Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
[Penulis Buku Menyingkap
Jin & Dukun Hitam Putih Indonesia & Buku Jahiliyyah Menyikapi
Musibah]
Pembahasan Penting Terkait: Muhasabah Atas Musibah Wabah Penyakit
![]() |
Pesan Viral di WA |
======
Jangan
Terkejut..Ternyata fenomena Munculnya virus corona sudah di predikdi oleh
seorang kyai asal indonesia..Beliau pengarang kitab IQRO..Silahkan di cek. Di
jelaskan virus corona akan muncul saat zaman penuh dengan kebohongan..
Dengan contoh pesan viral dalam gambar:
Pertanyaan:
"Bagaimana menanggapi pesan viral seperti itu?"
KOREKSI & TANGGAPAN:
Pertama, Harus ditegaskan bahwa pesan
di atas dibangun di atas asumsi kelewat batas, menggunakan kaidah 'cocokologi',
mengaitkan dua hal yang sebenarnya tidak relevan, bisa dipastikan tidak
relevan, terlebih tidak jika diklaim itu adalah prediksi (sejenis ramalan?!)
dari pengarang kitab Iqra'. Maka jelas kebatilan asumsi yang dibangun di
atasnya sesuai kaidah:
كل ما بني على باطل فهو باطل
كل ما بني على فاسد فهو فاسد
“Segala
hal yang dibangun di atas asas yang rusak maka ia pun rusak.”
Bukti
kesalahannya jelas: Dalam buku iqra’ hanya tertulis [قَ
رَ نَ - خَ لَ قَ - زَ مَ نَ - كَ ذَ بَ], padahal dalam kaidah ta’rib (arabisasi dari abjad
latin kepada arabi) lafal “corona” jelasnya tidak ditulis “قَرَنَ” melainkan “كورونا”, dan redaksi “قَرَنَ
خَلَقَ زَمَنَ كَذَبَ” jelasnya bukan kalimat sempurna yang benar secara kaidah (jumlah
mufiidah), karena kalimat yang benar untuk menggambarkan hal tersebut: “كورونا
خُلِقَ فِي زَمَنِ الكَذبِ”.
Kedua, Menisbatkan apa yang
termaktub dalam buku Iqra' dan fenomena wabah virus Corona sebagai prediksi
(ramalan) dari pengarang buku tersebut jelas termasuk kedustaan mengatasnamakan
orang lain (penyusun buku iqra’), mengingat beliau bukan lah seorang peramal
('arraf/kahin), dan tidak sedang meramal mengingat buku iqra' bukanlah buku
ramalan, dan berdusta meskipun untuk goyunan atau candaan tetaplah suatu kedustaan
yang wajib dihindari, terlebih jika kedustaan tersebut bisa mencoreng citra atau
merugikan pihak lain (mengandung kezhaliman).
Bercanda
itu sendiri pada prinsipnya wajib dilakukan sejalan dengan batasan syari’at, di
antaranya tidak boleh mengandung kezhaliman dan kedustaan, sebagaimana
riwayat dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: “Para sahabat berkata: “Wahai
Rasulullah ﷺ, sesungguhnya engkau mencandai kami”, Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا»
“Sesungguhnya
aku tidak akan berkata-kata kecuali kebenaran.” (HR. Al-Tirmidzi, Ahmad)
Menurut
Imam al-Mubarakfuri, makna haqq[an] dalam hadits di atas yakni ’adl[an]
(adil, tidak mengandung kezhaliman) dan shidq[an] (benar, jujur atau
tidak mengandung kedustaan).[2] Hal itu termasuk ke dalam
pesan yang mulia dari Rasulullâh ﷺ:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»
“Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)
Hadits
shahih yang mulia di atas telah meletakkan prinsip yang agung dalam berbicara. Dalam
ilmu ushul fikih, tuntutan perintah dalam hadits ini hukumnya wajib, yakni
kewajiban mengucapkan perkataan yang benar, baik sesuai petunjuk syari’at,
tidak boleh menyelisihinya, karena mengandung indikasi tegas (qarînah jâzimah);
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir”;
Ketiga,
Prediksi atas kejadian masa
mendatang, dalam perspektif akidah Islam jelasnya termasuk perkara ghaib, mengingat
hal itu tersembunyi dan tidak dapat diketahui oleh manusia. Kata ghayb, secara
bahasa (etimologis) berasal dari bahasa Arab; ghaba-yaghibu-ghayban, dalam Al-Mu’jam
al-Wasîth (II/667) artinya lawan dari tampak dan hadir (khilâf syahida
wa hadhara), yakni sesuatu yang tersembunyi. Apa yang terjadi di
masa mendatang, jelas masuk dalam ruang lingkup sesuatu yang tersembunyi,
sehingga wabah virus baru yang dinamakan virus corona, pada prinsipnya merupakan
perkara ghaib bagi kyai penulis buku Iqra’ khususnya di masa tatkala beliau
menyusun buku tersebut dan kalimat di dalamnya.
Dan apa-apa yang tak terjangkau oleh penginderaan (ghayb),
maka ia tak terjangkau oleh ‘aql, maka wajib dikembalikan kepada dalil-dalil
naqliyyah dari nas al-Qur’an dan al-Sunnah, jika tidak ada, maka tidak boleh
berhalusinasi sendiri, sebagaimana ditegaskan Al-‘Allamah Al-Qadhi
Taqiyuddin Al-Nabhani (w. 1397 H):
مَا لاَ يُدْرِكُهُ الحِسّ لاَ يُدْرِكُهُ العَقْل
“Apa-apa yang tak bisa terindera (oleh panca indera-pen.)
maka ia takkan bisa dijangkau oleh akal (pikiran).”
Terlebih kunci-kunci keghaiban
hakikatnya milik Allah, dimana Allah menegaskan bahwa tiada yang mengetahuinya
kecuali Dia semata, sebagaimana firman-Nya:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا
هُوَ
{٥٩}
“Dan pada sisi Allah-lah
kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.”
(QS. Al-An’âm [6]: 59)
Orang yang meramal dan
memprediksikan perkara ghaib dengan suatu peramalan, maka ia dinamakan kâhin
(dukun). Para ulama ketika menafsirkan QS. Al-Thûr [52]: 29, semisal Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H) menjelaskan:
هو الذي يخبر بالغيب بضرب من الظن، وخص الراغب الكاهن بمن يخبر
بالأخبار الماضية الخفية كذلك، والعرّاف بمن يخبر بالأخبار المستقبلة كذلك،
والمشهور في الكهانة الاستمداد من الجن في الإخبار عن الغيب
(Dukun)
adalah orang yang mengabarkan berita ghaib sejenis ramalan belaka, dan Imam
ar-Raghib[3]
mengkhususkan kâhin sebagai
seseorang yang mengabarkan hal-hal yang telah terjadi yang
bersifat rahasia. Adapun ‘arrâf (peramal) sebagai
orang
yang mengabarkan hal-hal yang akan terjadi.[4]
Dan sudah menjadi hal yang masyhur dalam dunia perdukunan, (kâhin & ‘arrâf)
memperoleh berita-berita ghaib dari bangsa jin.[5]
Kelima,
Secara keseluruhan, pesan tersebut
meskipun ringkas, tapi mengandung sisipan pendangkalan akidah, seakan-akan
prediksi (peramalan) tersebut adalah hal yang lumrah, dan itu jelas batil,
wajib dibantah dan diluruskan. Maka sebagai nasihat bagi kaum Muslim, hendaknya
saling mengingatkan dan menjaga umat dari berbagai pendangkalan akidah, baik
yang sifatnya halus tersembunyi maupun terang-terangan. Darimana masyarakat dibodohi dengan berbagai guyonan seperti itu, lebih baik diingatkan dengan peringatan-peringatan syar'i atas musibah yang terjadi di muka bumi:
[]
Pondok
Al-Qur’an di Kota Santri
31 Januari 2020
والله
أعلم بالصواب
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
[1] Prof.
Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmi,
Damaskus: Dar al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz I, hlm. 264; Abdul Muhsin bin
Abdullah al-Zamil, Syarh al-Qawâ’id al-Sa’diyyah, Riyadh: Dar Athlas
al-Khadra’, cet. I, 1422 H, hlm. 343.
[2] Abu
al-‘Alla Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfat
al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi’
al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz. VI, hlm. 108.
[3] Ia adalah Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad ar-Râghib
al-Ashfahani penulis kitab Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân.
[4] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-Râghib
al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Damaskus: Dar al-Qalam,
Cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 728.
[5] Syihabuddin Mahmud bin ‘Abdillah al-Husayni
al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’u al-Matsânî,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1415 H, juz 14, hlm. 36.
Comments
Post a Comment