Irfan Abu Naveed
[Peneliti Balaghah al-Qur’an & Hadits Nabawi]
Jannah tidak lah diraih
melainkan dengan tadhiyah (pengorbanan), tidak pula dengan diam
berpangku tangan (thûl al-amal), karena Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
أَمْ
حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ
خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا
حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ
أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ {٢١٤}
”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum
kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan
(dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 214)
Ayat ini -sebagaimana diuraikan Syaikh ’Atha bin Khalil Abu
al-Rasytah- merupakan ayat yang diawali huruf am munqathi’ah, menunjukkan
kedudukannya sebagai kalimat baru dari ayat sebelumnya (al-jumlah
al-musta’nafah), dimana huruf am munqathi’ah ini bermakna ”بل أ”, yakni: ”بَلْ أَحَسِبْتُمْ أَنْ
تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ”, yakni ”Apakah kalian mengira akan memasuki jannah?” Yakni tidaklah seseorang
memasuki Jannah-Nya melainkan ia akan diuji Allah dengan ujian-ujian dalam kehidupan. Al-Hafizh Ibn Katsir
(w. 774 H) dalam Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm (I/571) mengungkapkan bahwa
yang dimaksud cobaan dalam ayat tersebut adalah berbagi jenis penyakit, demam,
rasa sakit, dan berbagai jenis musibah lainnya.
Diperjelas kalimat
berikutnya: ”وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ
الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ”, yang mengisyaratkan bahwa akan tiba masanya mereka yang
beriman akan diuji, sebagaimana orang-orang beriman sebelumnya diuji, ditandai
lafal matsal yang merupakan penanda tasybîh (penyerupaan). Dimana
seberat-beratnya ujian menimpa para rasul dan orang-orang beriman yang
membersamainya, karena "حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ", sebagaimana diutarakan
Syaikh ’Atha bin Khalil, memberikan gambaran bahwa kesulitan yang dihadapi
Rasul dan pengikutnya amat besar, dalam waktu yang tidak sebentar, hingga
mereka dengan sepenuh pengharapan, menantikan tibanya masa pertolongan Allah, matâ
nashrullâh?
Hal itu terbukti secara
tersurat dan tersirat dari apa yang dialami para nabi dan rasul, apa yang
mereka hadapi adalah seberat-beratnya ujian, dari Mush’ab bin Sa’ad r.a., dari
bapaknya ia berkata: “Saya bertanya: “Siapakah di antara manusia yang paling
berat ujiannya?” Rasulullah ﷺ menjawab:
«الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى
الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ
بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ،
فَمَا يَبْرَحُ البَلاَءُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ
مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ»
“(Orang
yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang
semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya
maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan
kadar agamanya. Maka senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia
dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” (HR.
Al-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah)
Bukankah kita mendapati
besarnya pengorbanan para nabi dan rasul serta pengikutnya di masa lalu?
Sebagaimana hal yang sama kita dapati pada Rasulullah ﷺ dan para sahabat di jalan Allah? Mendakwahkan Islam ke tengah-tengah
masyarakat yang tenggelam dalam kubangan jahiliyyah, mengubah masyarakat
jahiliyyah menjadi masyarakat yang menegakkan akidah dan syari’at Islamiyyah, semata-mata
lillâh tanpa kenal lelah. Dengan ujian pengorbanan inilah, terang benderang
perbedaan antara mutiara dan benda imitasi belaka, tak pernah tertukar, Maha
Benar Allah berfirman:
الم {١} أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا
يُفْتَنُونَ {٢} وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ {٣}
“Alif lâm mîm. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka
tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allâh mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabût [29]: 1-3).
Ketika menafsirkan ayat yang agung ini, Ibn Abbas r.a.
menjelaskan makna al-ba’sa’u yakni rasa takut (al-khauf), bencana (al-balaya),
dan kesulitan (al-syadâ’id). Makna al-dharra’u yakni rasa sakit (al-amradh),
penderitaan (al-awja’), dan rasa lapar dan haus (al-jau’).
Kalimat "فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ
الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ", menegaskan bahwa mereka yang benar keimanannya tidak sama
dengan mereka yang berdusta, terang benderang perbedaannya dipertegas
pengulangan lafal “laya’lamanna” yang disisipi dua penegasan (taukîd)
huruf lâm dan nûn al-tawkîd al-tsaqîlah.
Mereka diuji dengan
kebaikan dan keburukan:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ
وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ {٣٥}
“Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 35)
Dengan ujian ini pula, terang benderang siapa yang Allah
sebutkan dalam firman-Nya:
ثُمَّ
أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ
ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ
بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ {٣٢}
”Kemudian Kitab itu Kami
wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di
antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada
yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Fâthir [35]: 32)
Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni dalam tafsirnya, Shafwat al-Tafâsîr (II/529),
menjelaskan bahwa mereka yang menzhalimi dirinya sendiri adalah orang yang muqtashir
dalam amal shalih, membaca al-Qur’an, namun ia tidak beramal dengannya. Sedangkan
muqtashid adalah mutawassith, yakni mengamalkan banyak kebaikan
dan keshalihan (ajaran Islam), mengamalkan al-Qur’an dalam sebagian besar
kehidupannya, dan yang paling mulia adalah mereka yang Allah gambarkan
berlomba-lomba dalam kebaikan, yakni berlomba-lomba dalam mengamalkan Kitabullah,
bi taufîqillâh. Mereka yang terakhir inilah yang memenuhi
seruan Allah dalam firman-Nya:
وَسَارِعُوا إِلَى
مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ {١٣٣}
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu, dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Âli Imrân [3]: 133)
Ayat ini mengandung kiasan, al-majâz al-mursal bi
al-’alâqah al-musabbabiyyah, Allah memerintahkan hamba-Nya bersegera pada
ampunan-Nya, namun yang dimaksud adalah bersegera beramal shalih menegakkan
syari’at Islam yang membuahkan ampunan itu sendiri, sebagaimana perintah
berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqû al-khayrât) (lihat QS.
Al-Baqarah [2]: 148), ini berdasarkan petunjuk (qarînah) sabda
Rasulullah ﷺ:
«بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا
كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي
كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ
مِنَ الدُّنْيَا»
“Bersegeralah
kalian beramal shalih, akan ada suatu masa ketika muncul berbagai fitnah
seperti potongan malam gelap gulita, dimana seseorang beriman di waktu pagi dan
kafir pada sorenya, dan beriman di waktu sore dan kafir pada paginya, ia
menjual agamanya dengan harga dunia.” (HR. Muslim, Ahmad)
Dalam sya’irnya, Abu
’Ubaidah bersenandung:
وعندَ الإِلهِ ما يَكِيدُ عبادَه ٭ وكُلاًّ يوفِّيه الجزاءَ بمثقالِ
“Dan di sisi Ilaah tiada tipu daya bagi
hamba-hamba-Nya * Seluruhnya selaras dengan balasan atas setiap timbangan.”[1]
[1]
Salmah bin Muslim al-‘Autabi, Al-Ibaanat fii al-Lughah al-‘Arabiyyah, Ed:
Dr. ‘Abdul Karim Khalifah dkk, Oman: Wizarat al-Turats al-Qaumi wa al-Tsaqafah,
cet. I, 1420 H, juz IV, hlm. 318; Muhammad bin al-Qasim al-Anbari, Al-Zaahir
fii Ma’aanii Kalimaat al-Naas, Ed: Dr Hatim Shalih al-Dhamin, Beirut:
Mu’assasat al-Risalah, cet, I, 1412 H, juz I, hlm. 502.
Comments
Post a Comment