[Kajian Balaghah
& Syarh Hadits]
Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
S
|
ejarah
kaum Muslim adalah sejarah agung, sejarah peradaban yang dibangun di atas
fondasi akidah Islam, dengan pengorbanan harta, jiwa dan raga di jalan Allah
Ta’ala. Salah satunya, tertoreh dalam lembaran sejarah bertintakan emas yang
ditulis oleh Muhammad al-Fatih dan pasukannya, menaklukkan salah satu pusat
peradaban di masanya, Konstantinopel.
A.
Kilas Sejarah Kota Konstantinopel
Konstantinopel,
dibangun di atas kota lama berjuluk Bizantium yang merupakan pusat peradaban di
masanya. Sisi Eropa kota ini dibangun pertama kali oleh peradaban Yunani Kuno
pada tahun 660 SM, lalu dibangun kembali oleh kekuasaan Imperium Romawi pada
tahun 330 M, di bawah titah Kaisar Romawi, Konstantin I (Raja Romawi) (306 –
337 M), menjadi Ibu Kota Negara mereka. Artinya, istilah Konstantinopel diambil dari nama rajanya, dan diarabisasi (ta'rib) menjadi [القُسْطَنْطِينِيَّةُ] oleh lisan fushaha' arab.
Kebesaran
nama kota ini bukanlah isapan jempol belaka, catatan sejarah mencatat banyaknya
upaya persaingan berbagai imperium besar untuk menguasai negeri ini. Hingga salah
seorang Jenderal Prancis, Napoléon Bonaparte (1769-1821 M) disebut-sebut
berkomentar: “Andaikan dunia adalah suatu imperium besar, maka Konstantinopel
adalah kota yang paling pantas menjadi ibu kotanya.” Ketika menjelaskan
hadits penaklukan Konstantinopel, Al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) menilainya
sebagai a’zhâm madâ’in al-rûm (kota paling agung dari Imperium Romawi)[2], dan Al-Imam al-Shan’ani
(w. 1182 H) menjelaskan bahwa Konstantinopel adalah kota paling agung
Imperium Romawi, yang dibangun oleh Kaisar Konstantin.[3]
Itu
semua sudah cukup menjadi isyarat (dilâlah lafzhiyyah wa ghayr lafzhiyyah)
betapa besarnya kedudukan Konstantinopel bagi peradaban di masa itu. Hal itu
tidak mengherankan, mengingat kota ini sangat strategis secara geografis; terletak
di antara dua benua besar; Benua Asia & Benua Eropa, strategis secara
politik maupun ekonomi.
B.
Motivasi Agung Di
Balik Bisyarah Futuhat Konstantinopel
Tahukah anda,
ratusan tahun sebelum Konstantinopel jatuh ke tangan kaum Muslim pada tahun 857
H/1453 M, Rasulullah ﷺ telah mengabarkan
kabar gembira ini lebih dari delapan ratus tahun sebelumnya, dimana Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ
وَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»
“[Demi
Allah] sungguh Kota Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan, maka sungguh
sebaik-baiknya pemimpin (di antaranya) adalah pemimpin (yang menaklukkannya)
dan sebaik-baik pasukan (di antaranya) adalah pasukannya.” (HR.
Al-Bukhari, Al-Hakim, Ahmad, al-Thabarani)
1.
Keterangan
Singkat Takhrij Hadits
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Târîkh al-Kabîr (no. 396); Al-Hakim
dalam al-Mustadrak (no. 8300); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18977);
Al-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabîr (no. 1216). Al-Hafizh Abu Abdullah
Al-Hakim (w. 405 H) mengomentari dalam Al-Mustadrak-nya:
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ،
وَلَمْ يُخْرِجَاهُ
“Ini
adalah hadits shahih isnad-nya, meskipun al-Bukhari dan Muslim tidak
meriwayatkannya (yakni dalam shahihayn-pen.).”
Al-Hafizh
Syamsuddin al-Dzahabi (w. 748 H) dalam Talkhîs al-Mustadrak
mengomentari: “Shahîh”. Al-Hafizh Ibn Abdul Barr al-Andalusi (w. 463 H)
dalam Al-Istî’âb mengomentari: “Isnad-nya hasan.”[4] Al-Hafizh al-Haitsami (w. 807 H) dalam Majma’ al-Zawâ’id
(no. 10384) mengomentari: “Imam Ahmad, al-Bazzar dan al-Thabarani
meriwayatkannya, dan para perawinya tsiqât.”[5]Al-Hafizh al-Bushairi al-Syafi’i
(w. 840 H) mengomentari: “Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ahmad bin Hanbal meriwayatkannya,
dan para perawinya tsiqât.”[6] Al-Imam al-Munawi
al-Qahiri (w. 1031 H) mengomentari: “Isnad-nya shahih.”[7]
2.
Balaghah
Hadits: Motivasi Kokoh
a.
Faidah Bag. I:
Khabar yang Mu'akkad (Ditegaskan) Kebenaran Informasi di Dalamnya
Hadits ini hadits khabar (informasi)
yang sebenarnya mengandung kalimat sumpah (qasam): WaLlâhi (والله),
atau kinâyah dari waLlâhi (sebagaimana disebutkan dalam referensi
ilmu balaghah) yakni:
والذي نفسي بيده
“Demi Dzat yang diriku berada dalam
genggaman-Nya”
Namun, ungkapan qasam tersebut dihilangkan (al-îjâz
bi al-hadzf) untuk menekankan pada gagasan inti informasi di dalamnya yang ditandai dengan huruf lam
penanda jawab sumpah (lâm jawâb al-qasam) pada frasa: لتفتحنّ (latuftahanna). Lafal tuftahu pada frasa "latuftahanna",
diungkapkan dalam bentuk kata kerja pasif (mabni li al-majhûl)[8],
yang ditegaskan para ulama nahwu sebagai fi'l (kata kerja):
لِمَا لَمْ يُسَمَّ
فاعلُه
“(Kata
kerja) yang tidak disebutkan subjeknya”[9]
Pertanyaannya, siapa yang hakikatnya menaklukkannya untuk
kaum Muslim? Allah ’Azza wa Jalla sebagaimana petunjuk dalam firman-Nya:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا
اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي
ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ {٥٥}
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa,
mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan
Aku, dan siapa saja yang kufur sesudah (janji) itu, maka mereka itu lah
orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Nûr [24]: 55)
Dalam
ayat ini, Allah bersumpah akan menganugerahkan kepada orang yang beriman dan
beramal shalih tiga hal agung dalam ungkapan: layastakhlifannahhum,
layumakkinanna lahum, layubaddilannahum. Allah ungkapkan dengan
penegasan-penegasan, yakni lâm taukîd dan nûn taukîd al-tsaqîlah, yang
berfaidah menafikan adanya keraguan dan pengingkaran, Imam Dhiya’uddin bin
al-Atsir al-Katib (w.
637 H) dalam Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa al-Syâ’ir (II/193)
menjelaskan:
إنما جاءت لتحقيق الأمر، وإثباته في نفوس المؤمنين،
وأنه كائن لا محالة
Sesungguhnya huruf-huruf lâm
tersebut, ada untuk menegaskan (terwujudnya) perkara (yang diinformasikan), dan
peneguhan hal tersebut dalam jiwa orang-orang yang beriman, bahwa hal tersebut
akan terwujud, bukan hal yang mustahil.
Keberadaan
huruf nûn taukîd al-tsaqîlah menurut al-Atsir, menguatkan penegasan
huruf lâm yang mengawali informasi (Ibid (II/195)).
Menguatkan keyakinan orang-orang beriman terhadap janji Allah ’Azza wa Jalla
bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shalih.
Ungkapan
layastakhlifannahum, bahwa Dia SWT akan menganugerahkan orang-orang yang
beriman dan beramal shalih kekuasaan di Muka Bumi, yakni mewarisi bumi baik
Bangsa Arab maupun Ajam, dimana Dia menjadikan mereka sebagai penguasanya, pengaturnya
(dalam kekuasaan politik) dan penduduknya, sebagaimana diuraikan Imam
al-Tsa’labi dalam tafsirnya (VII/114), dan al-Hafizh al-Thabari dalam tafsirnya
(XIX/208). Karena kata kerja yastakhlifu
dari wazan istaf’ala-yastaf’ilu, menurut Ibn Manzhur dalam Lisân
al-‘Arab (V/197), bermakna menjadikan mereka sebagai khalifah, yakni penguasa
di Muka Bumi, menggantikan pihak lainnya. Yakni kedudukan agung
yang disebutkan Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dalam Mafâtîh al-Ghaib
(XXIV/412) yakni:
فَيَجْعَلَهُمُ الْخُلَفَاءَ وَالْغَالِبِينَ
وَالْمَالِكِينَ
Maka Dia
menjadikan mereka sebagai khalifah-khalifah (al-khulafâ’), para penakluk
(al-ghâlibîn) dan para penguasanya (al-mâlikîn).
Penafsiran
senada ditegaskan oleh al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam Al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur’ân (I/264), menariknya beliau menukil ayat yang agung ini (QS. Al-Nûr [24]: 55), ketika menjelaskan dalil wajibnya
mengangkat Khalifah ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30. Pendalilan para ulama
mu’tabar ini, memperjelas bentuk kekuasaan yang Allah anugerahkan pada umat
ini, dimana Allah mengumpamakannya dengan kekuasaan kaum sebelumnya {كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ}, ini merupakan bentuk tasybîh
(penyerupaan) yang menguatkan keyakinan, sekaligus menjadi khabar gaib
mengenai kaum terdahulu (al-umam al-sâbiqah) yang beriman dan beramal
shalih, yang ternyata pernah dianugerahi kekuasaan.
Dalam hal ini, imâm al-mufassirîn al-Hafizh al-Thabari
dalam tafsirnya (XIX/208) menafsirkan yakni Bani Isra’il. Imam Abu al-Muzhaffar
al-Sam’ani dalam Tafsîr al-Qur’ân (III/544) dan Imam Fakhruddin al-Razi
dalam Mafâtîh al-Ghaib (XXIV/412) menjelaskan: Qatadah r.a merinci yakni
sebagaimana Nabi Dawud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. serta para nabi yang
memiliki kekuasaan, yakni kekuasaan riil politis, sebagaimana diisyaratkan
dalam hadits dari Abu Hurairah r.a., Nabi
Muhammad ﷺ bersabda:
«كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ
وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil,
urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh
nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah
yang banyak.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. Lafal al-Bukhârî)
Dari uraian di atas, kita mendapati bahwa penaklukan
Konstantinopel adalah bagian dari janji kekuasaan bagi orang-orang yang beriman
dan beramal shalih, mengisyaratkan bahwa penaklukan tersebut pasti terjadi,
namun terjadi bi nashriLlâh, meskipun dengan
wasilah tangan pemimpin dan kaum Mujahid yang dikabarkan dalam hadits tersebut.
Dimana kepastian tersebut ditegaskan oleh keberadaan huruf nûn bertasydîd (latuftahanna),
yakni nûn al-taukîd al-tsaqîlah. Dalam ilmu balaghah kedua bentuk huruf
tersebut berfaidah taukîd (penegasan) yang menegaskan kebenaran informasi
hadits ini, bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan, apa yang terjadi kemudian?
Bisyarah agung nabawiyyah tersebut terbukti!
b.
Faidah Bag. II:
Pujian Rasulullah ﷺ Atas Keutamaan
Mujahid Penakluk Konstantinopel
Petunjuk
dalam QS. Al-Nûr [24]: 55 di atas, menguatkan isyarat dalam hadits penaklukkan
Konstantinopel dalam hadits Rasulullah ﷺ ini:
«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ
وَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»
“[Demi
Allah] sungguh Kota Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan, maka sungguh
sebaik-baiknya pemimpin (di antaranya) adalah pemimpin (yang menaklukkannya)
dan sebaik-baik pasukan (di antaranya) adalah pasukannya.” (HR.
Al-Bukhari, Al-Hakim, Ahmad, al-Thabarani)
Yakni
dengan adanya predikat ni’ma al-amîr, dan ni’ma al-jaysy, yang
merupakan pujian (al-madh) dari Rasulullah ﷺ, dimana pujian dari al-Shâdiq al-Mashdûq
Rasulullah ﷺ itu benar dan pasti benar, menandakan kebaikan mereka yang
merealisasikan bisyarah penaklukan Konstantinopel. Dengan kata lain, mengisyaratkan
bahwa penaklukan Konstantinopel takkan dianugerahkan, kecuali kepada mereka
yang beriman dan beramal shalih.
Apa
dasarnya? Karena dalam ilmu nahwu, lafal ni’ma termasuk af’âl al-madh
(kata kerja yang diungkapkan sebagai pujian) yakni termasuk kata kerja lampau (al-af’âl al-mâdhiyyah)[10], para
ulama bahasa arab, salah satunya Syaikh Mushthafa al-Ghulayayni (w. 1364 H)
menjelaskan bahwa ia adalah kata kerja pujian (af’âl li insyâ’ al-madh), yang menuntut adanya objek yang dikhususkan dengan pujian
tersebut (al-makhshûsh bi al-madh)[11], dalam hadits di atas
yakni amîruhâ dan
dzâlika al-jaysy (pemimpin penakluk Konstantinopel dan pasukannya
tersebut). Pujian di balik lafal ni’ma tersebut jelas, mengingat
kebalikannya adalah bi’sa yang merupakan celaan (af’âl li insyâ’ al-dzamm).[12]
Bahkan pujian kepada pemimpin penakluk Konstantinopel
dan pasukannya di balik hadits tersebut sebenarnya diulang dua kali, apa
alasannya? Karena dua hal:
Pertama, Alif lam yang melekat pada subjek (al-fâ’il)
dari kata kerja ni’ma, termasuk jenis alif lam li al-jins ‘alâ sabîl al-istighrâq haqîqat[an], yakni jenis alif lam yang berfaidah menunjukkan
totalitas cakupannya (al-syumûl) secara hakiki, bukan sekedar majazi[13], maka ia mengandung
pujian atas jenis al-amîr dan al-jaysy seluruhnya, dalam hal ini
berkonotasi spesifik (ma’rifat) yakni para pemimpin jihad dan pasukannya,
termasuk
pemimpin jihad dan pasukan yang dianugerahi pertolongan-Nya menaklukkan
Konstantinopel;
Kedua, Pujian di balik kalimat ni’ma al-amîr dan ni’ma al-jaysy, tentu
tak hanya mencakup keumuman al-amîr dan al-jaysy, tapi juga mencakup
kata yang dikhususkan (al-makhshûsh) dari kalimat tersebut, bahkan
sebenarnya mereka inilah yang menjadi objek yang dipuji Allah, yakni amîruhâ dan
dzâlika al-jaysy (pemimpin penakluk Konstantinopel dan pasukannya);
Muhammad al-Fatih dan pasukannya.
Syaikh Mushthafa al-Ghulayayni menegaskan kaidah di
atas dalam penjelasannya:
فيكون المخصوص قد مدح مرتين مرة مع غيره، لدخوله في عموم
الجنس، لأنه فرد من أفراد ذلك الجنس، ومرة على سبيل التخصيص، لأنه قد خص بالذكر،
ولذلك يسمى المخصوص.
Maka
objek yang dikhususkan (dalam redaksi kalimat ni’ma) telah dipuji dua
kali; kali pertama dipuji bersama dengan yang lainnya karena keumuman cakupan
dari jenisnya, karena ia adalah bagian dari jenis tersebut, kali kedua pujian
pada kekhususannya, karena ia menjadi objek yang dikhususkan penyebutannya,
oleh karena itulah dinamakan sebagai objek pengkhususan (al-makhshûsh).[14]
Frasa
amîruhâ yang dimaksud hadits ini, sebagaimana ditegaskan al-Shan’ani adalah
penakluk Konstantinopel,[15] diungkapkan dalam bentuk ma’rifat
(spesifik); lafal amîr ditautkan pada kata ganti (dhamîr) hâ’
(al-qusthanthîniyyah) untuk menunjukkan makna spesifik, yakni
penakluk Konstantinopel, begitu pula lafal dzâlika al-jaysy (pasukan
tersebut).
Menariknya,
pujian di balik hadits ini pun dipertegas (al-mu’akkad) dengan adanya
pengulangan lafal ni’ma pada frasa ni’ma al-amîr dan ni’ma
al-jaysy, dalam perspektif ilmu balaghah, yakni ‘ilm al-ma’ânî hal
tersebut termasuk jenis penambahan lafal yang memiliki faidah (al-ithnâb)
berupa pengulangan lafal berikut maknanya (tikrâr al-lafzh), bahkan
ditegaskan dengan keberadaan huruf lâm al-taukîd mengawali lafal ni’ma
(lani’ma).
Dengan
demikian, itu semua semakin kuat menegaskan adanya pujian yang benar dari yang
mulia Rasulullah Saw, baik pujian untuk pemimpin pasukan (amîruhâ)
maupun pasukannya (dzâlika al-jaysy), sehingga relevan jika kaum Muslim
dari masa ke masa di era kekhilafahan, berlomba-lomba menaklukan Konstantinopel
hingga menjadikannya bagian dari kota penting kaum Muslim menebarkan kebaikan
Islam ke seluruh penjuru dunia, dan Allah anugerahkan kebaikan tersebut dan
turunkan pertolongan-Nya, kamâ nahsabuhu, waLlâhu a'lam bi al-shawâb, melalui tangan Sulthan Muhammad II yang masyhûr berjuluk
al-Fâtih (sang penakluk) beserta pasukannya, dimana Konstantinopel lalu diubah namanya menjadi Islambul (Dar al-Islam), dan dilafalkan secara umum dengan istilah Istanbul. Dimana Konstantinopel dikabarkan akan kembali ditaklukkan di akhir zaman sebagaimana Roma, dimana penaklukan Konstantinopel terjadi sebelum keluarnya Dajjal.
C.
Berlomba-Lomba Menjemput Bisyarah
Nabawiyyah: Tegaknya Khilafah
Sungguh, generasi salaf al-ummah dari umat ini,
telah berlomba-lomba menjadikan Konstantinopel bagian dari kaum Muslim, dimana
mereka telah berupaya merealisasikan bisyarah nabawiyyah penaklukan
Konstantinopel, sebagaimana direkam dalam catatan sejarah agung kaum Muslim
salah satunya:
وقد
كان اهتمام الأمويين بفتح القسطنطينية ظاهراً منذ أن توطد الملك لمعاوية بن أبي سفيان
رضي الله عنه (٤١-٦٠هـ /٦٦١-٦٨٠م) ؛ إذ رأى أن الدولة البيزنطية عدو خطر اقتطع المسلمون
من أملاكه بلاد الشام ومصر
Sunggah telah nyata adanya perhatian besar Kekhilafahan
Umayyah dalam penaklukkan Konstantinopel, semenjak kekuasaan secara pasti berada
di tangan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan r.a. (41-60 H/ 661-680 M); dimana ia
memandang Negara Romawi (Bizantyum) merupakan musuh yang sangat berbahaya,
dimana kaum Muslim berbatasan dengan kerajaannya di wilayah Syam dan Mesir.[16]
Khalifah
Mu’awiyyah bin Abu Sufyan r.a. dengan kekhilafahan Umayyah-nya berusaha
menaklukkan Konstantinopel pada tahun 44 H, dengan mengirimkan pasukan yang
dipimpin anaknya, Yazid bin Mu’awiyyah, meskipun belum menemukan titik
keberhasilan, dimana dari penaklukan pertama ini, muncul tokoh kenamaan Abu
Ayyub al-Anshari r.a.
Apakah
kaum Muslim tinggal diam menunggu bantuan turun dari langit? Tidak! Berbagai
usaha setelahnya pun berakhir pada keberhasilan yang tertunda. Hingga kita
mendapati catatan agung, berlomba-lombanya para pemimpin kaum Muslim dan
pasukannya untuk merealisasikan bisyarah nabawiyyah tersebut. Lantas,
bagaimana bisa kaum Muslim di masa kini berpangku tangan dan diam? Tatkala
mendengar bisyarah nabawiyyah yang mengabarkan akan tegak kembali era khilafah
di atas manhaj kenabian?! Dari Hudzaifah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ»
“Selanjutnya
akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud
al-Thayalisi, al-Bazzar)[17]
Dimana
Khilafah inilah yang kelak menjadi jalan pembukaan Kota Roma setelah sebelumnya
dibuka Kota Konstantinopel, berdasarkan hadits bisyarah berikut ini:
«عَنْ أَبِي قَبِيلٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ:
تَذَاكَرْنَا فَتْحَ الْقُسْطَنْطِينِيَّةِ وَالرُّومِيَّةِ، فَدَعَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو بِصُنْدُوقٍ فَفَتَحَهُ، فَقَالَ: كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَكْتُبُ، فَقَالَ رَجُلٌ: أَيُّ
الْمَدِينَتَيْنِ تُفْتَحُ قَبْلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «مَدِينَةُ
هِرَقْلَ» يُرِيدُ مَدِينَةَ الْقُسْطَنْطِينِيَّةِ»
“Dari
Abu Qubail berkata: Bahwasanya ia mendengar Abdullah bin Amr bin al-Ash r.a.,
ia berkata: “Kami mengingat-ingat penaklukan Konstantinopel dan Roma”,
maka Abdullah bin Amr meminta kotaknya lalu ia membukanya, lantas ia berkata: “Dahulu
ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah ﷺ, salah seorang pria bertanya: “Manakah di antara dua kota yang
akan dibuka terlebih dahulu wahai Rasulullah ﷺ?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Kota Heraklius” yang beliau ﷺ maksudkan adalah Konstantinopel.” (HR. Al-Hakim, Al-Thabarani, Al-Darimi,
Ibn Abi Syaibah)[18]
Tatkala sebagian pihak meragukan
khilafah sebagai ajaran Islam dan menjauhkannya dari umat, maka sikap para da'i
adalah tetap teguh dan tak mudah goyah dalam dakwah, ingatlah dengan pesan
agung Allah ’Azza wa Jalla:
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {١٣٩}
“Janganlah kamu bersikap
lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali 'Imrân [3]: 139).
Maka berbahagialah
mereka yang tetap sabar dalam jalan mulia ini. Dengan demikian bisa disimpulkan
bahwa salah satu bentuk pengamalan masuk ke dalam Islam keseluruhannya adalah,
menegakkan pemerintahan Islam. Tidak boleh tidak, hukumnya fardhu, terlebih
jika ia termasuk TÂJ AL-FURÛDH, dimana hal itu kini terurai, digantikan oleh
ajaran-ajaran di luar Islam. Lantas, bagaimana sikap kita? Sikap kita sebagaimana
dituturkan sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dan para ulama
lainnya:
نبني كما كانت أوائلنا * تبني، ونفعل
مثل ما فعلوا
“Kami membangun sebagaimana
generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[19]
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[19]
إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِنْهُمْ فَتَشَبَّهُوْا * إِنَّ
التَّشَبّهَ بِالكِرَامِ فَلاح
“Meskipun kalian belum menjadi seperti mereka maka
serupailah * karena
sesungguhnya menyerupai orang-orang yang mulia merupakan keberuntungan.”[20]
Nantikan
kajian lanjutan terkait hadits-hadits futuhat ini dalam buku yang sedang
kami susun terkait Balaghah & Syarh 40 Hadits-Hadits Pilihan. []
[1] Penulis Buku “Konsep Baku Khilafah Islamiyyah”, Dosen yang
aktif mengajar mata kuliah Fikih Siyasah/Bahasa Arab/Manthiq, dan aktif dalam
kajian-kajian tafsir-balaghah al-Qur’an & Hadits-Hadits Nabawiyyah. Website: www.irfanabunaveed.net e-mail: irfanabunaveed@gmail.com
[2] Abdurra’uf bin Tajul Arifin al-Munawi al-Qahiri, Al-Taysîr bi
Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabat al-Imam al-Syafi’i, cet. III,
1408 H, juz II, hlm. 290.
[3] Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’
al-Shaghîr, Riyadh: Maktabat Dar al-Salam, cet. I, 1432 H, juz IX, hlm. 30.
[4] Abu Umar Yusuf bin Abdullah al-Andalusi (Ibn Abdul Barr), Al-Istî’âb
fî Ma’rifat al-Ashhâb, Beirut: Dar al-Jil, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 170.
[5] Abu al-Hasan Nuruddin ‘Ali bin Abu Bakar al-Haitsami, Majma’
al-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, Kairo: Maktabat al-Qudsi, 1414 H, juz VI,
hlm. 218.
[6] Abu al-‘Abbas Syihabuddin Ahmad al-Bushairi al-Syafi’i, Ittihâf
al-Khîrah al-Maharat bi Zawâ’id al-Masânîd al-‘Asyarah, Riyadh: Dar
al-Wathan, cet. I, 1420 H, juz VIII, hlm. 106.
[7] Abdurra’uf bin Tajul Arifin al-Munawi al-Qahiri, Al-Taysîr bi
Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, juz II, hlm. 290.
[8] Dalam istilah Syaikh Ali bin Ahmad al-‘Azizi (w. 1070 H) (latuftahanna)
yakni bi al-binâ’ li al-maf’ûl, lihat: Ali bin Ahmad al-Azizi, Al-Sirâj
al-Munîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr fî Hadîts al-Basyîr al-Nadzîr, t.p.,
t.t., juz IV, hlm. 121.
[9] Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibn Malik dalam Alfiyyah-nya,
ditegaskan penerapannya oleh Syaikh Ibn al-‘Utsaimin dalam Syarh Durus
al-Balaghah, ketika ia menjelaskan kata kerja pasif yang ditemukan dalam QS.
Al-Jin [72]: 10 {وَأَنَّا لَا
نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْض}, lafal urîda pada kalimat “asyarr[un] urîda
biman fî al-ardh” (apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi)
berbentuk kalimat pasif (mabni li al-majhûl), “dikehendaki” sehingga subjeknya
tidak dimunculkan jelas, dalam istilah Ibn Malik yakni limâ lam yusamma
fâ’iluhu (yakni untuk subjek yang tidak diberi nama), lihat: Abdullah bin
Abdurrahman Ibn ’Aqil, Syarh Ibn ’Aqil ’ala Alfiyyat Ibn Malik, Kairo: Dar
al-Turats, cet. XX, 1400 H.
[11] Mushthafa bin Muhammad Salim al-Ghulayayni, Jâmi’ al-Durûs
al-‘Arabiyyah, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet. XXVIII, 1414 H, hlm.
74.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’
al-Shaghîr, juz IX, hlm. 30.
[16] Sulaiman bin Abdullah al-Suwaikit, Al-Hamlah al-Akhîrah ‘alâ
al-Qusthanthîniyyah fi al-‘Ashr al-Umawi, Madinah: Universitas Islam
Madinah, 1424 H, hlm. 425.
[17] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Syaikh Syu’aib
al-Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya hasan”; Abu Dawud al-Thayalisi dalam
Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796). Hadits ini
merupakan hadits yang maqbûl marfû’, Al-Hafizh al-‘Iraqi (w. 806 H)
mengomentari: “Hadits ini hadits shahih, Imam Ahmad meriwayatkannya dalam
Musnad-nya.” Setelah menukil penilaian
hadits al-Hafizh al-’Iraqi di atas, Syaikh Abu al-Turab Sayyid bin Husain
al-‘Affani pun menegaskan: “Hadits ini merupakan hadits shahih yang menegaskan
kembalinya Khilafah Islamiyyah.”
[18] HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (no.
8301), ia berkata: “Ini adalah hadits shahih sesuai syarat syaikhain (al-Bukhari dan
Muslim), meskipun keduanya tidak meriwayatkannya (dalam shahihain).” Al-Hafizh al-Dzahabi berkomentar: “Sesuai
syarat al-Bukhari dan Muslim.”; Al-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir (no.
166); Al-Darimi dalam Sunan-nya (no. 503), Syaikh Husain Salim al-Darani
mengomentari: “Isnad-nya kuat.”; Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (no.
19811)
[19] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb
al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet.
III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh
wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz I,
hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr
al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî
al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, cet. III, 1417 H, juz
I, hlm. 132.
[20] Syihabuddin al-Alusi, Rûh
al-Ma'âni fî Tafsîr al-Qur'ân, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1415 H, juz I, hlm.
92.
No comments :
Post a comment