-kitab injil saat ini, karena "para oknum" sungguh telah menghapuskannya, karena sesungguhnya ia membatalkan dakwaan
mereka bahwa Isa adalah anak Allah, pada saat yang sama ia merupakan salah satu
dari kejadian luar biasa yang menakjubkan (mukjizatnya).[32]
Kalau begitu, pada sisi mana
relevansi ayat-ayat ini dengan ucapan selamat atas perayaan yang justru
esensinya bertolak belakang? Jelas, berlaku
kaidah:
كل ما بني على باطل فهو باطل
“Segala hal yang dibangun di atas asas yang
batil maka ia pun batil.”[33]
والله أعلم
بالصواب
وفقنا الله
وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
[1] Kajian
khusus keislaman berkaitan dengan kajian tafsir, akidah dan hukum Islam.
[2] Dosen Manthiq, Pengajar Balaghah, Mahasiswa S3 Hukum
Islam
[3] Taqiyuddin
Abu al-Baqa’ Muhammad Ibn al-Najjar al-Hanbali, Syarh al-Kaukab al-Munîr, Maktabat
al-‘Abikan, cet. II, 1418 H, juz I, hlm. 50.
[4] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, Al-Ushûl Min ‘Ilm al-Ushûl, Dâr Ibn al-Jauzi, cet.
IV, 1430 H, hlm. 83.
[5] Ibid.
[6] Muhammad
Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmî, Dâr al-Bayâriq, cet. I,
1411 H, hlm. 12-13.
[7] Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dar al-Nafa’is, hlm. 149.
[8] Abu ’Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb
Al-’Ain, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzumi dkk, Dâr wa Maktabah al-Hilâl, juz VIII,
hlm. 350.
[9] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb
al-Lughah, Ed: Muhammad ’Iwadh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet.
I, 2001, juz XV, hlm. 239.
[10] Abu Ja’far al-Nahhas Ahmad bin Muhammad al-Nahwi, I’râb
al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1421 H, hlm. 277.
[11] Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Razi Ibnu Abi
Hatim, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, KSA: Maktabah Nazzâr Mushthafa
al-Bâz, cet. III, 1419 H, juz IV, hlm. 1178.
[12] Ayyub bin Musa al-Husaini Abu al-Baqa’ al-Hanafi, Al-Kulliyyât
Mu’jam fî Mushthalahât wa al-Furûq al-Lughawiyyah, Beirut: Mu’assasat
al-Risâlah, hlm. 269; Abu Muhammad Badruddin Hasan bin Qasim al-Maradiy
al-Malikiy, Al-Junnâ al-Dâniy fî Hurûf al-Ma’âniy, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1413 H, hlm. 124.
[13] Ayyub bin Musa al-Husaini Abu al-Baqa’ al-Hanafi, Al-Kulliyyât
Mu’jam fî Mushthalahât wa al-Furûq al-Lughawiyyah, hlm. 269.
[14] Dalam ilmu balaghah disebut dengan istilah al-khabar
al-inkâriy karena keberadaan penegasan lebih dari satu. Lihat: Tim Pakar, Al-Balâghah
wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet.
II, 1425 H, hlm. 38-39; Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id
al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât al-Adab al-Nahw wa al-Sharf wa al-Balâghah wa
al-‘Arûdh wa al-Lughah wa al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403
H/1983, hlm. 161.
[15] Shalih Ahmad al-Syami, Mawâ’izh al-Imâm al-Hasan
al-Bashri, Beirut: Al-Maktab al-Islâmi, cet. II, 1425 H/2004, hlm. 34.
[16] Nisywan bin Sa’id al-Yamani, Syams al-‘Ulûm wa Dawâ’
Kalâm al-‘Arab min al-Kulûm, Ed: Dr. Husain bin ‘Abdullah al-‘Umari dkk,
Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1420 H, juz VI, hlm. 3370.
[17] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, hlm. 131.
[18] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr
al-Qur’ân al-’Azhîm, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1419 H, juz
I, hlm. 257.
[19] Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya (IV/515, hadits
no. 5114) Ahmad Syakir mengomentarinya sanadnya shahih.
[20] Abu Dawud al-Sijistani dalam Sunan-nya (IV/78,
hadits no. 4033); al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani pun mengomentari sanadnya
hasan (Ahmad bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Fat-h al-Bâriy Syarh Shahîh al-Bukhârî,
Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz X, hlm. 271), sedangkan Ibnu Hibban
menshahihkannya (Ahmad bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Bulûgh al-Marâm Min
Adillat al-Ahkâm, KSA: Dâr al-Qubs, cet. I, 1435 H, hlm. 540), Syaikh Ahmad
Syakir dalam catatan kaki atas kitab Musnad Ahmad, mengomentari bahwa
sanadnya hasan.
[21] Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (VI/471,
hadits no. 33016);
[22] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh
Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VII,
hlm. 2782.
[23] Ahmad bin ’Ali bin Hajar al-’Asqalani, Bulûgh
al-Marâm Min Adillat al-Ahkâm, KSA: Dâr al-Qubs, cet. I, 1435 H, hlm. 540.
[24] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr
al-Qur’ân al-’Azhîm, juz I, hlm. 257.
[25] ’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat
al-Sunnah wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’,
Mathâbi’ al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 123.
[26] ’Abdurrahman bin Nashir bin ’Abdullah al-Sa’di, Bahjat
Qulûb al-Abrâr wa Qurrat ’Uyûn al-Akhyâr fî Syarh Jawâmi’ al-Akhbâr, Maktabah
al-Rusyd, cet. I, 1422 H, hlm. 146.
[27] Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât
al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VII, hlm. 2782.
[28] ’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat
al-Sunan wa al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, hlm.
123.
[29] Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (V/2209, hadits no.
5553); Muslim dalam Shahîh-nya (I/152, hadits no. 523); Al-Bayhaqi dalam
al-Sunan al-Kubrâ’ (I/150, hadits no. 709).
[30] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa Badruddin
al-‘Ayni al-Hanafi, ‘Umdat al-Qâriy Syarh Shahîh al-Bukhâriy, juz VI,
hlm. 137.
[31] Muhammad bin Jarir Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân
fî Ta’wîl al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Mu’assasat al-Risâlah, cet.
I, 1420 H, juz XVIII, hlm. 193.
[32] Prof. Dr. Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr,
Beirut: Al-Maktabah al-’Ashriyyah, cet. I, 1440 H, juz II, hlm. 689.
[33] Prof. Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajîz fî
Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dar al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz I,
hlm. 264; Abdul Muhsin bin Abdullah al-Zamil, Syarh al-Qawâ’id al-Sa’diyyah,
Riyadh: Dar Athlas al-Khadra’, cet. I, 1422 H, hlm. 343.
Comments
Post a Comment