Oleh: Irfan Abu Naveed
[Dosen Fikih/Manthiq]

Justru harusnya sampai pada pemahaman, jika dahulu saja tatkala kafir
dzimmi yang nb "dekat" dengan kehidupan kaum Muslim; tunduk kepada
Khilafah hingga membayar jizyah, dimana hak-hak mereka dijamin oleh Khilafah
mencakup kehormatan, darah dan hartanya saja; kaum Muslim, mencakup Rasulullah
Saw, para Khulafa' Rasyidun, diteruskan oleh khalifah dan kaum Muslim
setelahnya *tak pernah mengucapkan selamat atas perayaan mereka karena haram*,
maka apalagi di zaman ini tatkala relasi kaum Muslim dengan kuffar lebih
"panas", kaum Muslim pun menghadapi ghazw al-tabsyiri (kristenisasi);
Kedua, Adapun klaimnya bahwa "sekadar membawa fatwa ulama
terdahulu, atau mengutip ijma' yang dihikayatkan sebagian ulama terdahulu,
tidak terlalu signifikan dalam membangun wacana di era kontemporer ini"
Qultu: asumsi seperti ini jelas *tidak benar* dan *tidak bisa dibenarkan*,
mengingat wacana keharaman al-tahni'ah bi a'yad al-kafirin ini lebih
dari sekedar soal relasi! Ia merupakan hukum yang tetap, disepakati para ulama
mu’tabar yang menjadi sanad dan sandaran keilmuan kaum Muslim dari generasi ke
generasi. Dalil yang mendasarinya bukan soal relasi, tapi soal nas-nas
al-Qur'an dan al-Sunnah yang berlaku, shalih li kulli zaman wa makan, tak
pernah di-naskh, mencakup keharaman mengucapkan kalimat kufur, iqrar pada
apa yang disebut al-zur (kebatilan), serta masuk dalam cakupan umum
keharaman tegas al-tasyabbuh bi al-kuffar. Di sisi lain jelas, hukum
Islam berlaku dimanapun dan kapanpun, shalih li kulli zaman wa makan.
Imamuna al-'Allamah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H) -rahimahullah-
menjelaskan:
وَمِمَّا يُوَافِقُ التَّنْزِيل
وَالسُّنَّةَ وَيَعْقِلُهُ الْمُسْلِمُونَ، وَيَجْتَمِعُونَ عَلَيْهِ، أَنَّ
الْحَلَالَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ حَلَالٌ فِي بِلَادِ الْكُفْرِ وَالْحَرَامَ
فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ حَرَامٌ فِي بِلَادِ الْكُفْرِ
”Dan di antara hal yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah dan
pemikiran kaum muslimin dan mereka semua bersepakat atasnya bahwa yang halal di
Dar al-Islam maka halal pula di negeri-negeri kufur (Dar al-Kufr), dan yang
haram di negeri-negeri Islam (Dar al-Islam) maka haram pula di negeri-negeri
kufur (Dar al-Kufr).”[1]
Konteks halal dan haram dalam maqâlah di atas maksudnya tak terbatas pada
hukum benda semata, sebagaimana Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili (w. 1436 H) pun
menukil perkataan Imam al-Syafi’i di atas untuk menegaskan keharaman
bertransaksi riba di zaman ini –sama seperti dahulu- dan ia mengatakan:
وهذا واضح في أن الدار أو المكان لا تغير
صفة التحريم للأفعال
”Dan poin ini menjadi jelas bahwa suatu negara atau tempat tidak bisa
mengubah sifat keharaman perbuatan-perbuatan.”[2]
Begitu pula soal keharaman al-tahni'ah ini, hukumnya tidak pernah berubah
sebagaimana fakta (manath) dari perayaan kufur non muslim pun tetap
sama, dulu dan sekarang tidak ada perubahan, keyakinan kufur kaum Nasrani
misalnya yang melandasi Hari Natal pun tak pernah berubah, apanya yang berubah?
Tidak ada.
Yang ada hanya sekedar wacananya saja yang diotak-atik kaum liberal,
diframing, tak jauh dari alasan "toleransi" dan "demi
relasi", wacana rusak kaum liberal ini justru semakin menunjukkan
bahayanya isu deradikalisasi, anti radikalisme (baca: islamophobia), dimana
model wacana liberalistik seperti ini tak pernah dikenal dan takkan pernah
diakui dalam kerangka ushul fikih mu’tabar ahlus sunnah, Allah al-Musta'an.
Ketiga, Wacana "toleransi", "membangun relasi" semisal
ini hingga melibas batas-batas kemungkaran, dan mematikan adanya upaya dakwah
kepada kaum non muslim hanya karena menjaga hubungan relasi, justru lebih dekat
kepada apa yang ditegaskan para ulama sebagai keharaman sebagai perbuatan al-mudâhin,
yakni mereka yang diam dari kemungkaran, tidak mendakwahi pihak lain karena
alasan menjaga relasi dan "toleransi". Dengan kata lain, menjadi
model dari aliran anti radikalisme (baca: aliran garis lembek) yang tidak punya
prinsip dalam beragama.
Al-‘Allamah al-Sayyid Abdullah Ba Alwi (w. 1272 H) dalam kitab Sullam
al-Taufîq menggolongkan perbuatan orang al-mudâhin ini sebagai
kemaksiatan, diikuti dengan penjelasan Al-‘Allamah al-Syaikh Nawawi al-Bantani
(w. 1314 H):
(ولا مداهنًا)
قال صاحب التعريفات: المداهنة هي: أن ترى منكرًا وتقدر على دفعه ولا تدفعه حفظًا
لجانب مرتكبه أي بكونه صديقك أو حبيبك، أو جانب غيره، أو لقلة مبالاة في الدين.
(Janganlah menjadi mudahin) penyusun kamus al-Ta'rîfât menjelaskan: al-mudâhanah
yakni: engkau menyaksikan kemungkaran dan engkau mampu untuk menghalaunya,
namun tidak engkau lakukan karena alasan menjaga relasi dengan pihak yang erat
relasinya, yakni karena kedudukannya sebagai kawanmu atau kekasihmu, atau
karena kedudukan lainnya, atau bisa juga karena minimnya perhatian pada ajaran
din (Dinul Islam).[3]
Renungan
Kalaulah tahni'ah itu hanya soal wacana "relasi", maka logikanya,
kafir dzimmi di era Rasulullah ﷺ dan khulafa
rasyidun misalnya, seharusnya lebih layak mendapatkan ucapan tahni'ah tersebut,
yang kenyataannya tidak, itu menandakan hukumnya haram, bukan sekedar relasi,
sebagaimana ucapan selamat pun tak pernah diucapkan kepada kafir mu'ahid,
musta'min dan harbi. Apa ada jenis kafir selain itu semua? Dari mulai kafir
yang tipenya musuh hingga tunduk ada!
Al-Hafizh al-Suyuthi menegaskan bahwa tiada seorang pun dari generasi
al-salaf al-shâlih yang ikut serta dalam perayaan agama kufur:
واعلم أنه لم يكن على عهد السلف السابقين
من المسلمين من يشاركهم في شيء من ذلك. فالمؤمن حقاً هو السالك طريق السلف
الصالحين المقتفي لآثار نبيه سيد المرسلين (، المقتفي بمن أنعم الله عليهم من
النبيين والصديقين والشهداء والصالحين.
Dan ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi
al-salaf terdahulu dari kaum muslimin yang ikut serta dalam hal apa pun dari
perayaan mereka, maka seorang mukmin yang benar (imannya) adalah seseorang yang
menempuh jalan al-salaf al-shâlih yang mengikuti jejak sunnah nabi-Nya,
penghulu para rasul (Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-).[4]
Jika di masa Rasulullah ﷺ saja yang kuat
imannya, kaum Muslim dijauhkan dari hal-hal yang bisa merusak akidah ini, maka
kebutuhan menjaga akidah umat di zaman ini lebih besar lagi, lantas mengapa
lebih tasahul dalam wilayah akidah seperti ini?!
Catatan Kaki:
[1] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Ed: Rafa’at Fauzi ’Abdul
Muthallib, Dâr al-Wafâ’ al-Manshurah, cet. I, 2001, juz IX, hlm. 237.
[2] Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa
Adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr, cet. IV, juz VIII, hlm. 5978.
[3] Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani al-Syafi’i, Mirqât Shu’ûd
al-Tashdîq Syarh Sullam al-Taufîq, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
cet. I, 1431 H.
[4] Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa
al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, Mathâbi’
al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 125.
Comments
Post a Comment