Oleh: Irfan Abu Naveed
[Dosen Fikih/Manthiq, Peneliti Kajian Balaghah al-Qur'an & Hadits Nabawi]
Membaca tulisan berjudul “Banalitas
Di Sekitar Radikalisme”, yang secara terang-terangan membawa pembacanya pada wacana:
membenarkan halusinasi soal “kontekstual”, sekaligus mengkritisi kaum radikal
yang lazim mereka stempel buruk sebagai kaum “tekstual”, sebagai antitesis dari
kaum kontekstual (mereka), maka perlu saya kritisi dan koreksi sebagai berikut:

Nas yang mengharamkan
wanita menjadi pemimpin dalam hadits "lan yufliha qawmun"
misalnya, harus tunduk pada halusinasi mereka soal "kontekstual",
seakan-akan wanita dulu dan sekarang berbeda, seakan-akan soal paradigma
kekuasaan itu sesuatu yang berubah. Kalau kita tanya, mereka bisa jawab?!
"Apa bedanya? Hingga harus dipaksakan lahirnya kesimpulan hukum yang jauh
dari teks dan ilmu tentang teks?!
Begitu pula soal
paradigma Islam wajibnya satu kepemimpinan, seakan-akan mereka buta realita:
Satu kepemimpinan itu pada prinsipnya telah diakui sebagai realitas yang tak
pernah bisa dipungkiri, Jokowi misalnya, kenapa orang Aceh dan orang Irian mau
disatukan dalam satu kepemimpinan orang Jawa yang tinggal di Pulau Jawa?!
Padahal kepemimpinan Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallama dahulu di era
pertama kepemimpinan Islam, berawal dari kepemimpinan di Madinah, yang luasnya
tak lebih luas dari bumi Nusantara, kalau begitu, lantas mereka terima secara
aklamasi kepemimpinan tunggal model ruwaibidhah?! Sebagaimana mereka tak
bisa menjangkau realitas adanya kepemimpinan ideologi yang dipaksakan oleh AS
CS dan China CS?! Bukankah hegemoni ideologis mereka ke berbagai belahan dunia
pada prinsipnya memaksakan kepemimpinan tunggal ideologis?! Kenapa ketika Islam
menetapkan kewajiban satu kepemimpinan dikatakan utopis?! Kira-kira siapa yang sangat
awam memahami realita dan paradigma?!
Ini persis seperti
ungkapan:
أجهل الناس من ترك يقينه لظن ما عند الناس
"Sebodoh-bodohnya
manusia adalah siapa saja yang meninggalkan apa-apa yang (meyakinkan) ia
yakini, kepada prasangka (halusinasi) apa yang ada di sisi orang-orang
lainnya"
Seakan-akan Allah dan
Rasul-Nya, tak bisa menjangkau hakikat manusia dan hal-hal yang berkaitan
dengannya melintasi perputaran waktu dan tempat, dibatasi oleh apa yang mereka
klaim sebagai "konteks", pokoknya begitu, tak jelas teorinya, tak
jelas qawa'id dan dhawabith-nya, lalu mereka berhalusinasi seakan-akan mereka
orang yang paling cerdas bebas mengotak atik teks tanpa dasar keilmuan.
Teori ushul fikih mapan
menyoal manthuq dan mafhum misalnya, sama sekali tak sedang mendukung
halusinasi mereka soal "konteks", bagaimana bisa?! Lah, mafhum saja
tak pernah terlepas dari petunjuk teks itu sendiri. Dilalat al-iltizam
misalnya, memangnya petunjuk kelaziman tersebut bisa disimpulkan terlepas dan
jauh dari teks itu sendiri?! Begitu pula teori "sabab nuzul/wurud"
dalam kerangka 'ibrah hukum, apakah sebab itu bisa disimpulkan bebas tanpa petunjuk
teks (riwayat)?! Mau masuk ke teori balaghah, li kulli maqam[in] maqal[un]?!
Lah, teori ini pun berputar pada ilmu mendudukkan teks itu sendiri, hingga teks
itu tepat diungkapkan pada setiap konteksnya. Para pakar bahasa arab balaghah
mana yang meragukan keunggulan balaghah al-Qur'an? Dimana teks al-Qur'an hadir
melampaui sekat-sekat tempat dan lorong-lorong waktu, hingga pesan-pesan agung
yang disampaikan memuat akidah dan syari'at, bisa dipahami oleh manusia baik
arab maupun ajam, itu pun sama sekali tak berbicara tentang halusinasi
"kontekstual".
Tidak itu semua, ternyata
andalannya adalah hermeneutika, lagi-lagi hermeneutika yang juga didasarkan
pada halusinasi soal sosio historis, maka rusak dan kerusakannya tak bisa
ditopang lagi, sesuai dengan kaidah shahihah yang disebutkan para ulama:
كل ما بني على باطل فهو باطل
“Segala hal yang dibangun
di atas asas yang batil maka ia pun batil.”[1]
كل ما بني على فاسد فهو فاسد
“Segala hal yang dibangun
di atas asas yang rusak maka ia pun rusak.”
Saya bayangkan, berbagai
teori mapan yang sudah diwariskan umat berabad-abad lamanya (talaqqat al-ummah
bil qubul), terkait realita "teks dan konteks", baik dalam ilmu
manthiq-ushul fikih maupun ilmu bahasa arab-balaghah, seluruhnya harus
dikalahkan oleh "zhann bid'ah" "kontekstual", sehingga
hukum yang mapan bisa diotak atik hanya berbekal halusinasi sepihak dari
"mubtadi'", yang bahkan tak jelas kepakarannya di bidang ijtihad.
Tapi kita dapati ulah mereka, kelewat berani mengotak atik hukum fikih tanpa
dasar keilmuan yang mapan!
[1] Prof. Dr. Muhammad
Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dar
al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz I, hlm. 264; Abdul Muhsin bin Abdullah al-Zamil,
Syarh al-Qawâ’id al-Sa’diyyah, Riyadh: Dar Athlas al-Khadra’, cet. I,
1422 H, hlm. 343
Masya Allah...
ReplyDelete