[Ngaji Balaghah Hadits Nabawi]
Irfan Abu Naveed
Salah
satu hadits yang menggambarkan keutamaan menangis karena takut atas siksa Allah
adalah hadits yang dinukil dalam Min Muqawwimât al-Nafsiyyah al-Islâmiyyah sebagai
berikut:
«لَا
يَلِجُ النَّارَ مَنْ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ حَتَّى يَعُودَ اللَّبَنُ فِي
الضَّرْعِ، وَلَا يَجْتَمِعَ عَلَى عَبْدٍ غُبَارٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَدُخَانُ
جَهَنَّمَ»
“Tidak
akan masuk neraka seorang yang menangis karena takut kepada
Allah hingga air susu kembali lagi ke tempatnya. Dan tidak akan berkumpul
debu perang di jalan Allah dengan asap jahannam.” (HR. Al-Tirmidzi.
Abu Isa berkata: “Hadits ini hasan shahîh”)
Menariknya,
hadits ini dalam perspektif ilmu balaghah mengandung ungkapan cantik, nyastra,
yang menggambarkan kecerdasan Rasulullah ﷺ
mencakup kecerdasan linguistik (fashîh balîgh). Ketika menjelaskan
hadits ini, Al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) menuturkan:
(حَتَّى يَعُودَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ) : هَذَا مِنْ بَابِ
التَّعْلِيقِ بِالْمُحَالِ
Hingga air susu
kembali kepada tempat penyusuannya: ini termasuk bahasan al-ta’lîq bi al-muhâl
(penggantungan sesuatu dengan hal-hal yang mustahil)[1]
Yakni
untuk menunjukkan kemustahilan sesuatu sehingga diserupakan dengan kemustahilan
lainnya yang lebih mudah dipahami. Al-Mulla Ali al-Qari berdalil sebagaimana potongan
ayat “{حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ
الْخِيَاطِ}” dalam firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ
أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ الْجَمَلُ فِي
سَمِّ الْخِيَاطِ ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي
الْمُجْرِمِينَ {٤٠}
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan
dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga,
hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada
orang-orang yang berbuat kejahatan.” (QS.
Al-A’râf [7]: 40)
Dalam perspektif ilmu balaghah
(‘ilm al-bayân) potongan ayat di atas mengandung bentuk tasybîh dhimnî,
yakni suatu bentu penyerupaan yang tidak disusun di dalamnya al-musyabbah
dan al-musyabbah bihi sebagaimana dalam gambaran umum bentuk tasybîh,
akan tetapi digambarkan secara tersirat (ghayr sharîhah) adanya al-musyabbah
dan al-musyabbah bihi tersebut, yang dipahami dari maknanya.[2]
Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili (w. 1436 H) dalam kitab Al-Tafsîr al-Munîr menjelaskan:
لا تُفَتَّحُ
لَهُمْ أَبْوابُ السَّماءِ كناية عن عدم قبول العمل يوم القيامة. حَتَّى يَلِجَ
الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِياطِ فيه تشبيه ضمني، أي لا يدخلون الجنة إلا إذا دخل
الجمل في ثقب الإبرة، وهو تمثيل للاستحالة. لَهُمْ مِنْ
جَهَنَّمَ مِهادٌ وَمِنْ فَوْقِهِمْ غَواشٍ استعارة لما يحيط بهم من كلّ جانب مثل
قوله: لَهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ، وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ
“Tidak dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka” merupakan kinâyah tidak diterimanya amal
baik mereka pada Hari Kiamat, “hingga unta masuk ke lubang jarum” di
dalam ayat ini terkandung tasybîh dhimnî, yakni mereka tidak akan masuk jannah-Nya
kecuali jika unta masuk ke dalam lubang jarum, dan ini merupakan perumpamaan
atas suatu kemustahilan (tamtsîl li al-istihâlah). “Mereka mempunyai
tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka)” ini
merupakan kiasan isti’ârah (peminjaman istilah) untuk menggambarkan
sesuatu yang melingkupi mereka dari segala sisinya, semisal firman-Nya:
لَهُمْ مِنْ
فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ ۚ ذَٰلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ ۚ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ {١٦}
“Bagi
mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun
lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya
dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku.” (QS.
Al-Zumar [39]: 16)[3]
Hal senada diuraikan oleh Prof. Dr. Muhammad Ali
al-Shabuni dalam kitab Shafwat al-Tafâsîr:
{حتى يَلِجَ
الجمل فِي سَمِّ الخياط} فيه تشبيه ضمني أي لا يدخلون الجنة بحالٍ من الأحوال إلا
إِذا أمكن دخول الجمل في ثقب الإِبرة، وهو تمثيلٌ للاستحالة.
“Hingga unta masuk ke lubang jarum” di dalam ayat ini terkandung tasybîh
dhimnî yakni mereka tidak akan memasuki jannah dalam kondisi apapun,
kecuali jika memungkinkan masuknya unta ke dalam lubang jarum, dan ini
merupakan perumpamaan bagi kemustahilan (tamtsîl li al-istihâlah).[4]
Dari berbagai keterangan di atas bisa disimpulkan
bahwa kalimat “لَا يَلِجُ النَّارَ مَنْ بَكَى مِنْ
خَشْيَةِ اللَّهِ حَتَّى يَعُودَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ” dalam hadits jelasnya mengandung bentuk al-tasybîh
al-dhimnî. []
والله أعلم بالصواب
[1] Abu al-Hasan
Ali bin Muhammad al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut:
Dar al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VI, hlm. 2478.
[2] Ahmad bin
Ibrahim al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’ânî wa al-Bayân wa al-Badî’,
Ed: Dr. Yusuf al-Shumaili, Beirut: al-Maktabat al-‘Ashriyyah, hlm. 239.
Ahmad al-Hasyimi menjelaskan:
هو تشبيه ٌ لا يوضع فيه المشبه والمشبه به
في صورة من صور التشبيه المعروفة، بل يلمح المشبه والمشبه به، ويفهمان من المعنى،
ويكون المشبه به دائماً برهاناً على امكان ما أسند إلى المشبه
[3] Prof. Dr.
Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah
wa al-Manhaj, Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet. II, 1418 H, juz VIII,
hlm. 204.
[4] Prof. Dr.
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, Kairo: Dar al-Shabuni, cet.
I, 1417 H, hlm. 416.
Comments
Post a Comment