Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
Peneliti Balaghah
al-Qur'an & Hadits
Penulis Buku
"InnaLlaha Ma'ana" & "Jahiliyyah Menyikapi Musibah"
![]() |
Sumber Gambar: fajar.co.id |
Fenomena tersebarnya
penyakit HIV/AIDS dikalangan pelaku LGBT, termasuk baru-baru ini, wabah virus Korona,
bisa jadi merupakan salah satu bentuk peringatan, bahkan azab Allah di dunia,
akibat perbuatan buruk yang mereka lakukan di dunia, dan kelak di akhirat jauh lebih
besar jika mereka tak bertaubat.
Karena azab sebagaimana
diungkapkan oleh Imam al-Tsa’labi (w. 427 H) bisa jadi berupa siksa jahannam di
akhirat kelak, bisa pula berupa siksaan lainnya ketika di dunia, misalnya azab
berupa kematian dan penahanan, sebagaimana dalam firman-Nya:
يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ {١٤}
Subjek yang mengadzab
mereka adalah Allah Swt, melalui perantaraan tangan-tangan manusia. Kata bi
aydîkum (yakni dengan tangan-tangan mereka), merupakan bentuk majazi (kiasan),
jenis majaz mursal yang menyebutkan sebagian yakni tangan, namun
maksudnya adalah keseluruhan diri manusia itu sendiri (ithlaq al-juz’i wa
iradat al-kull), tak hanya perbuatan tangan. Namun tangan manusia, jelas
mewakili perbuatannya, karena tangan adalah anggota badan yang paling besar
peranannya dalam memperbuat suatu perbuatan, Allah al-Musta’an.
Fakta penyebaran
penyakit HIV/AIDS yang menghantui para pelaku disorientasi seksual LGBT
misalnya, terutama homoseksual, menegaskan adanya konsekuensi logis dari disorientasi
seksual yang jelas-jelas beresiko tinggi. Fakta yang sudah seharusnya
menyadarkan para pelaku LGBT dan para penggiatnya untuk kembali kepada Islam,
yang memanusiakan manusia dan memelihara mereka dari kebinasaan. Begitu pula
wabah virus Korona yang Allah timpakan pada suatu bangsa yang sepak terjangnya,
jelas-jelas pongah atas kaum Muslim Uighur.
Secara prinsipil, dampak
buruk kejahatan, jelas mengundang malapetaka. Itu semua bagian dari merebaknya krisis penghidupan, sirnanya keberkahan hidup, apakah manusia lupa dengan peringatan Allah?
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي
فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ {١٢٤}
“Dan siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan kumpulkan ia pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thâhâ [20]: 124)
Para ulama menafsirkan al-dzikr
dalam ayat di atas bermakna al-Qur’an dan al-Sunnah. Ibn ’Abbas r.a.,
menjelaskan makna (وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي) yakni berpaling dari mentauhidkan-Ku, dan
dikatakan pula yakni mengingkari Kitab Suci-Ku dan (sunnah) Rasul-Ku.[2]
Sedangkan al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) menegaskan yakni menyelisihi
perintah-Ku, dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku (wahyu), berpaling
darinya, melupakannya dan mengambil selain petunjuknya.
Makna (فَإِنَّ لَهُ
مَعِيشَةً ضَنْكًا) yakni di dunia tiada ketentraman baginya, tidak ada kelapangan
dalam dadanya, bahkan terasa sempit, sesak dengan kesesatannya, dan jika zhahir-nya
seseorang merasa cukup, mengenakan pakaian, memakan makanan, dan tinggal
dimanapun ia mau, sesungguhnya kalbunya tidak mencapai keyakinan dan petunjuk,
dan ia berada dalam kekhawatiran, kehampaan dan keraguan.[3] Ibn
Abbas r.a berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا
والرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ»
“Jika perzinaan dan
riba sudah merajalela di suatu negeri maka sungguh penduduk negeri tersebut
telah menghalalkan adzab Allah atas mereka.” (HR. Al-Thabrani & al-Hakim)[4]
Dalam atsarnya, Ibn Abbas r.a.
memperingatkan:
«مَا ظَهَرَ الْغُلُولُ فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلا أُلْقِيَ فِي قُلُوبِهِمُ
الرُّعْبُ، وَلا فَشَا الزِّنَا فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلا كَثُرَ فِيهِمُ الْمَوْتُ، وَلا
نَقَصَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلا قُطِعَ عَلَيْهِمُ الرِّزْقُ، وَلا
حَكَمَ قَوْمٌ بِغَيْرِ الْحَقِّ إِلا فَشَا فِيهِمُ الدَّمُ، وَلا خَتَرَ قَوْمٌ بِالْعَهْدِ
إِلا سُلِّطَ عَلَيْهِمُ الْعَدُوُّ»
“Tidaklah tampak
kecurangan kecuali ditemukan dalam qalbu mereka keraguan, dan tidaklah
perzinaan tersebar dalam suatu kaum kecuali tersebar di antara mereka kematian,
dan tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan kecuali terputus atas
mereka rizki, dan tidaklah suatu kaum menghukumi (orang yang bersalah) dengan
tidak benar kecuali tersebar di tengah-tengah mereka pertumpahan darah, dan
tidaklah suatu kaum berkhianat terhadap suatu perjanjian kecuali dikuasai oleh
musuh.”[5]
Apa yang terjadi, sudah
seharusnya mendorong orang beriman untuk muhâsabah. Maha benar
Allah Swt yang berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {٤١}
“Telah nampak kerusakan
di daratan dan lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rûm [30]: 41)
Ayat ini mengandung
petunjuk agung dari Allah Swt yang berkaitan erat dengan masa depan hidup
manusia, yakni akibat buruk dari perbuatan mereka yang menegakkan kemungkaran.
Akibat berupa tampaknya kerusakan di daratan dan di lautan, dimana kedua kata
berkebalikan ini (dalam ilmu balaghah yakni al-thibâq), mewakili apa
yang dekat dengan kehidupan manusia berupa daratan dan lautan yang memang jelas
berada di sekeliling mereka, dimana kerusakan tersebut merupakan kerusakan yang
pasti, Allah ungkapkan dengan diksi kata kerja lampau (zhahara).
Kerusakan tersebut Allah
informasikan oleh sebab kemaksiatan manusia ditunjukkan oleh keberadaan huruf
ba sababiyyah pada kalimat bi mâ kasabat aydi al-nâs, dimana
Allah menekankan pada apa yang telah dilakukan oleh kedua tangan manusia (bi
mâ kasabat aydi al-nâs), diungkapkan dengan ungkapan majazi (kiasan)
yakni majaz mursal, dengan menyebutkan sebagian (yakni tangan) namun
yang dimaksud adalah keseluruhan diri manusia (ithlâq al-juz’i wa irâdat al-kull).
Jelasnya ditafsirkan para ulama yakni oleh sebab kemaksiatan dan dosa-dosa yang
dilakukan oleh manusia.
Al-Hafizh Ibn Katsir (w.
774 H) mencontohkan salah satu bentuk fasad tersebut dalam tafsirnya,
berkaitan dengan kesulitan hidup: “Makna firman Allah Swt: (zhahara al-fasad fi al-barr wa al-bahr bi mâ kasabat
aydi al-nâs) yaitu bahwa kekurangan bauh-buahan dan hasil pertanian disebabkan
oleh kemaksiatan.”
Kajian Lanjutan: Koreksi Asasi Atas Candaan Dusta: Prediksi Corona dalam Iqra'
[1] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, Al-Kasyf
wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz III, hlm. 363.
[2] Majduddin Abu Thahir al-Fayruz Abadi, Tanwîr
al-Miqbâs Min Tafsîr Ibn ‘Abbas, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm.
267.
[3] Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-’Azhîm, Ed: Muhammad Husain Syamsuddin, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1419 H, juz V, hlm. 322-323.
[4] HR. Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (no.
462); Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 2261), ia berkata: “Hadits
ini shahih meskipun al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya” disetujui
oleh al-Hafizh al-Dzahabi.
[5] HR. Malik dalam al-Muwaththa’ (no.
862).
Comments
Post a Comment