Pertanyaan
Afwan asâtidzah, bil
khusus ustadz @Irfan Abu Naveed, (penulis buku Hitam Putih Perdukunan
Indonesia) boleh diberikan penjelasan atau jawaban perihal satu hadits tersebut
di bawah ini atau semisalnya.
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ « مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ
لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ». رواه مسلم
Diriwayatkan oleh
sebagian isteri Nabi ﷺ, dari Nabi ﷺ: “Barangsiapa yang mendatangi tukang
tenung untuk bertanya tentang sesuatu, maka tidak diterima darinya shalat
selama empat puluh malam”. (HR Muslim, 7/37 (5957)
Jika seseorang
mendatangi tukang tenung (dukun) saja, maka tidak diterima shalatnya selama 40
malam.
Terus bagaimana dengan
shalat para dukun putih itu sendiri (uskun, kikun, hakun, dll), dan para
pemilik khadam ilmu kanuragan, nasab, dst-nya, yang pada hakikatnya mereka juga
seperti dukun (beristi'anah dg bangsa jin)?
Jazâkumullâh khairan
untuk tanggapan, penjelasan dan ilmunya.
Jawaban
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام
على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد
Para ulama jelasnya
merinci bab ini:
Pertama,
Dalam kitab Âkâm al-Marjân fî Ahkâm al-Jân, Al-Imam Badruddin al-Syibli
al-Hanafi (w. 760 H) menukilkan penjelasan Abu al-‘Abbas Ibn Taymiyyah, menyoal
hukum berkonsultasi kepada bangsa jin dan bertanya kepada orang
(dukun/paranormal) yang berkonsultasi kepada mereka adalah haram, berdasarkan
hadits:
«مَنْ أَتَى
عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ
لَيْلَةً»
“Barangsiapa mendatangi ‘arrâf lalu dia bertanya
kepadanya tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat
puluh malam.” (HR. Muslim, Ahmad)
Istilah ‘arrâf
itu sendiri memiliki konotasi sedikit berbeda dengan kâhin:
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا
مَجْنُونٍ {٢٩}
“Maka tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan
nikmat Tuhanmu bukanlah seorang kâhin dan bukan pula seseorang yang gila.” (QS. Al-Thûr [52]: 29)
Ketika menafsirkan ayat ini, Al-Imam Syihabuddin
al-Alusi (w.
1270 H) berkata:
كاهِن
هو الذي يخبر بالغيب بضرب من الظن، وخص الراغب الكاهن بمن يخبر بالأخبار الماضية
الخفية كذلك، والعرّاف بمن يخبر بالأخبار المستقبلة كذلك، والمشهور في الكهانة
الاستمداد من الجن في الإخبار عن الغيب
(Dukun)
adalah orang yang mengabarkan berita ghaib sejenis ramalan, dan Al-Raghib (yakni
al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H)) mengkhususkan kâhin adalah orang yang
mengabarkan hal-hal yang telah terjadi (al-akhbâr al-mâdhiyyah) yang
bersifat rahasia. Adapun ‘arrâf (peramal) adalah orang yang mengabarkan
hal-hal yang akan terjadi (al-akhbâr
al-mustaqbalah). Dan sudah menjadi hal yang masyhur dalam dunia
perdukunan, (kahin & ‘arraf) memperoleh berita-berita ghaib
dari bangsa jin.[1]
Al-Syibli merinci penjelasan Ibn Taymiyyah, dikecualikan
dalam hal ini bertanya kepada dukun/paranormal dalam rangka menguji dan
membuktikan kedustaan mereka, sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, berdasarkan hadits:
Al-Imam al-Bukhârî meriwayatkan: “Bahwa 'Umar dan
Nabi ﷺ berangkat bersama rombongan untuk mememui Ibn Shayyad hingga
akhirnya mereka mendapatinya sedang bermain bersama anak-anak yang lain di
bangunan yang tinggi milik Bani Magholah. Ibn Shayyad sudah mendekati baligh
dan dia tidak menyadari (kedatangan Nabi ﷺ) hingga akhirnya Nabi ﷺ menepuknya
dengan tangan Beliau kemudian berkata kepada Ibn Shayyad:
تَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟
"Apakah kamu bersaksi bahwa aku ini utusan
Allâh?"
Maka Ibn Shayyad memandang Beliau lalu berkata:
أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ الْأُمِّيِّينَ
"Aku bersaksi bahwa kamu utusan kaum ummiyyin[2]”
Kemudian Ibn Shayyad berkata, kepada Nabi ﷺ:
أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟
"Apakah kamu juga bersaksi bahwa aku ini utusan
Allâh?".
Maka Beliau menolaknya dan berkata:
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرُسُلِهِ
"Aku beriman kepada Allâh dan kepada
Rasul-Rasul-Nya".
Kemudian Beliau berkata:
مَاذَا تَرَى
"Apa yang kamu pandang sebagai alasan (sehingga
mengaku sebagai Rasul)?”
Berkata Ibn Shayyad:
يَأْتِينِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ
"Karena telah datang kepadaku orang yang jujur dan
pendusta".
Maka Nabi ﷺ bersabda:
خُلِّطَ عَلَيْكَ الْأَمْرُ
"Urusanmu jadi kacau"
Kemudian Nabi ﷺ berkata, kepadanya:
إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيئًا
"Sesungguhnya aku menyembunyikan (sesuatu dalam
hatiku) coba kamu tebak?"
Ibn Shayyad berkata:
هُوَ الدُّخُّ
"Itu adalah asap"
Beliau berkata:
اخْسَأْ فَلَنْ
تَعْدُوَ قَدْرَكَ
"Hinalah kamu, dan kamu tidak bakalan melebihi
kemampuanmu sebagai seorang dukun.” (HR. Al-Bukhârî)
Ibarat Kitab[3]
فصل
قَالَ أَبُو الْعَبَّاس أَحْمد بن تَيْمِية أما سُؤال
الْجِنّ وسؤال من يسألهم فَهَذَا إِن كَانَ على وَجه التَّصْدِيق لَهُم فِي كل مَا
يخبرون بِهِ والتعظيم للسؤال فَهُوَ حرَام كَمَا ثَبت فِي الصَّحِيح عَن
مُعَاوِيَة بن الحكم أَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قيل لَهُ إِن قوما منا
يأْتونَ الْكُهَّان قَالَ فَلَا تأتوهم وَفِي صَحِيح مُسلم عَنهُ عَلَيْهِ
الصَّلَاة وَالسَّلَام انه قَالَ من أَتَى عرافا فَسَأَلَهُ عَن شَيْء لم تقبل
لَهُ صَلَاة أَرْبَعِينَ يَوْمًا وَأما إِن كَانَ يسْأَل الْمَسْئُول ليمتحن حَاله
ويختبر بَاطِن أمره وَعِنْده مَا يُمَيّز بِهِ صدقه من كذبه فَهَذَا جَائِز كَمَا
ثَبت فِي الصَّحِيحَيْنِ أَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم سَأَلَ ابْن صياد
فَقَالَ مَا يَأْتِيك قَالَ يأتيني صَادِق وكاذب قَالَ مَا ترى قَالَ أرى عرشا على
المَاء قَالَ فَإِنِّي قد خبأت لَك خبيئا قَالَ هُوَ الدخ قَالَ اخْسَأْ فَلَنْ
تعدو قدرك فَإِنَّمَا أَنْت من إخْوَان الْكُهَّان
Kedua,
Dosa
perdukunan dan peramalan jelasnya termasuk dosa besar, sebagaimana diuraikan
para ulama berdasarkan nushûsh syar’iyyah, namun jelasnya tidak bisa
dipastikan jenis balasan siksaannya (secara terperinci) hingga ditetapkan
semata-mata berdasarkan dalil-dalil naqliyyah (al-Qur’an, al-Sunnah).
Sebagaimana kaidah yang ditetapkan Syaikhuna ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah
dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl:
Dari aspek pahala
dan siksa, maka penetapannya hanya diserahkan kepada Allah Swt semata, yakni
hukum syari’at. Misalnya penetapan terpujinya keimanan, dan tercelanya
kekufuran, terpujinya keta’atan dan tercelanya kemaksiatan, maka akal tidak
mampu menetapkan hukumnya dalam kondisi ini. Maka akal adalah pemindahan hasil
penginderaan terhadap realita ke dalam otak, diolah dengan bantuan ma’lûmât
sâbiqah (informasi sebelumnya terkait realita) untuk menafsirkan realita
tersebut, kemudian mengaitkan antara realita dengan informasi tersebut.
Dengan demikian maka akal mustahil mampu menetapkan hukum atas hal-hal yang
tidak terindera (ghaib) seperti tentang al-hudâ (petunjuk), al-dhalâl
(kesesatan), al-halâl (halal), al-harâm (haram), al-thâ’at
(keta’atan), al-ma’shiyyat (kemaksiatan), dan yang semisal dengan
itu semua. Karena bukan termasuk kewenangan akal menetapkan perbuatan-perbuatan
apa yang Allah ridhai hingga seorang insan diganjar pahala karenanya, dan apa
yang Allah murkai hingga seorang insan dibalas siksa karenanya, kecuali jika
ada ikhbâr (informasi) tentang itu semua yang telah pasti datang dari
Allah.
Jika
pelaku perdukunan ini meyakini suatu keyakinan jahiliyyah dan atau melakukan
kemungkaran yang menyebabkan mereka riddah (murtad) dan tidak bertaubat
hingga maut menjemput, maka jelas mereka dihukumi sebagai orang kafir dengan
berbagai ganjaran siksa yang Allah dan Rasul-Nya kabarkan dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah.
Penjelasan
Ibn Abi al-‘Izz al-Hanafi al-Dimasyqi (w. 792 H) dalam Syarh al-‘Aqîdah
al-Thahawiyyah hanya menyitir kalimat retoris (dengan uslub al-istifhâm li
al-tawbîkh):
فَإِذَا كَانَتْ هذِهِ حَالُ السَّائِلِ، فَكَيْفَ
بِالْمَسْئُولِ؟
“Jika demikian adanya status orang yang bertanya
(berkonsultasi pada ’arrâf), lantas, bagaimana dengan pihak yang
ditanyai (’arrâf)?”[4]
Namun jelasnya dalam kitab tersebut tidak dirinci jenis
siksaan seperti apa? Itu sudah tepat, karena prinsipnya persoalan ini termasuk
persoalan ghaib, di luar jangkauan akal manusia, karena bukan perkara yang mahsûs
(terindera), maka berlaku kaidah yang ditegaskan Al-Qadhi Taqiyuddin
al-Nabhani (w. 1397 H):
ما لا يدركه
الحسّ لا يدركه العقل
“Apa-apa yang tak terjangkau penginderaan, maka tak
terjangkau akal pikiran.”
Al-Imam Nashiruddin al-Baidhawi al-Syairazi (w. 685 H):
(الخفي) لا
يدركه الحس ولا تقتضيه بديهة العقل
“(Al-Khafi) Yakni apa-apa yang tak terjangkau
penginderaan, dan tak mampu terpikirkan oleh kejelasan akal pikiran.”[5]
Artinya, persoalan jenis siksaan seperti apa, wajib dikembalikan
kepada dalil-dalil naqliyyah dari al-Qur’an dan hadits-hadits
nabawiyyah.
والله أعلم
بالصواب
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
Ibarat
Kitab
[كَذَبَ الْكَاهِنُ وَالْعَرَّافُ]
قَوْلُهُ: (وَلَا نُصَدِّقُ كَاهِنًا وَلَا عَرَّافًا،
وَلَا مَنْ يَدَّعِي شَيْئًا يُخَالِفُ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَإِجْمَاعَ
الْأُمَّةِ)
ش: رَوَى مُسْلِمٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ عَنْ صَفِيَّةَ
بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ
أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةُ أَرْبَعِينَ
لَيْلَةً» . وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ
أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا
أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ» . وَالْمُنَجِّمُ يَدْخُلُ فِي اسْمِ الْعَرَّافِ عِنْدَ
بَعْضِ الْعُلَمَاءِ، وَعِنْدَ بَعْضِهِمْ هُوَ فِي مَعْنَاهُ. فَإِذَا كَانَتْ هذِهِ
حَالُ السَّائِلِ، فَكَيْفَ بِالْمَسْئُولِ؟
[1] Syihabuddin
Mahmud bin Abdullah al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa
al-Sab’u al-Matsânî, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1415 H, juz XIV, hlm. 36.
[2] Kaum yang tidak kenal baca tulis.
[3] Muhammad bin Abdullah al-Syibli al-Hanafi, Âkâm al-Marjân fî Ahkâm al-Jân,
Ed: Ibrahim Muhammad al-Jamal, Kairo: Maktabat al-Qur’an, hlm. 193.
[4] Shadruddin Muhammad bin ‘Ala’uddin (Ibn Abi
al-‘Izz al-Hanafi), Syarh al-‘Aqîdah al-Thahawiyyah, Beirut: Mu’assasat
al-Risâlah, cet. X, 1417 H, juz II, hlm. 759.
[5] Nashiruddin Abu Sa’id Abdullah bin Umar
al-Baidhawi al-Syairazi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, Beirut: Dar
Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, cet. I, 1418 H, hlm. 38.
Comments
Post a Comment