Salah
satu hadits yang menggambarkan keutamaan menangis karena takut atas siksa Allah
adalah hadits yang dinukil dalam Min Muqawwimât al-Nafsiyyah al-Islâmiyyah sebagai
berikut:
“Tidak
akan masuk neraka seorang yang menangis karena takutkepada
Allah hingga air susu kembali lagi ke tempatnya. Dan tidakakan berkumpul
debu perang di jalan Allah dengan asap jahannam.” (HR. Al-Tirmidzi.
Abu Isa berkata: “Hadits ini hasanshahîh”)
Menariknya,
hadits ini dalam perspektif ilmu balaghah mengandung ungkapan cantik, nyastra,
yang menggambarkan kecerdasan Rasulullah ﷺ
mencakup kecerdasan linguistik (fashîh balîgh). Ketika menjelaskan
hadits ini, Al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) menuturkan:
Hingga air susu
kembali kepada tempat penyusuannya: ini termasuk bahasan al-ta’lîq bi al-muhâl
(penggantungan sesuatu dengan hal-hal yang mustahil)[1]
Yakni
untuk menunjukkan kemustahilan sesuatu sehingga diserupakan dengan kemustahilan
lainnya yang lebih mudah dipahami. Al-Mulla Ali al-Qari berdalil sebagaimana potongan
ayat “{حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ
الْخِيَاطِ}” dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan
dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga,
hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada
orang-orang yang berbuat kejahatan.” (QS.
Al-A’râf [7]: 40)
Dalam perspektif ilmu balaghah
(‘ilm al-bayân) potongan ayat di atas mengandung bentuk tasybîh dhimnî,
yakni suatu bentu penyerupaan yang tidak disusun di dalamnya al-musyabbah
dan al-musyabbah bihi sebagaimana dalam gambaran umum bentuk tasybîh,
akan tetapi digambarkan secara tersirat (ghayr sharîhah) adanya al-musyabbah
dan al-musyabbah bihi tersebut, yang dipahami dari maknanya.[2]
Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili (w. 1436 H) dalam kitab Al-Tafsîr al-Munîr menjelaskan:
لا تُفَتَّحُ
لَهُمْ أَبْوابُ السَّماءِ كناية عن عدم قبول العمل يوم القيامة. حَتَّى يَلِجَ
الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِياطِ فيه تشبيه ضمني، أي لا يدخلون الجنة إلا إذا دخل
الجمل في ثقب الإبرة، وهو تمثيل للاستحالة.لَهُمْ مِنْ
جَهَنَّمَ مِهادٌ وَمِنْ فَوْقِهِمْ غَواشٍ استعارة لما يحيط بهم من كلّ جانب مثل
قوله:لَهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ، وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ
“Tidak dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka” merupakan kinâyah tidak diterimanya amal
baik mereka pada Hari Kiamat, “hingga unta masuk ke lubang jarum” di
dalam ayat ini terkandung tasybîh dhimnî, yakni mereka tidak akan masuk jannah-Nya
kecuali jika unta masuk ke dalam lubang jarum, dan ini merupakan perumpamaan
atas suatu kemustahilan (tamtsîl li al-istihâlah). “Mereka mempunyai
tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka)” ini
merupakan kiasan isti’ârah (peminjaman istilah) untuk menggambarkan
sesuatu yang melingkupi mereka dari segala sisinya, semisal firman-Nya:
“Bagi
mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun
lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya
dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku.” (QS.
Al-Zumar [39]: 16)[3]
Hal senada diuraikan oleh Prof. Dr. Muhammad Ali
al-Shabuni dalam kitab Shafwat al-Tafâsîr:
{حتى يَلِجَ
الجمل فِي سَمِّ الخياط} فيه تشبيه ضمني أي لا يدخلون الجنة بحالٍ من الأحوال إلا
إِذا أمكن دخول الجمل في ثقب الإِبرة، وهو تمثيلٌ للاستحالة.
“Hingga unta masuk ke lubang jarum” di dalam ayat ini terkandung tasybîh
dhimnî yakni mereka tidak akan memasuki jannah dalam kondisi apapun,
kecuali jika memungkinkan masuknya unta ke dalam lubang jarum, dan ini
merupakan perumpamaan bagi kemustahilan (tamtsîl li al-istihâlah).[4]
Dari berbagai keterangan di atas bisa disimpulkan
bahwa kalimat “لَا يَلِجُ النَّارَ مَنْ بَكَى مِنْ
خَشْيَةِ اللَّهِ حَتَّى يَعُودَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ” dalam hadits jelasnya mengandung bentuk al-tasybîh
al-dhimnî. []
والله أعلم بالصواب
[1] Abu al-Hasan
Ali bin Muhammad al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut:
Dar al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VI, hlm. 2478.
[2] Ahmad bin
Ibrahim al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’ânî wa al-Bayân wa al-Badî’,
Ed: Dr. Yusuf al-Shumaili, Beirut: al-Maktabat al-‘Ashriyyah, hlm. 239.
Ahmad al-Hasyimi menjelaskan:
هو تشبيه ٌ لا يوضع فيه المشبه والمشبه به
في صورة من صور التشبيه المعروفة، بل يلمح المشبه والمشبه به، ويفهمان من المعنى،
ويكون المشبه به دائماً برهاناً على امكان ما أسند إلى المشبه
[3] Prof. Dr.
Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah
wa al-Manhaj, Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet. II, 1418 H, juz VIII,
hlm. 204.
[4] Prof. Dr.
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, Kairo: Dar al-Shabuni, cet.
I, 1417 H, hlm. 416.
"RAJIN PACARAN,
MALAS MENIKAH. APA PERLU DIRUQYAH?"
Agenda "QURBANKU,
PERJUANGANKU" bersama #IndonesiaTanpaPacaran selanjutnya menghadirkan
Ustadz Irfan Abu Naveed, M.Pd.I, seorang Dosen Fiqih -Bahasa Arab, Penulis,
Pengkaji Tafsir serta Balaghah Al-Qur'an dan Praktisi Ruqyah Syar'iyyah. Beliau
akan membawakan materi dengan tema "RAJIN PACARAN, MALAS MENIKAH. APA
PERLU DIRUQYAH?"
[Dosen Bahasa Arab-Fikih/Penulis "Konsep Baku
Khilafah Islamiyyah"]
Istilah "khilafahisme" yang dipopulerkan
baru-baru ini, jelas mengandung konotasi 'urfi, dengan tujuan melakukan
delegitimasi dan deradikalisasi Khilafah sebagai ajaran Islam, untuk distigma,
dinisbatkan kepada paham suatu kelompok tertentu (sempalan), dalam hal ini HT
sebagai tertuduh, lalu dengan mudah disandingkan dengan Komunisme.
Jelas istilah ini mungkar, dan mengandung
kemungkaran, wajib dibantah, mengingat suatu kata, ketika ia mengandung
konotasi haqiqah 'urfiyyah yang bertentangan dengan Islam, mengandung celaan
pada hukum Islam, pada Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam, termasuk
deradikalisasi serta delegitimasi atasnya, jelas merupakan istilah yang haram
digunakan, sebagaimana ditegaskan ulama, semisal Syaikhuna 'Atha bin Khalil Abu
al-Rasytah -hafizhahullah- dalam tafsirnya.
Perbuatan buruk ini, persis seperti perbuatan
Yahudi yang dicela dalam nas-nas al-Qur'an.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad): "Ra'ina", tetapi katakanlah:
"Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih." (QS. Al-Baqarah [2]: 104)
"Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah
perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata : "Kami mendengar",
tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula) :
"Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan
(mereka mengatakan) : "Raa'ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan
mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan : "Kami mendengar dan menurut,
dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi
mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran
mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 46)
Kalimat "لَيًّا
بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ" ini sama persis seperti permainan di balik istilah
"khilafahisme", lafal "layyan" dalam ayat ini, biasanya
digunakan dalam lisan arabi untuk memotong tali, di sini digunakan untuk
"lisan", mengandung kiasan yang dipinjam (majaz al-isti'arah), dahulu
lafal ra'ina misalnya, disimpangkan maksudnya, "dipotong", menjadi
ru'unah, di zaman ini "khilafah" jadi "khilafahisme"
(dengan konotasi istilah yang sesat menyesatkan).
Maka, berhentilah membuat-buat kedustaan di balik
istilah "Khilafahisme", pertanggungjawabannya berat di akhirat kelak!
Ikhwah fillah, salah
satu motivasi terbesar mempelajari dan mendalami bahasa arab (al-lughah
al-'arabiyyah) adalah kenyataan bahwa al-Qur'an al-Karim diturunkan Allah 'Azza
wa Jalla dengan bahasa arab.
Al-Qur’an, sebagaimana
firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Alif,
laam, raa, ini adalah ayat-ayat Kitab (Al-Qur’an) yang nyata (dari Allah).
Sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Qur’an) dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.” (QS. Yûsuf [12]: 1-2)
Perhatikan kata kunci
"la'alla" pada kalimat la'allakum ta'qilun, menunjukkan bahwa
al-Qur'an sangat mungkin dipahami oleh manusia-manusia pembelajar, baik bagi
bangsa Arab maupun Ajam.
*MENGUKUHKAN AJARAN
ISLAM, KHILAFAH, DI TENGAH VIRUS LIBERALISASI PEMIKIRAN SAAT PANDEMI COVID-19*
_Kajian Ushuli, Balaghi
& Turats Ulama Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah_
*Muqadimah*
Al-Khilafah, semakin
mendapatkan tempat di hati masyarakat, ditandai oleh semakin meluasnya sambutan
umat atasnya, relevan dengan kejelasannya sebagai bagian dari ajaran Islam yang
mulia, tersurat dan tersirat dalam al-Qur'an dan sunnah semulia-mulianya insan,
Nabiyullah al-Mushthafa Muhammad ﷺ,
ditegaskan kefardhuannya sebagai konsensus para sahabat _radhiyallahu 'anhum_,
diikuti konsensus Ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah dalam turats mereka yang
berharga.
Namun sayang beribu
sayang, di tengah gencarnya dakwah penegakkan syari'at Islam dan Khilafah, kaum
Muslim masih dihadapkan pada penyesatan opini menyoal Khilafah sebagai bagian
dari proyek liberalisasi pemikiran. Lafal al-Khilafah yang disebutkan hadits
nabawi pun distigma sebagai "virus", padahal yang mulia baginda
Rasulullah ﷺ menyebutkannya dengan sifat bermanhajkan
kenabian, menyiratkan adanya konsepsi syar'i dan pujian, dari Hudzaifah bin
al-Yaman r.a., Rasulullah ﷺ
bersabda:
“Kemudian akan ada
kembali Khilâfah di atas manhaj kenabian.” (HR Ahmad,
al-Bazzar, Abu Dawud al-Thayalisi)
Maka, bertolak pada
kecintaan kami pada sunnah yang mulia baginda Rasulullah ﷺ,
yang wajib dibuktikan dengan membela sunnahnya, termasuk sunnah dalam persoalan
kepemimpinan (al-Imamah al-'Uzhma), sebagaimana pesan Rasulullah ﷺ
yang bersabda:
“Barangsiapa yang
menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja yang
mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni Jannah-Nya.”
(HR. Al-Tirmidzi, al-Thabarani)
Maka, dengan suka cita
kami mempersembahkan:
➖➖➖➖➖➖➖➖➖
*MENGUKUHKAN
AJARAN ISLAM, KHILAFAH, DI TENGAH VIRUS LIBERALISASI PEMIKIRAN SAAT PANDEMI
COVID-19*
_Kajian Ushuli, Balaghi
& Turats Ulama Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah_
_Topik Diskusi &
Narasumber:_
*1. Kritik Paradigmatik
Atas Liberalisasi Pemikiran Menyoal Khilafah*
Oleh: Ust Irfan Abu
Naveed, M.Pd.I (Dosen Fikih Siyasah, Penulis Buku _Konsep Baku Khilafah
Islamiyyah_)
Kajian Reupload di Channel Irfan Abu Naveed:
https://bit.ly/3cdxXGx
Ikhwah fillah, silahkan disimak kajian online menyoal Khilafah
yang diupload ulang di Channel Youtube "Irfan Abu Naveed", disajikan
selama Ramadhan dalam empat topik menarik dan cukup komperhensif, disajikan
secara ringkas padat, live zoom dan live streaming youtube selama Ramadhan 1441
H, dihiasi dengan soal jawab berbobot ilmu, bi fadhlillahi Ta'ala.
Keempat acara ini, digagas dalam rangka membela sunnah
kepemimpinan dalam Islam, al-Khilafah, dengan menyajikan sajian nikmat turats
ulama ahl al-sunnah wa al-jama'ah, mengulas dalil-dalil bisyarah tegaknya
Khilafah dengan ilmu alat bahasa arab (nahwu-sharaf-balaghah arabiyyah),
diikuti koreksi argumentatif bernas atas berbagai syubhat terkait khilafah,
hingga menjernihkan akal pikiran, menentramkan kalbu dan membuahkan keyakinan
untuk istiqamah dalam perjuangan, maka kami hadirkan sajian spesial dalam topik
menarik di atas, dengan menghadirkan:
Rekaman kajian online Ramadhan 1441 H, menyoal khilafah dalam
perspektif ulama ahlus sunnah wal jama'ah, kajian mencakup kajian turats,
kitab-kitab rujukan dari ulama muktabar, mencakup pembahasan:
ernikahan, menempati
tempat yang agung dalam Islam, sebagai salah satu sunnah yang mulia para Rasul –’alaihim al-salâm-, termasuk baginda Rasulullah ﷺ, dari Abu
Ayyub r.a., ia menuturkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ada empat perkara yang termasuk sunnah para Rasul: rasa-malu, memakai
wewangian, bersiwak, dan menikah.” (HR. Al-Tirmidzi, Al-Thabarani)[2]
Dimana sunnah ini menjadi sebab di
antara sebab berpegang teguh pada agama, menjadi tanda di antara tanda-tanda
keagungan Allah Swt. Syaikh Abu
Abdullah Muhammad al-Tihami al-Fasi al-Maliki (w. 1333 H) dalam Qurrat al-‘Uyûn pun menuturkan:
كان النكاح من أعظم أسباب الاعتصام، وأكبر داع إلى التعفف والتحصن من
الأوزار والآثام، جعله الله تعالى منًّا على عباده المؤمنين ورحمةً، وحصنًا من
الشيطان الرجيم وعِصمةً
“Pernikahan termasuk seagung-agungnya
sebab berpegang teguh (pada Islam), sebesar-besarnya penyeru kepada sikap
memelihara diri, menjaga dari perbuatan batil dan dosa, Allah Ta’ala
menjadikannya sebagai Kemurahan-Nya atas hamba-hamba-Nya yang beriman, rahmat
dari-Nya dan pemeliharaan dari syaithan yang terkutuk dan penjagaan Allah
darinya.”[3]
Di antara keistimewaan hidup
menikah dan berpasang-pasangan dalam Islam adalah; Allah menyifatinya
dalam Kalam Suci-Nya, al-Qur’an al-Karim, sebagai salah satu tanda-tanda
kekuasaan-Nya (ayat kauniyyah), yang sudah seharusnya meningkatkan keimanan dan
keta’atan pada-Nya:
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS.
Al-Rûm [30]: 21)
Kalimat wa min âyatihi dalam permulaan ayat ini
menunjukkan bahwa hidup berpasang-pasangan, lelaki dan perempuan, merupakan
salah satu tanda-tanda keagungan-Nya, termasuk ayat kauniyyah yang sudah
seharusnya meningkatkan keimanan dan keta’atan pada-Nya. Bukankah tatkala
seseorang menikah ia mendapati pergiliran kehidupan? Terdapat pergiliran antara
perjumpaan dan perpisahan, kebahagiaan dan kesedihan, sebagaimana ia pun
mendapati keagungan Allah di balik rizki setelah menikah, dan lahirnya anak
keturunan dari saripati air mani yang ditiupkan padanya sirr al-hayât (roh)?
Itu semua sebagian kecil dari tanda-tanda keagungan Allah di balik hidup
berpasang-pasangan yang sudah seharusnya menguatkan keimanan.
Sebagaimana Allah pun mengajak manusia berpikir memikirkan
tanda-tanda keagungan-Nya di alam semesta (ayat kauniyyah) dalam
firman-Nya:
أَلَمْ
نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا {٦}
“Bukankah Kami
telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?” (QS. Al-Naba’ [78]:
6)
Hingga
tiba pada ayat berikutnya:
وَخَلَقْنَاكُمْ
أَزْوَاجًا {٨}
“Dan
Kami jadikan kamu berpasang-pasangan.” (QS. Al-Naba’ [78]:
8)
Apa maknanya? Yakni
kaum laki-laki dan perempuan(dzukûr[an] wa inâts[an]).[4]Hal ini sejalan
dengan pengertian manusia yang disebutkan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji (w. 1435 H) dalam kamusnya dengan ciri khas memiliki kemampuan berpikir:
الإنسان: المخلوق الحي المفكر للمذكر
والمؤنث(human being)
“Al-Insân (manusia)
adalah makhluk yang hidup dan bisa berpikir, dengan (dua jenis) laki-laki dan perempuan.”[5]
Kemampuan
berpikir manusia itu sendiri termasuk tanda-tanda keagungan Allah yang
menciptakan keragaman potensi hidup pada makhluk-Nya, yang membedakan antara
manusia dan binatang. Menuntut manusia memikirkan hakikat dirinya yang merupakan makhluk ciptaan Allah, dan di
dalam penciptaan dirinya terdapat tanda-tanda keagungan Allah ’Azza wa Jalla
sebagaimana firman-Nya:
وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ {٢١}
“Dan (juga) pada dirimu sendiri (terdapat tanda-tanda),
maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Al-Dzâriyât
[51]: 21)
Dimana keagungan penciptaan manusia pun diinformasikan
dalam banyak nas al-Qur’ân al-’Azhîm
mencakup keagungan penciptaan fisik,[6] ruh dan
potensi kehidupannya yakni kemampuan berpikir dengan akalnya, termasuk
keagungan Allah di balik hidup berpasang-pasangan, menjaga keberlangsungan
generasi umat manusia, adanya penciptaan dan informasi menyoal prosesnya,
adanya ruh (sirr al-hayât), hidupnya manusia, berpasang-pasangan dan
memperbanyak keturunan.
Itu semua sudah
seharusnya mengantarkan pada keimanan yang benar, dan menguatkan keyakinan
untuk merealisasikan tujuan hidup manusia di dunia; mengabdi kepada-Nya, dimana
realisasi tujuan tersebut bisa disokong oleh pasangan hidup yang satu visi dan
misi beribadah kepada-Nya, sehingga relevan tatkala Islam menggariskan sunnah
pernikahan, dan mengatur sedemikian rupa tata kelola kehidupan berumah tangga.
A.Salah Satu Hikmah Pernikahan yang Ditunjukkan Al-Qur’an:
Sakinah, Mawaddah & Rahmah
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS.
Al-Rûm [30]: 21)
Dalam ayat yang agung ini, terdapat petunjuk hikmah
pernikahan dalam Islam. Ditandai keberadaan huruf lâm al-ta’lîl (huruf lâm
penanda tujuan) pada frasa litaskunû, dimana huruf ini ditegaskan
al-’Alim al-Syaikh Atha bin Khalil Abu al-Rasytah sebagai petunjuk hikmah dalam
tafsirnya, menegaskan hikmah pernikahan dalam petunjuk Allah: membuahkan
sakînah, mawaddah dan rahmah.
Kata sakînah dalam al-Qâmûs
al-Muhîth berkonotasi:al-thuma’nînah
(ketenteraman)[7], menyiratkan adanya
kebaikan dalam institusi pernikahan, tatkala ia menjadi salah satu hikmah
pernikahan dalam Islam, sebagaimana digambarkan dalam al-Mufradât fî Gharîb
al-Qur’ân, yakni:
السكينةإذا سكّن عن الميل إلى الشّهوات
“Sakînah yakni jika meredam kecenderungan pada berbagai
jenis syahwat”[8]
Syahwat itu sendiri merupakan salah satu wujud dari
keburukan, tatkala ia diumbar hingga melibas batas-batas syari’at, baik syahwat
terhadap harta, tahta maupun wanita. Pernikahan yang membuahkan sakînah, hakikatnya
membuahkan ketenteraman kalbu, mengantarkan seseorang untuk mudah mengingat
Allah. Imam al-Raghib al-Ashfahani
(w. 502 H) menjelaskan, bahwa hakikat pengertian ini terkandung dalam
firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.”
(QS. Al-Ra’d [13]: 28)
Ketenteraman di sini, mencakup terpenuhinya hasrat seksual
atas kaum wanita, lebih menundukkan pandangan mata dan syahwat, serta lahirnya
ketenteraman dengan lahirnya buah hati yang menjadi perhiasan mata, menyejukkan
pandangan dan menjadi ladang amal menuai kebaikan. Dimana istri adalah pakaian
bagi suaminya, dan sebaliknya, sebagaimana petunjuk dalam firman-Nya:
“Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah [2]:
187)
2.Hikmah Pernikahan Membuahkan Mawaddah (Cinta)
Sedangkan kata mawaddah
menggambarkan kecendrungan rasa cinta, al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) menjelaskan kata al-wudd
(al-mawaddah):
محبّة الشيء، وتمنّي
كونه، ويستعمل في كلّ واحد من المعنيين على أن التّمنّي يتضمّن معنى الودّ، لأنّ
التّمنّي هو تشهّي حصول ما تَوَدُّهُ
Al-Wudd
(mashdar
dari kata kerja wadda-yawaddu) bermakna mencintai sesuatu dan merindukan
keberadaannya, dan penggunaannya berlaku satu sama lain, mengingat kerinduan
mengandung konotasi kecintaan, karena kerinduan pada sesuatu memikat sampainya
pada apa yang dicintainya.[9]
Hikmah ini, sejalan dengan pesan indah baginda Rasulullah
ﷺ,
dari Ibn Abbas r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ
النِّكَاحِ»
“Tidak didapati (solusi paling
tepat) bagi dua orang (pasangan) yang saling mencintai, yang dapat menyamai
pernikahan.” (HR.
Al-Hakim, Al-Thabarani, Abu Ya’la)[10]
Yakni tidak ada solusi yang paling tepat bagi dua orang
(sepasang pria dan wanita) yang saling mencintai selain solusi pernikahan,
menakjubkan hingga diulas oleh al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H)
berulang dalam sejumlah kitabnya, ia menuturkan: “Kaum cendekiawan dari kalangan para dokter dan selain
mereka dalam topik pengobatan bersepakat bahwa penawar atas penyakit ini
(syahwat) adalah menyatukan dua hati dan menempelkan dua tubuh (jima’)”[11], yakni dengan sarana pernikahan, menghalalkan
keduanya.
Lafal rahmah dalam bahasa arab adalah mashdar dari kata kerja rahima[12], istilah ini
menurut Imam Al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) mengandung konotasi al-riqqah
(kelembutan) atau al-ihsân (kebajikan),[13] atau al-khair
(kebaikan) dan al-ni’mah (kenikmatan).[14] Maka ia termasuk satu
lafal yang berserikat di dalamnya lebih dari satu makna (lafzh musytarak)[15]
yang pemaknaannya ditentukan indikasi lainnya.[16]
Kata al-rahmah dalam ayat ini berkonotasi al-riqqah
(kelembutan), atau al-khair (kebaikan), yang kemudian tergambar
dengan munculnya rasa “kasih sayang”, karena sifat rahmat di antara makhluk-Nya
menurut al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H), tergambar dalam bentuk: kelembutan (al-riqqah)
dan kasih sayang (al-ta’aththuf). Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H)
menjelaskan:
الرَّحْمَةُ رقّة تقتضي الإحسان إلى
الْمَرْحُومِ
Al-Rahmah adalah kelembutan yang membuahkan kebaikan (ihsan)
kepada pihak yang dikasihi[17]
Hikmah rahmah (kasih sayang) ini sejalan dengan
prinsip agung: rumah tangga dalam Islam dibentuk dengan asas “mu’âsyarah bil
ma’rûf”,dilandasi kasih sayang,
dimana Rasulullah ﷺ
memuji sifat ini dalam hadits-haditsnya yang mulia, dari Abdullah bin Amru
r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
“Para penyayang itu akan disayangi oleh Yang
Maha Penyayang Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Sayangilah makhluk yang ada di
bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Ahmad. Lafal
al-Tirmidzi)[18]
“Siapa saja yang tidak menyayangi manusia,
maka Allah ’Azza wa Jalla tidak akan menyayanginya.” (HR. Muslim, Ahmad)[19]
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya rasa kasih
sayang, terlebih pada sosok yang menjadi pendamping hidup, suami atau istri.
Kasih sayang tersebut harus tergambar pula bahkan tatkala seorang suami
menggauli istrinya, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 19)
Kalimat “kemudian jika kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak” membimbing manusia untuk
membaguskan prasangka terhadap mereka, dan mengingat berbagai kebaikan yang
telah dilakukan istri padanya. Allah pun berfirman:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]:
228)
Dalam kitab Syarh ’Uqûd al-Lujain, diuraikan:
Makna dari hak yang seimbang dengan kewajiban ialah para istri memiliki hak dan
kewajiban dan boleh meminta haknya, bukan dalam satu jenis, dengan cara yang
ma’ruf yaitu sesuatu yang dinyatakan baik oleh ajaran Islam, seperti baik
bergaul dan tidak melakukan hal yang merugikan atau ketidaknyamanan satu sama
lain. Oleh karenanya Ibn Abbas r.a. berkata:
“Sesungguhnya aku sangat senang bersolek untuk
istriku, sebagaimana istriku senang bersolek untuk diriku.” (HR.
Ibn Abi Syaibah)[20]
Dimana
Ibn Abbas r.a. pun menukil ayat yang agung di atas sebagai dalilnya. Hatta ketika
seorang istri berbuat nusyûz (durhaka) terhadap suaminya, Islam
mengajarkan tuntunan agung dalam meluruskannya sebagai nasihat baginya,
Rasulullah ﷺ bersabda ketika Hujjat al-Wada’ (haji
perpisahan):
“Ketahuilah,
berbuat baiklah terhadap wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian
tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka di tempat
tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika kemudian
mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Ketahuilah; kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri kalian memiliki hak
atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak boleh memasukkan
orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Tidak boleh memasukan seseorang
yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Ketahuilah; hak istri kalian atas
kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan
makanan (kepada) mereka.” (HR. Al-Tirmidzi)[21]
Dalam
atsar Ali bin Abi Thalib r.a. disebutkan:
حسن الخلق في ثلاث
خصال: إجتناب المحارم, وطلب الحلال, والتوسعة على العيال
“Baiknya akhlak tergambar dalam tiga bentuk:
menjauhi berbagai keharaman, menunaikan yang halal dan bersikap lapang pada
keluarganya.”[22]
Penafsiran ini, dikuatkan dengan pesan agung dalam hadits
Rasulullah ﷺ, yang
menggambarkan hubungan keimanan dengan akhlak terpuji dalam haditsnya:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Al-Tirmidzi)
Penggambaran
kemuliaan akhlak sebagai buah dari kesempurnaan iman, menunjukkan keutamaan
berakhlak mulia sebagai konsekuensi keimanan, sehingga bisa disimpulkan pula bahwa
baiknya khuluq seseorang erat kaitannya dengan Din Islam, yakni
keterikatannya pada syari’at Islam. Al-‘Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H) pun menegaskan bahwa akhlak
merupakan bagian dari syari’at Islam, ia terikat dengan perintah dan larangan
Allah.
Dari
Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
“Berwasiatlah untuk para wanita karena
sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan yang paling bengkok
dari bagian tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau ingin meluruskan
tulang rusuk tersebut maka engkau akan mematahkannya, dan jika engkau
membiarkannya maka ia akan tetap bengkok, maka berwasiatlah untuk para wanita.”
(HR Al-Bukhari, al-Nasa’i, Ibn Abi Syaibah)[23]
Makna
dari sabda Rasulullah ﷺ: “Berwasiatlah untuk para wanita” ada
beberapa kemungkinan pemaknaan, sebagaimana diuraikan oleh al-Hafizh Ibn Hajar
al-‘Asqalani (w. 852 H), diantaranya:
Pertama, Ada
yang berpandangan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian saling berwasiat
untuk memperhatikan dan menunaikan hak-hak para wanita”;
Kedua, Ada
yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian meminta wasiat dari
orang lain untuk menunaikan hak-hak para wanita”. Sebagaimana seseorang yang
ingin menjenguk saudaranya yang sakit maka disunnahkan baginya untuk berwasiat,
dan berwasiat kepada wanita perkaranya lebih utama mengingat kondisi mereka
yang lemah dan membutuhkan orang lain yang menunaikan kebutuhan mereka;
Ketiga, Ada
yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Terimalah wasiatku (Nabi ﷺ)
tentang para wanita dan amalkanlah wasiat tersebut, bersikap lembutlah kepada
mereka dan pergaulilah mereka dengan baik”.
Pendapat
yang terakhir inilah yang menurut Ibn Hajar lebih tepat (raajih).[24]
Inti
dari ketiga penafsiran di atas adalah hendaknya para suami memberikan perhatian
yang serius dalam bersikap baik kepada para wanita, termasuk tatkala mereka
berbuat nusyuz, wajib memperhatikan tuntunan Islam menanganinya. Tidak
dengan cara yang menyalahi Islam hingga menjadikannya semakin terpuruk,
misalnya dengan cara memukul keras wajahnya, dari Hakim bin Mu'awiyah, dari
ayahnya dari Nabi ﷺ, bahwa seseorang bertanya kepada beliau: “Apa
hak seorang istri dari suaminya?” Beliau ﷺ menjawab:
“Kamu
memberinya makan sebagaimana kamu makan, memberinya pakaian sebagaimana kamu
berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya dan tidak
meng-hajr-nya (memisahkan dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah.”(HR. Ahmad, Ibn Majah, Ibn Hibban)[25]
B.Salah Satu Amanah dalam Kehidupan Keluarga yang
Ditunjukkan Al-Qur’an: Pendidikan Islam
Islam pun
menetapkan bahwa pendidikan anak menjadi tanggung jawab orangtuanya; memelihara
fitrahnya agar berada di atas rel Islam, dan mendidiknya hingga berkepribadian
Islam. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. Al-Tahrîm [66]: 6)
Al-Hâfizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) ketika menafsirkan QS. Al-Tahrîm [66]: 6 menjelaskan bahwa yang dimaksud menjaga diri
(wiqâyat al-nafs) adalah dengan melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan (sesuai tuntunan
syari’at Islam), adapun menjaga keluarga (wiqâyat al-ahl), dimana di
antara tanggung jawab utama orang tua adalah mendidik anak-anaknya; yakni
dengan memerintahkan mereka kepada keta’atan dan melarang mereka dari
kemaksiatan.[26]
Maka dalam perspektif ilmu balaghah, ayat yang agung ini jelas
mengandung bentuk kiasan (al-majaaz al-mursal bi al-’alâqah al-musabbabiyyah)
dengan menyebutkan akibat (al-musabbab) namun yang dimaksud adalah sebab
itu sendiri (al-sabab), yakni bahwa: jagalah dirimu dan keluargamu
dari hal-hal yang bisa menyebabkan kalian disiksa dalam Jahannam. Bentuk
penjagaan seperti apa? Jelasnya bisa dilakukan dengan mendidik diri dan
keluarga dengan Islam.
Ali bin Abi Thalib
r.a., sebagaimana dinukil al-Hâfizh Ibn al-Jauzi dalam tafsir QS. Al-Tahrîm [66]: 6, mengatakan:
Hal ini sejalan
dengan perintah Allah untuk mendakwahi orang-orang terdekat di samping
masyarakat secara luas, tak hanya istri dan anak, tapi termasuk kaum kerabat
dari kalangan keluarga istri atau suami, mengingat pernikahan bukan hanya
menyatukan dua insan, tapi juga menghubungkan persaudaraan dan kekerabatan dua
buah keluarga besar:
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta
rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thâhâ [20]: 132)
Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
kesejahteraan rumah tangga (lihat QS. Al-Nisâ’ [4]: 34 di atas), sejalan dengan pesan agung di balik pesan baginda Rasulullah ﷺ yang bersabda:
“Ketahuilah
setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat
banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya, setiap kepala
keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai
pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga
rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap mereka.” (HR. Al-Bukhârî,
Muslim)[28]
Pesan
agung dalam hadits yang mulia ini, diawali dengan huruf tanbih, alâ,
dalam ilmu balaghah berfaidah menarik perhatian pendengar untuk menyimak
perkataan sekaligus menegaskannya (tawkîd). Diungkapkan dengan gaya
pengungkapan majazi (kiasan), dalam bentuk al-isti’ârah, yang
menyerupakan pengurusan rakyat dengan penggembalaan.[29]
Imam
al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan makna al-râ’i dalam hadits ini yakni
pemelihara yang dipercaya atas apa yang ada padanya, Nabi ﷺ
memerintahkan mereka dengan menasihati apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya,
dan memperingatkan mereka dari mengkhianatinya dengan pemberitahuannya bahwa
mereka adalah orang yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Maka
al-ri’âyah: adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan.
Artinya
hadits yang mulia ini menegaskan besarnya kedudukan khalifah, namun tak hanya
khalifah, hadits ini pun menegaskan besarnya kedudukan institusi keluarga;
suami dan istri atas keluarganya. Hal itu ditunjukkan oleh teori dalam ilmu
manthiq, yang memahamkan bahwa lafal kullukum (كلكم)
adalah lafal kulli, sedangkan juz’i-nya adalah lafal al-imâm (الْإِمَامُ),
al-rajul (الرَّجُلُ)
dan al-mar’at (المَرْأَةُ).
Perhatian
khusus Rasulullah ﷺ menyebutkan tanggung jawab kepala negara
(khalifah) atas rakyatnya, diikuti penyebutan tanggung jawab kepala keluarga
(suami) dan ibu rumah tangga atas keluarganya, setelah penyebutan tanggung
jawab manusia secara umum (كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ), menunjukkan besarnya tanggung jawab
sekaligus keutamaan mereka yang secara khusus disebutkan oleh Rasulullah ﷺ,
yakni kedudukan kepala negara (khalifah) dan kepala keluarga (suami) berikut
manajer rumah tangga (istri).
Dalam
persepektif ilmu balaghah, ia termasuk bentuk al-ithnâb (dzikr
al-khâsh ba'da al-'âm), yakni penyebutan kata yang khusus setelah kata yang
umum, dengan fungsi menunjukkan urgensi perkara khusus tersebut (li
al-tanbîh 'alâ fadhl al-khâsh). Dengan demikian, hadits yang mulia ini menunjukkan
pentingnya kedudukan kepala negara (khalifah) sebagai penanggungjawab institusi
negara dan kepala keluarga (disokong pasangan hidupnya) sebagai penanggungjawab
institusi keluarga dalam memelihara masyarakat dari berbagai keburukan.
Sekaligus menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan besarnya kedudukan
institusi negara dan institusi keluarga dalam memelihara masyarakat dari
berbagai penyimpangan.
[1]
Dipresentasikan dalam kajian ilmu balaghah Ngaji Shubuh, di Channel
Youtube Ngaji Shubuh: https://bit.ly/3eeZmK7
[2]HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1080), dalam
keterangan disebutkan: “Hadits Abu Ayyub hadits hasan gharib.”;
Al-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr (no. 4085).
[3]
Abu Abdullah Muhammad al-Tihami al-Fasi, Qurrat al-‘Uyûn bi Syarh Nazhm Ibn
Yâmûn fî Âdâb al-Nikâh, Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. I, 1425 H, hlm. 19-20.
[4]
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli & Jalaluddin Abdurrahman
al-Suyuthi, Tafsîr al-Jalâlain, Kairo: Dar al-Hadits, cet. I, hlm. 787.
[5] Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughat
al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, juz I, hlm. 92.
[6] Tentang pembahasan ini sudah dijelaskan oleh
Syaikh Muhammad Kamal Abdul Aziz dalam bukunya seputar keajaiban penciptaan
manusia. Lihat: Muhammad Kamal Abdul Aziz, I’jâz al-Qur’ân fî Hawâs
al-Insân, Kairo: Maktabah al-Qur’ân.
[7] Majduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub
al-Fairuz Abadi, Al-Qâmûs al-Muhîth, Beirut: Mu’assasat al-Risalah, cet.
VIII, 1426 H, hlm. 1206.
[8] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad
Al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Damaskus: Dar
al-Qalam, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 417.
[10] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no.
2677), ia berkata: “Ini adalah hadits shahih sesuai syarat Imam Muslim,
meskipun al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.”; Al-Thabarani dalam Al-Mu’jam
Al-Kabîr (no. 10895); Abu Ya’la al-Moushuli (no. 1847), Syaikh Syu’aib
al-Arna’uth dkk mengomentari: “Hadits shahih”.
[11]
Muhammad bin Abu Bakr Syamsuddin Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Raudhat al-Muhibbîn
wa Nuzhat al-Musytâqîn, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, hlm.
212.
[12]
Abu Manshur Muhammad bin Ahmad, Tahdzîb al-Lughah, Beirut; Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-‘Arabiy, cet.I, 2001, juz V, hlm. 34.
[13]Al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî
Gharîb al-Qur’ân,juz I, hlm. 347.
[14] Lihat QS. Yûnus [10]: 21; Ibrahim Mushthafa,
dkk, Al-Mu’jam al-Wasîth, Dâr al-Da’wah, juz I, hlm. 335.
[16] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam
Lughatil Fuqahâ’, Beirut: Dâr an-Nafâ’is, Cet.II, 1988, juz I, hlm. 430.
[17] Al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî
Gharîb al-Qur’ân,juz I, hlm. 347
[18]HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1924), ia
mengomentari: “Ini adalah hadits hasan shahih”; Abu Dawud dalam Sunan-nya
(no. 4943); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6494), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari:
“Shahih li ghairihi”
[19]HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 19169), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari:
“Isnad-nya shahih sesuai syarat
al-syaikhain.”
[20]
HR. Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (no. 19608).
[21]
HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 3087), Abu Isa al-Tirmidzi berkata:
“Ini adalah hadits hasan shahih.”
[22]
Husain bin Muhammad al-Mahdi, Shaid al-Afkâr fî al-Adab wa al-Akhlâq wa
al-Hikam wa al-Amtsâl, Dar al-Kitab, 1430 H, hlm. 687
[23]
HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 3331); Al-Nasa’i dalam Al-Sunan
Al-Kubrâ’ (no. 9095); Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (no.
19617).
[24]Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath
al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz VI, hlm. 368.
[25]
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 20027), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth
mengomentari: “Isnad-nya hasan”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 1850); Ibn Hibban dalam Shahih-nya
(no. 4175), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya shahih,
para perawinya perawi al-Syaikhain kecuali Abi Quz’a ia termasuk perawi Muslim,
dan selain Hakim bin Mu’awiyyah.”
[26] Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali
al-Jauzi, Zâd al-Muyassar fî ’Ilm al-Tafsîr, Beirut: Dâr al-Kitâb
al-Arabi, cet. I, 1422 H, jilid IV, hlm. 310.
[28]
HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim dalam Shahih-nya
(VI/7, hadits 4751); Abu Dawud dalam Sunan-nya (III/91, hadits 2930); Ibn
Hibban dalam Shahih-nya (X/342, hadits 4490).
[29]
Cantiknya ungkapan hadits ini dalam persepektif ilmu balaghah (yakni ilmu
al-bayan), mengandung ungkapan majazi (kiasan), jenis al-isti'arah (gaya
pengungkapan dengan meminjam istilah (al-musta'ar minhu) untuk mewakili
istilah lain (al-musta'ar lahu), kata kuncinya pada kata راع, yang menyerupakan
bentuk pengurusan dan pemeliharaan urusan rakyat dengan penggembalaan.