Oleh: Irfan Abu Naveed
Ucapan
selamat, dalam bahasa arab dikenal dengan istilah al-tahni’ah. Dalam ’urf
(tradisi), ucapan selamat jelas merupakan ungkapan do’a, keridhaan, persetujuan
serta simpati atas apa yang menjadi objek dari ucapan selamat tersebut. Ini
merupakan perkara yang ma’lûm, sudah diketahui dan dipahami secara umum.
Sebagaimana keterangan makna kata selamat dalam KBBI:
se.la.mat
1 a terhindar dr bencana; aman sentosa; sejahtera; tidak kurang suatu apa;
sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan, dsb; beruntung; tercapai maksudnya;
tidak gagal: ~ dr bahaya maut; biar lambat asal ~; 2 n doa (ucapan, pernyataan,
dsb) yg mengandung harapan supaya sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa,
dsb): doa ~; ketika ia kawin banyak handai tolannya yg memberi ucapan ~
kepadanya; 3 n pemberian salam mudah-mudahan dl keadaan baik (sejahtera, sehat
dan afiat, dsb).
Sehingga bisa disimpulkan bahwa secara lafzhiyyah, dalam
ilmu manthiq, ia mengandung dilalah lafzhiyyah thabi'iyyah, yakni ucapan
selamat atas perayaan kufur, jelas melekat padanya sifat persetujuan, do'a, dan
suka cita, mengingat kalimat ini bermakna do'a dan persetujuan, serta wujud
ikut serta dalam kegembiraan. Jika ada yang mengklaim bahwa tradisi ucapan
selamat dulu dan saat ini berbeda, maka itu asumsi berbahaya tanpa dasar.
Mengingat kamus-kamus arab, baik kamus yang disusun pada periode berabad-abad
lalu, maupun kamus arab yang ditulis ulama kontemporer, menegaskan kebakuan
makna hakiki di balik ucapan selamat, sebagai berikut:
Ulama kenamaan kontemporer, Prof. Dr. Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam kamus bahasa ahli fikihnya, Mu’jam Lughat
al-Fuqaha’ bahkan menegaskan:
التهنئة: مص هنَّأَ، المباركة للشخص
بخير أصابه، خلاف التعزية. مواجهة من أصابه خير بالسرور مع الدعاء له بالاستمتاع
بهذا الخير.
Al-Tahni’ah: adalah mashdar dari kata kerja hanna’a, yakni
do’a keberkahan untuk individu dengan kebaikan yang ia raih, kebalikan dari al-ta’ziyyah
(duka cita), ucapan ini ditujukan kepada seseorang yang meraih kebaikan
secara simpatik disertai do’a untuknya dengan ikut mensyukuri kebaikan
tersebut.[1]
Hakikat al-tani’ah
sebagai kebalikan dari al-ta’ziyyah (duka cita) disebutkan dalam
kamus-kamus arab semisal Al-Mukhtaar yang disusun oleh Zainuddin al-Razi
(w. 666 H)[2], Taaj al-‘Aruus yang disusun oleh Murtadha
al-Zabidi (w. 1205 H).[3]
Lantas, bagaimana mungkin bisa disamarkan dengan alasan
prematur ia tidak mengandung do’a dan persetujuan?! Imam Syamsuddin al-Ba’li
(w. 709 H) menjelaskan:
يقال: هنئت بكذا: إذا فرحت به، وهنأته
به فرحته، وهنئ به، فرح
Dikatakan:
engkau telah mengucapkan selamat atas sesuatu jika engkau merasa bahagia atasnya
(idzaa farihta bihi), ucapan selamat atasnya yakni berbahagia.[4]
Dimana
kamus ini pun menegaskan al-tahni’ah sebagai kebalikan dari al-ta’ziyyah.
Dengan kejelasan hakikat dari ucapan selamat seperti ini,
pertanyaannya adalah, pada sisi mana ucapan selamat (al-tahni'ah) atas
perayaan agama kufur merupakan hal yang diperbolehkan? Pada saat yang sama ia
mengandung persetujuan, suka cita, dan do'a atas perbuatan pelakunya?! Ucapan
selamat atas perayaan kufur ini, jelas tak bisa disamarkan dengan klaim adanya
niat yang benar, bagaimana bisa benar dan dibenarkan? Padahal ucapan selamat (al-tahni'ah)
tersebut mengandung iqrar, ridha dan do'a kebaikan atas perayaan kufur.
Di sisi lain, mendudukkan makna di
balik ucapan selamat atau al-tahni’ah itu termasuk persoalan berbahasa yang sudah mapan, dipahami dan diakui, bukan
sekedar asumsi tak berdasar, termasuk kesepakatan manusia yang sudah mapan, tak
bisa sembarang diotak atik sekehendaknya, sama saja apakah makna haqiqah
lughawiyyah, 'urfiyyah maupun syar'iyyah. Hal ini meniscayakan batilnya klaim mereka
yang mengaburkan kebatilan di balik ucapan selamat tersebut, sesuai dengan kaidah
shahihah yang disebutkan para ulama:
كل ما بني على باطل فهو باطل
“Segala hal yang dibangun di atas asas yang
batil maka ia pun batil.”[5]
Ucapan
selamat, jelas termasuk ucapan khas yang dilandasi keyakinan mereka pada
kebenaran dan kebaikan perayaan yang hakikatnya batil dan kufur, sehingga menjadi
kebiasaan khusus di antara mereka, semisal Kaum Nasrani yang saling mengucapkan
selamat dan mengirimkan kartu selamat dalam perayaan natalnya. Ini merupakan
kebiasaan mereka. Maka ucapan selamat atas perayaan agama kufur merupakan
perkataan yang bertentangan dengan larangan mengucapkan perkataan yang mengandung
kemungkaran, ini termasuk dari apa yang Allah ’Azza wa Jalla firmankan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا
وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ {١٠٤}
“Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kalian mengatakan ”raa’inaa” akan tetapi
katakanlah ”unzhurnaa” dan dengarkanlah, dan bagi orang-orang kafir itu ’adzab
yang amat pedih.” (QS. Al-Baqarah [2]: 104)
Jika
kata ra’inaa saja yang secara bahasa boleh bisa jadi diharamkan secara
tegas karena disimpangkan secara ’urfi (tradisi) mengandung kebatilan,
maka bagaimana jadinya dengan ucapan yang mengandung petunjuk keridhaan atas
perayaan batil?
Al-Hafizh
Ibn Katsir (w. 774 H) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 104 di atas
menjelaskan: “Maksudnya: Allah Ta’âlâ melarang orang-orang beriman
menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan perbuatan
mereka.”[6]
Artinya, ayat ini sudah cukup menjadi dalil keharaman menyerupai
orang-orang kafir terutama dalam perkataan mereka. Ini menjadi salah satu dasar
keharaman mengucapkan “selamat natal” atau mengucapkan selamat kepada
perayaan-perayaan agama kufur lainnya, termasuk salam lintas agama, dimana
salam masing-masing agama selain Islam tersebut mengandung puji-pujian pada
tuhan-tuhan sesembahan mereka.
Al-Hafizh
Ibn Katsir pun menukil dalil hadits dari Ibn ’Umar –radhiyallâhu ’anhu--,
ia berkata bahwa Rasulullah –shallallahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah)
Setelah
menukil dalil hadits di atas, al-Hafizh Ibn Katsir pun merinci:
Di
dalam hadits ini, terdapat larangan, ancaman dan peringatan keras terhadap
sikap menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan, perbuatan,
pakaian (khas-pen.), ritual, ibadah mereka, dan perkara-perkara lainnya yang
tidak disyari’atkan bagi kita dan tak sejalan dengan kita.[7]
Para
ulama mu’tabar lainnya pun menjadikan hadits ini sebagai dalil larangan
menyerupai orang kafir baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dan jika ada
yang mengklaim bahwa keikutsertaan dalam perayaan tahun baru tersebut tidak bermaksud
menyerupai kebatilan mereka, maka al-Hafizh al-Suyuthi setelah menggunakan
dalil hadits ini menegaskan bahwa perbuatan menyerupai orang-orang kafir itu
haram meskipun tidak dimaksudkan seperti itu.[8]
Dalam
hadits Rasulullah Saw pun disebutkan:
كُلُّ كَلَامِ ابْنِ
آدَمَ عَلَيْهِ لَا لَهُ إِلَّا أَمْرٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ
أَوْ ذِكْرُ اللَّهِ
“Setiap perkataan anak
cucu Adam itu membahayakannya, tidak berguna baginya kecuali perkataan menyuruh
kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, atau berdzikir kepada Allah." (HR. al-Tirmidzi & Ibn Majah)
Al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali (w. 751 H)
menukilkan adanya kesepakatan para ulama Islam atas keharaman mengucapkan
selamat pada perayaan non muslim.
وَأَمَّا التَّهْنِئَةُ بِشَعَائِرِ الْكُفْرِ
الْمُخْتَصَّةِ بِهِ فَحَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ مِثْلَ أَنْ يُهَنِّئَهُمْ
بِأَعْيَادِهِمْ وَصَوْمِهِمْ، فَيَقُولَ: عِيدٌ مُبَارَكٌ عَلَيْكَ، أَوْ
تَهْنَأُ بِهَذَا الْعِيدِ، وَنَحْوَهُ، فَهَذَا إِنْ سَلِمَ قَائِلُهُ مِنَ
الْكُفْرِ فَهُوَ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ
Adapun mengucapkan selamat terhadap simbol-simbol
kekafiran yang merupakan ciri kekhususan bagi mereka, maka hukumnya haram
berdasarkan kesepakatan ulama, semisal seseorang yang mengucapkan selamat atas
hari raya orang-orang kafir dan puasa mereka, misalnya ia mengatakan: “’id[un]
mubaarak[un] ’alayka” (semoga Hari Raya ini menjadi berkah bagimu), atau “tahna’u
bi haadza al-’iid” (selamat berbahagia dengan Hari Raya ini), dan
yang semisalnya. Maka dengan sebab ucapannya ini, andai ia selamat dari
kekafiran maka ia tidak akan lepas dari perbuatan yang haram.[9]
Nukilan ini, tentu bukan nukilan tanpa dasar, mengingat
al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah sendiri dikenal sebagai ulama kenamaan dari
kalangan fuqaha’ hanabilah, sekaligus huffazh al-hadits yang dikenal dengan
kekuatan hafalan, ketelitian serta sifat amanahnya. Informasi ini sejalan
dengan penjelasan dari pendapat para ulama lintas madzhab dalam persoalan terkait.
Hingga disebutkan dalam kitab Ensiklopedi Ijma’, berjudul
Mawsû’at al-Ijmâ’ fî al-Fiqh al-Islâmi, yang disusun oleh para pakar
fikih, bahwa keharaman mengikuti perayaan Hari Raya kaum Kuffar, berikut
keharaman mengucapkan selamat atas perayaan mereka, ditegaskan sebagai
kesepakatan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.[10]
Dari
kalangan Hanafiyyah, bisa dirujuk dalam kitab Tabyîn al-Haqâ’iq (VI/229),
Radd al-Mukhtâr (VI/755); dari kalangan Malikiyyah bisa dirujuk dalam
kitab Mawâhib al-Jalîl (VI/290); dari kalangan Syafi’iyyah bisa dirujuk
dalam kitab Tuhfat al-Muhtâj (IX/182); dari kalangan Hanabilah bisa
dirujuk dalam kitab Kasysyâf al-Qinâ’ (III/132) dan Al-Furû’ (V/309).
Jika
timbul pertanyaan, lantas bagaimana dengan ucapan selamat natal dalam bentuk
kartu ucapan selamat?
Jawab:
Hukumnya tergantung dari perkataan apa
yang tertulis di dalam kartu tersebut, jika didalamnya termaktub ucapan selamat
natal, sehingga disebut kartu ucapan selamat natal, maka hukumnya jelas
haram, bertolak dari kaidah yang ditegaskan oleh al-‘Allamah al-Sayyid Abdullah
Ba Alwi (w. 1272 H) dalam
kitab Sullam al-Taufiq:
كتابة ما يحرم النطق به
Penulisan
kata yang diharamkan untuk diucapkan
Dimana
beliau menggolongkan penulisan ini termasuk kemaksiatan kedua tangan (ma’ashi
al-yadayn), yang jelas-jelas diharamkan, beliau satu kelompokkan dengan
keharaman mencurangi timbangan, mencuri, membunuh, memukul orang lain tanpa
alasan yang benar, mengambil suap, membakar binatang, dan yang semisalnya.
Al-‘Allamah
al-Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H) menjelaskan maqalah di atas menegaskan bahwa
keharaman tersebut berlaku karena al-qalam (pena/tulisan) merupakan
salah satu bentuk “lisan” (alat pengungkapan maksud) dari seseorang:
لأن القلم أحد اللسانين للإنسان ولأن الكتابة به تدل على عبارة
اللسان
Karena
al-qalam (pena/tulisan) merupakan salah satu lisan bagi manusia, dan
karena penulisannya menunjukkan ungkapan lisan.[11]
Maka
terang benderang keharaman mengucapkan selamat natal, tak hanya terbatas pada
lisan semata, namun mencakup keharaman tulisan semisal dalam bentuk kartu
ucapan. Dalam kamus Bahasa Arab Kontemporer, jenis kartu ucapan selamat seperti
ini diistilahkan bithaaqah mu’aayidah:
بِطاقَة معايدة: بطاقة تحمل عبارات التهنئة.
Bithâqah
mu’âyidah: yakni kartu yang mengandung ungkapan-ungkapan selamat.[12]
Dan
hukumnya, tergantung tulisan yang terkandung dalam kartu tersebut, waLlâhu
a’lam bi al-shawâb.
[2]
Zainuddin Abu Abdullah al-Razi, Mukhtaar al-Shihaah, Beirut: Al-Maktabah
al-’Ashriyyah, cet. V, 1420 H, hlm. 328.
[3]
Muhammad bin Muhammad Murtadha al-Zabidi, Taaj al-’Aruus Min Jawaahir
al-Qaamuus, Dar al-Hidayah, hlm. 512.
[4] Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad al-Ba’li, Al-Muthli’ ’alâ
Alfâzh al-Muqni’, Maktabat al-Suwadi, cet. I, 1423 H, hlm. 421.
[5]
Prof. Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh
al-Islâmi, Damaskus: Dar al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz I, hlm. 264; Abdul
Muhsin bin Abdullah al-Zamil, Syarh al-Qawâ’id al-Sa’diyyah, Riyadh: Dar
Athlas al-Khadra’, cet. I, 1422 H, hlm. 343.
[6] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsîr
al-Qur’ân al-’Azhîm, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1419 H, juz
I, hlm. 257.
[7]
Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsiir al-Qur’ân
al-’Azhiim, juz I, hlm. 257.
[8]
’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa
al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, Mathâbi’
al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 123.
[9]
Muhammad bin Abu Bakar Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 1423 H,
[10]
Tim Ulama, Mawsû’at al-Ijmâ’ fî al-Fiqh al-Islâmi, Riyadh: KSA, cet. I,
1433 H, juz VI, hlm. 418.
[11]
Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani al-Syafi’i, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq
Syarh Sullam al-Taufîq, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, cet. I, 1431
H, hlm. 132.
[12]
Dr. Ahmad Mukhtar Abdul Hamid ‘Umar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah
al-Mu’aashirah, ‘Alam al-Kutub, cet. I, 1429 H,
Comments
Post a Comment