![]() |
Info: Maqalah Ulama |
[Kritik Argumentatif Atas Tulisan Sdr. Agus
Abegebriel Menyoal Diksi Islam Kaffah]
Oleh: Irfan Abu Naveed
[Dosen & Penulis Kajian
Tafsir Balaghah al-Qur’an & Hadits Nabawi]
P
|
agi hari, 17 Desember 2019,
salah satu grup WA kajian Khilafah yang saya kelola, mendapatkan pertanyaan
dari salah seorang peserta, menyoal tulisan Sdr. Agus Abudjibriel yang jelasnya
ia tuliskan dan sebarkan di jejaring sosial, FB, menyoal kritikannya pada diksi
Islam Kaffah yang kadung sudah diterima masyarakat. Sdr. Agus Abegebriel
mengklaim:
Saya mendasarkan kesimpulan “penyalah-kaprahan istilah Islam kafah”
tersebut dengan bukti bahwa kata “kafah” hanya dipakai 5 kali dalam 4 ayat
dalam Al-Qur’an dan selalu berkaitan dengan plural (jamak) dan bukan dengan
mufrad (tunggal). Sementara kata kafah dalam surat al-Baqarah 208 yang sering
dijadikan sebagai dasar penyebutan islam kafah tidak bisa disematkan ke dalam
kata “as-silmi” (Islam atau damai) yang berbentuk tunggal (mufrad).
Sdr. Agus Abegebriel pun tampak memaksakan diri mengklaim:
Istilah Islam
kafah yang salah kaprah tersebut hanya ditemukan di Indonesia saja (juga
Malaysia). Yang jelas jika kita masukkan keyword “al-islam al-kafah (dengan
teks arab)” ke dalam mesin google, pasti tidak akan pernah ada jawaban karena
google dengan bahasa mesin algoritmanya “paham dan mengerti” kalau istilah
tersebut tidak memenuhi syarat gramatikal Arab meski tingkat pemula.
Berikut ini tanggapan
sekaligus koreksi dari saya, menjawab kebingungan mereka yang tampak tak mampu
menjangkau hakikat tafsir dari Islam kaffah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208,
dengan kerangka jawaban:
Pertama, Mendudukkan frasa Islam
Kaffah dalam perspektif kebahasaan, khususnya bahasa indonesia;
Kedua, Mendudukkan makna kaffat[an]
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208, sebagai lafal yang harus dipahami utuh dalam
ranah kajian tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 208, bukan hanya kajian kebahasaan.
Dengan catatan ringkas sebagai berikut:
A.
Mendudukkan Frasa Islam
Kaffah dalam Perspektif Kebahasaan
Memetakan diksi Islam
kaffah, maka perlu didudukkan sebagai berikut:
Pertama, Secara kebahasaan, yakni
bahasa Indonesia, frasa Islam kaffah, merupakan frasa yang sudah dikenal
umum oleh kaum Muslim di Indonesia dan Melayu. Dalam perspektif manthiq-ushul,
jelas ia termasuk dâll (istilah, tarkibi) yang mengandung madlûl (pengertian/konsep)
tertentu, yang secara ‘urfi digunakan kaum Muslim di negeri ini untuk
menunjukkan hakikat Islam sebagai Din yang menyeluruh, mencakup akidah dan
syari’at, dimana syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; mencakup
konsepsi din (agama) dan daulah (negara).
Hal itu diperjelas dengan
fakta, bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI, sendiri sudah menyerap istilah
kaffah, ke dalam bahasa Indonesia, kafah, dengan konotasi:
Dengan demikian semakin terang
benderang; model frasa seperti ini dalam perspektif linguistik (kebahasaan)
bahasa indonesia; sah-sah saja digunakan, jangan dikaburkan dengan asumsi
prematur, bertolak dari kajian kebahasaan bahasa arab, padahal objek kajiannya
adalah istilah dalam bahasa Indonesia, suatu istilah (dâll) yang muncul
di tengah-tengah kaum Muslim di negeri ini. Jadi, tak relevan jika frasa Islam
kaffah dikritisi menurut disiplin ilmu bahasa arab, lah bagaimana
mungkin bisa nyambung, jika objeknya berbahasa Indonesia?!
Kedua, Kalau serius dan konsisten,
ada narasi-narasi yang jelas lebih layak dipermasalahkan karena bermasalah:
yakni penyandingan lafal Islam sebagai suatu istilah syar’i dengan embel-embel
yang dibuat-buat kaum liberal semisal “Islam liberal”, “Islam moderat”, “Islam
nusantara” sepaket dengan anti tesisnya “Islam radikal”, “Islam fundamental”. Berbeda
dengan seluruh istilah tersebut, frasa Islam kaffah, jelas menggambarkan
konsepsi yang sejalan dengan hakikat Islam itu sendiri, al-haqîqah
al-syar’iyyah, yang ditunjukkan oleh nas al-Qur’an dan al-Sunnah; sebagai
Din yang paripurna dari Allah ‘Azza wa Jalla, mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia (poin ini, akan saya uraikan pada ulasan selanjutnya).
Dengan prinsip ini, maka kita
bisa menguji keabsahan narasi sesat yang dimunculkan para manipulator agama dan
mereka yang terpedaya di negeri ini di balik istilah “Islam Liberal”, “Islam
Moderat”, “Islam Nusantara”, sebagai perpanjangan tangan dari isu war on
terorism, yang dilancarkan kaum imperialis barat untuk memecah belah
barisan kaum Muslim, mengkotak-kotakkan mereka, menstigma negatif para ulama
dan para da’i di balik stigma buruk “radikal”, “fundamental”, serta
liberalisasi dan desakralisasi ajaran Islam. Itu semua, wajib dikritisi dan
ditolak!
Konsepsi di balik
narasi-narasi tersebut jelas bermasalah, mengandung syubhah, baik dari
sudut pandang akidah maupun syari’ah. Islam liberal misalnya, bagaimana mungkin
Islam disandingkan dengan liberal (liberalisme), padahal keduanya bersebrangan
secara diametral?! Nah, daripada mempersoalkan frasa Islam Kaffah, lebih
baik Sdr. Agus mengkritisi berbagai istilah-istilah yang bermasalah tersebut,
bagaimana? Mau konsisten?
Tapi, intinya jelas Sdr. Agus
tampak gagal memahami persoalan paling dasar dari kajian kebahasaan Islam
kaffah, yang jelas-jelas bisa dibenarkan, terlebih jika luas literasinya
mengkaji tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 208 menyoal konsepsi (madlûl) “Islam
Kaffah”. Adapun klaim sepihak Sdr. Agus
di sini:
Yang jelas jika
kita masukkan keyword “al-islam al-kafah (dengan teks arab)” ke dalam mesin
google, pasti tidak akan pernah ada jawaban karena google dengan bahasa mesin
algoritmanya “paham dan mengerti” kalau istilah tersebut tidak memenuhi syarat
gramatikal Arab meski tingkat pemula.
Jelas sudah gugur, ya tak
relevan, kan yang ia kritisi diksi berbahasa indonesia “Islam kaffah”,
bukan “الإسلام الكافة”, kalau saya tanya, siapa yang menggunakan
diksi “الإسلام الكافة” seperti itu? Ya, tidak ada, jadi ya
tak nyambung lah. Coba ketik “Islam kaffah”, niscaya Sdr. Agus mendapati
jawabannya, ada. Jadi jangan terlalu mengandalkan mbah search engine, yang
sangat tergantung pada betul tidaknya key words yang dientrikan, kalau
salah kata kunci ya bisa nihil hasilnya, clear.
B.
Tafsir QS. Al-Baqarah [2]:
208: Islam Kaffah
Salah satu dasar dari munculnya istilah Islam
kaffah adalah firman Allah ’Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ {٢٠٨}
“Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan
itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Untuk menilai benar tidaknya konsepsi (madlûl)
di balik istilah (dâll) ’Islam kaffah’, maka perlu dipahami dua kata
kunci:
1. Mendudukkan
Makna Kata Al-Silm: Din al-Islam dalam Tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 208
Lafal kaffat[an] yang dalam ilmu i’rab
(nahwu) berstatus manshûb karena berkedudukan sebagai hâl (kata
keterangan), sebenarnya sah, dan sangat bisa dibenarkan, menjadi hâl dari
lafal al-silm, bahkan ini menjadi pandangan yang ditegaskan mayoritas
ulama ahli tafsir. Maka klaim sepihak Sdr. Agus Abegebriel ini, saya
pandang merupakan klaim yang terlalu tergesa-gesa menarik kesimpulan:
Saya mendasarkan kesimpulan “penyalah-kaprahan istilah Islam kafah”
tersebut dengan bukti bahwa kata “kafah” hanya dipakai 5 kali dalam 4 ayat
dalam Al-Qur’an dan selalu berkaitan dengan plural (jamak) dan bukan dengan
mufrad (tunggal). Sementara kata kafah dalam surat al-Baqarah 208 yang sering
dijadikan sebagai dasar penyebutan islam kafah tidak bisa disematkan ke dalam
kata “as-silmi” (Islam atau damai) yang berbentuk tunggal (mufrad).
Benarkah klaim di atas? Tidak benar, buktinya:
Kata al-silm (السِّلْمِ) dalam ayat ini, bermakna Al-Islam dan bukan
perdamaian dengan musuh.[1]
Al-Hafizh al-Qurthubi
(w. 671 H) menukil pendapat Ibn ‘Abbas dan Mujahid bahwa kata al-silm dalam
ayat ini bermakna Al-Islam[2],
begitu pula al-Dhahhak, Ikrimah, Qatadah, Ibn Qutaibah, al-Suddi dan al-Zujaj[3],
mereka semua adalah rujukan otoritatif dalam tafsir al-Qur’an, makna ini yang
di-tarjîh (dikuatkan) oleh Imâm al-mufassirîn, al-Hafizh Ibn
Jarir al-Thabari (w. 310 H)[4],
diamini oleh al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H)[5] dan mufassir pakar balaghah, Imam Syihabuddin
al-Alusi (w. 1270 H). Dalam bait nazham
al-Kindi (al-Kindah) [6] dituturkan:
دَعَوْتُ عَشِيرَتِي للِسِّلم لَمّا * رَأيْتُهمُ تَوَلَّوا مُدْبِرين
Makna li
al-silm dalam bait di atas yakni “kepada al-Islam”. Maka terang benderang bahwa kata al-silm dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 208 berkonotasi Al-Islâm. Pertanyaannya, seperti apa tashawwur (gambaran)
dari al-Islam itu sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini, akan memperjelas
kesalahan persepsi dari Sdr. Agus, dan menjadi jawaban atas kebingungannya,
sekaligus menunjukkan kemapanan ilmunya para ulama tafsir yang sudah seharusnya
dirujuk oleh para penuntut ilmu dan orang awam, agar tak membuktikan sindiran satir dari para ulama, sebagaimana
dinukilkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H):
إذا تكلم المرء في غير فنه أتى بهذه العجائب
“Apabila seseorang berbicara di luar
kecakapan ilmunya, maka pasti mendatangkan hal-hal kontroversial.”[7]
Al-Islam itu
sendiri suatu istilah yang kulli yang mengandung juz’iyyât (cabang-cabang
parsialnya), dari mulai al-‘aqâ’id (keyakinan-keyakinan) hingga al-syarâ’i
(berbagai aturan syari’at), seluruhnya satu kesatuan yang menunjukkan
kelengkapan ajaran Islam, yang dikenal dalam bahasa para ulama sebagai syumûliyyat
al-Islâm, dan dalam bahasa masyarakat indo-melayu, lebih akrab diistilahkan
“Islam kaffah”, jadi seperti itu runutannya.
Dalam perspektif ushul fikih, istilah Al-Islâm, jelas
mengandung haqîqah syar’iyyah, ditunjuki
nas-nas al-Qur’an dan
al-Sunnah, diuraikan secara mapan oleh para
ulama, salah satunya Al-’Allamah al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H):
الإسلام هو الدين الذي أنزله الله على
سيدنا محمد -صلى الله عليه وسلم- بتنظيم علاقة الإنسان بخالقه، وبنفسه، وبغيره من
بني الإنسان. وعلاقة الإنسان بخالقه تشمل العقائد والعبادات، وعلاقته بنفسه تشمل
الأخلاق والمطعومات والملبوسات، وعلاقته بغيره من بني الإنسان تشمل المعاملات
والعقوبات. فالإسلام مبدأ لشؤون الحياة جميعًا
Islam
adalah din yang Allah turunkan kepada Sayyidina Muhammad ﷺ, untuk mengatur hubungan antara manusia
dengan Pencipta-Nya, dirinya sendiri dan sesama manusia. Hubungan manusia dan
Pencipta-Nya mencakup akidah dan peribadahan-peribadahan; hubungan manusia
dengan dirinya sendiri mencakup akhlak, makanan dan pakaian; hubungan manusia
dengan sesama manusia mencakup mu’amalah, dan hukum-hukum persanksian. Maka
Islam adalah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan.[8]
Intisari dari uraian
mapan di atas, mencakup ruang lingkup Din Islam sebagai berikut:
Pertama, Mengatur hubungan
manusia dan Pencipta-Nya mencakup akidah dan peribadatan-peribadatan;
Kedua, Mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendiri mencakup akhlak, makanan dan pakaian;
Ketiga, Mengatur hubungan
manusia dengan sesama manusia mencakup mu’amalah, dan hukum-hukum persanksian.[9]
Inti penjelasan senada
dipaparkan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H), bahwa Islam
adalah Din yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ mencakup akidah, syari’ah dan akhlak.[10] Pengertian
syar’i (al-haqîqah al-syar’iyyah) dari Islam ini, memperjelas benarnya
konsepsi (madlûl) di balik frasa ”Islam kaffah”, mencakup konsepsi Islam
mengatur urusan bernegara.
Nah, kembali lagi kepada pembahasan lafal kâffat[an] sebagai
hâl dari al-silm: artinya meskipun lafal al-silm berbentuk
mufrad namun maknanya jamak, yakni mencakup keseluruhan ajaran Islam itu
sendiri menyoal akidah dan hukum-hukum syari’ah. Sebagaimana para ulama tafsir merinci maknanya
yakni: “جميع شرائع الإسلام” (keseluruhan syari’at-syari’at Islam). Oleh karena itu relevan
jika ulama ahli tafsir dan balaghah sekelas al-Imam Syihabuddin al-Alusi
menegaskan dalam Rûh al-Ma’âni:
والمراد من السلم جميع الشرائع بذكر الخاص
وإرادة العام بناءاً على القول بأن الإسلام شريعة نبينا صلى الله عليه وسلم
Maksud dari kata al-silm mencakup
seluruh syari’at Islam dengan penyebutan yang khusus namun maksudnya umum
berdasarkan pendapat bahwa al-Islam adalah syari’at Nabi kita Muhammad ﷺ.[11]
Lafal al-silm menurut Imam al-Alusi
termasuk bentuk majaz, dzikr al-khâsh wa irâdat al-‘âm, yang disebut
adalah lafal khas, yang dimaksudkan umum, maknanya jamî’ syarâi’i al-Islâm (yakni
keseluruhan berbagai aturan Islam). Diperjelas oleh al-’Alim Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil yang menjelaskan:
فـ (السِّلْمِ) هنا الإسلام كما فسره ابن عباس
-رضي الله عنه- والمقصود من الإسلام كله أي الإيمان به كله دون استثناء والعمل
بشرعه دون غيره
“Maka kata al-silm dalam
ayat ini adalah al-Islam, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibn ‘Abbas
r.a. dan maksudnya adalah keseluruhan ajaran Al-Islam yakni beriman terhadapnya
tanpa pengecualiaan dan mengamalkan seluruh syari’atnya tanpa yang lainnya.”[12]
Yakni berakidah dengan akidah islamiyyah secara
sempurna tanpa terkecuali dan mengamalkan syari’at islam tanpa syari’at
lainnya. Artinya, pembahasan jamak dan mufrad di atas,
sama seperti ulasan menyoal lafal ummat[un] yang diikuti dengan kalimat
subjek jamak dalam QS. Âli Imrân [3]: 104 (dimana jika mengikuti logika prematur soal mufrad dan jamak ini, maka
bisa berbahaya!), dalam firman-Nya:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {١٠٤}
“Dan hendaklah ada di
antara kalian golongan yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, dan mereka adalah orang-orang yang
beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]:
104)
Kata umat dalam ayat ini
pun disandingkan dengan kata kerja plural (jamak). Salah satu murid Imam al-Sibawaih,
Imam al-Akhfasy al-Awsath (w. 215 H) menuturkan bahwa kata ummat dalam
ayat ini lafal tunggal yang maknanya jamak (أُمَّةٌ في اللفظ واحد وفي المعنى جمع), oleh karena itu Allah berfirman (يدعون إلى الخير) “mereka
yang menyeru kepada al-khair”.[13] Dimana subjek dari kata yad’ûna
adalah “mereka” (hum) menunjukkan subjek jamak, berjumlah lebih dari
dua.
Hal itu dipahami berdasarkan pemahaman bahwa kata (أمة) berbentuk nakirah
merupakan sifat dari kata (أمة)[14], sesuai kaidah yang
disebutkan para ulama (bukan ma’rifah
dengan alif lam (الأمة)), maka kalimat setelahnya yakni kalimat (يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ) dalam kaidah bahasa:
الجُمَلُ
بَعْدَ النَّكِرَاتِ صِفَاتٌ
“Kalimat-kalimat setelah
kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.”[15]
Poinnya, kata kerja yad’ûna (mereka yang
menyeru), ya’murûna (mereka yang memerintahkan), yanhauna (mereka
yang melarang), seluruhnya jamak, padahal lafal ummat[un], secara lafal
tunggal (mufrad) namun jelas, maknanya jamak, yakni kelompok manusia. Hal tersebut mengisyaratkan
bahwa aktivitas kelompok dakwah tersebut merupakan ‘amal jamâ’i (kerja kolektif).
Berlanjut: Bagian II:
Memahami Makna & Kedudukan Kâffat[an] dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208: Hâl Min al-Silm
Memahami Makna & Kedudukan Kâffat[an] dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208: Hâl Min al-Silm
[1] Memang benar bahwa lafal al-silm adalah lafzh musytarak, yakni
suatu lafal yang mengandung konotasi lebih dari satu. Namun kaidahnya jelas,
lafal musytarak wajib ditentukan dan dipilih salah satu maknanya, dan makna al-silm
dalam ayat ini jelas bermakna Islam, berdasarkan petunjuk-petunjuk (qara’in)
lainnya.
[2] Muhammad bin Ahmad Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, cet. II, 1384 H, juz III, hlm. 22.
[3] Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin Ali al-Jauzi, Zâd Al-Muyassar fî ‘Ilm al-Tafsîr, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, cet. I,
1422 H, hlm. 174.
[4] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet.
I, 1420 H/2000, juz IV, hlm. 253.
[7] Ahmad bin Ali Ibn Hajar Al-Asqalani, Fath
al-Bâri: Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz III,
hlm. 584.
[9] Akidah mencakup perkara-perkara keimanan
yang merupakan pekerjaan kalbu seperti iman kepada Allah dan hari akhir;
peribadatan mencakup shalat, zakat, do’a, -; akhlak misalnya akhlak terpuji
terhadap orang tua; makanan dan minuman misalnya hukum keharaman daging babi
dan minum khamr; pakaian misalnya kewajiban mengenakan jilbab bagi
muslimah; mu’amalah misalnya hukum-hukum terkait jual beli; persanksian
misalnya sanksi hudud, jinayat dan lainnya. Itu semua mencakup
IPOLEKSOSBUDHANKAM.
[10] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, juz I, hlm. 68.
[11] Syihabuddin Mahmud bin 'Abdullah al-Husaini
al-Alusi, Rûh al-Ma'âni fî Tafsîr al-Qur'ân wa al-Sab'u al-Matsâni,
Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, cet. I, 1415 H, juz I, hlm. 492.
[12] ‘Atha bin Khalil Abu Al-Rasytah, Al-Taysîr
fî Ushûl al-Tafsîr: Sûrat
al-Baqarah, Beirut:
Dâr Al-Ummah,
cet. III, 1436 H/2010
[13] Abu al-Hasan Sa’id
bin Mas’adah al-Akhfasy al-Awsath, Ma’ânî al-Qur’ân, Kairo: Maktabat
al-Khanji, cet. I, 1411
H, juz. I, hlm. 228.
[14] Syihabuddin al-Alusi, Rûh
al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz II, hlm. 237; Abu Ja’far
al-Nahhas Ahmad bin Muhammad al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz I, hlm. 174.
[15] Sebagaimana disebutkan doktor balaghah
dari Al-Azhar Kairo, Dr. Hesham el-Shanshouri al-Mishri dalam diskusi empat
mata selepas shalat isya’ pada bulan September 2015. Lihat pula: Abu Muhammad
Jamaluddin bin Hisyam, Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Damaskus:
Dâr al-Fikr, cet. VI, 1985, hlm. 560.
Comments
Post a Comment