Soal Jawab Syaikhul Ushul
‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah -hafizhahullâh-:
Makna Kata “Al-Hukmu” dan “Al-Bai’ah”
Makna Kata “Al-Hukmu” dan “Al-Bai’ah”
28 Apr 2013
Pertanyaan:
1. Dalam Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm dikatakan
bahwa “al-hukmu, al-mulku dan as-sulthânu maknanya sama”. Pertanyaannya:
Apakah makna ini adalah makna secara bahasa (lughawi) untuk kata “al-hukmu”,
atau makna secara istilah (isthilâhi)? Kemudian, apakah dengan kedua
makna ini, kata “al-hukmu” merupakan lafadz musytarak (kata yang
memiliki banyak arti)?
2. Kemudian kata “al-bai’ah” dalam hadits
datang dengan makna “akad antara Khalifah dan umat”. Apakah makna kata “al-bai’ah”
ini adalah makna secara bahasa (lughawi), atau secara syariah (syar’iy),
yakni apakah makna itu adalah haqîqah lughawiyah atau haqîqah
syar’iyah?
Jawab:
Pertama: Makna kata
“al-Hukmu”.
a. Lafadz “hakama” yang dibuat oleh bangsa
Arab, yakni dalam pengertian bahasa, atau yang disebut dengan haqîqah
lughawiyah adalah “qadla” (memutuskan). Dalam Lisân al-Arab
dikatakan “al-hukmu: al-ilmu (ilmu), al-fiqhu (fiqih) dan al-qadlâ’u
bil ‘adli (memutuskan dengan adil). Kata al-hukmu adalah mashdar hakama
yahkumu …. Yang artinya qadla (memutuskan). Dan al-qadlâ’u
adalah al-hukmu”. Dalam al-Qamûs al-Muhîth: “al-hukmu”
adalah al-qadlâ’ (putusan). Sementara dalam Mukhtâr ash-Shihhâh:
“al-hukmu” adalah al-qadlâ’ (putusan). Dan hakama bainahum (memutuskan
di antara mereka), yahkumu … hukm[an] (putusan); hakama lahu
dan hakama ‘alaihi (memutuskan).
b. Akan tetapi lafadz (kata) “al-hukmu” ini di
awal era Islam digunakan secara istilah dengan makna al-mulku dan as-sulthânu.
Dan pengertian istilah ini disebut juga dengan haqîqah ‘urfiyah.
Sehingga penggunaan kata “hukmu” di era Rasulullah Saw, para Khulafa’
ar-Rasyidin, dan bangsa Arab sesudah mereka dengan makna “al-mulku” dan
“as-sulthânu” adalah penggunaan secara istilah, yakni penggunaan secara haqîqah
‘urfiyah.
c. Kata “al-hukmu” dengan maknanya itu tidak
dinamakan dengan lafadz musytarak (kata yang memiliki banyak arti),
kecuali apabila setiap makna itu sejak awal telah dibuat untuk pengertian
secara bahasa, artinya apabila makna yang beragam itu semuanya adalah haqîqah
lughawiyah, bukan yang satu haqîqah lughawiyah, dan yang lain haqîqah
‘urfiyah, misalnya. Seperti lafadz “ad-dâbbah”, ia adalah lafadz
(kata) yang dibuat oleh bangsa Arab dengan makna setiap yang berjalan di atas
tanah. Kemudian mereka membuat makna istilah, haqîqah ‘urfiyah untuk
kata “ad-dâbbah” itu, yaitu terbatas pada hewan-hewan yang berjalan
dengan menggunakan empat kaki, sehingga dikecualikan darinya manusia. Dengan
demikian, kata “ad-dâbbah” tidak dikatakan sebagai lafadz musytarak
(kata yang memiliki banyak arti) pada setiap yang berjalan di atas tanah, dan
pada hewan-hewan yang berjalan dengan menggunakan empat kaki, sebab bangsa Arab
tidak membuat setiap makna tersebut untuk kata “ad-dâbbah”, namun bangsa
Arab membuatnya untuk setiap yang berjalan di atas tanah, dan menurut uruf
hanya dibuat untuk hewan-hewan yang berjalan dengan menggunakan empat kaki.
Bahkan kata “ad-dâbbah” untuk makna hewan-hewan yang berjalan dengan
menggunakan empat kaki ini disebut dengan haqîqah ‘urfiyah.Intinya,
bahwa lafadz musytarak (kata yang memiliki banyak arti) itu adalah
(kata) yang setiap makna-maknanya telah dibuat oleh bangsa Arab dengan haqîqah
lughawiyah. Jadi, tidak dikatakan sebagai lafadz musytarak (kata
yang memiliki banyak arti), jika salah satu maknanya haqîqah lughawiyah,
dan yang lain haqîqah ‘urfiyah ‘âmmah atau khâshshah(istilah).Dengan
demikian, kata “hukmu” bukan lafadz musytarak (kata yang memiliki
banyak arti) pada kata al-qadlâ’ dan as-sulthân, namun dikatakan haqîqah
lughawiyah untuk al-qadlâ’, dan haqîqah ‘urfiyah khâshshah
untuk al-mulku dan as-sulthân.
Kedua: Makna Kata
“al-Bai’ah”
Adapun
lafadz (kata) “bai’ah”, maka ia merupakan haqîqah syar’iyah,
bukan istilah atau “haqîqah ‘urfiyah khâshshah. Sebab maknanya dibuat
oleh syara’ bukan oleh ‘urf (istilah). Dan penjelasannya sebagai
berikut:
“Bai’ah”
secara bahasa adalah “al-bai’u wa asy-syirâ’u” (menjual dan membeli).
Dalam Mukhtâr ash-Shihhâh: “bâ’a asy-syaia” (membeli) “yabî’uhu”,
“bai’an”, dan “mabî’an”. Dan juga “bâ’ahu” artinya “isytarâhu”
(menjual). Dengan demikian, kata “bai’ah” ini termasuk lafadz “al-adhdad”
(yang memiliki makna berlawanan).
Dalam al-Qamûs
al-Muhîth: “bâ’ahu, yabî’uhu, bai’an, dan mabî’an”, yakni
(membeli dan menjual), dimana ia merupakan lafadz “al-adhdad” (yang
memiliki makna berlawanan).
Dalam Lisân
al-Arab dikatakan: “al-bai’u” (menjual) lawan kata “asy-syara’”
(membeli). Juga “al-bai’u” maknanya adalah “asy-syara’”
(membeli). Dengan demikian kata “al-bai’u” termasuk lafadz “al-adhdad”
(yang memiliki makna berlawanan). Sehingga “bi’tu asy-syaia” makanya adalah
membeli dan menjual, yang mashdar-nya “bai’an” dan “mabî’an”.
Sementara
syara’ telah membuat makna lain untuk kata “bai’ah” yaitu cara (tharîqah)
yang dengannya berlangsung pengangkatan Khalifah. Cara (tharîqah) ini
ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ijma’ shahabat. Dan cara
(tharîqah) tersebut adalah “bai’ah”.
Dengan
demikian, proses pengangkatan Khalifah itu berlangsung melalui baiah kaum
Muslim kepadanya untuk melaksanakan (hukum) berdasarkan Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya. Sementara yang dimaksud dengan kaum Muslim adalah rakyat Muslim bagi
Khalifah sebelumnya, jika sebelumnya sudah tegak Khilafah; atau kaum Muslim
suatu daerah yang di daerah itu akan ditegakkan Khilafah, jika sebelumnya tidak
tegak Khilafah. Artinya, dengan semua ini bahwa kata “bai’ah” telah
memiliki makna syar’iy berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ijma’
shahabat.
Allah SWT
berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ
أَيْدِيهِمْ
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah.” (QS. Al-Fath [48]: 10)
Imam Bukhari
meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit yang berkata:
«بايعْنا رسولَ الله صلى الله عليه وسلم على السمع والطاعة، في
المنشط والمكره، وأن لا ننازع الأمر أهله، وأن نقوم أو نقول بالحق حيثما كنا، لا نخاف
في الله لومة لائم»
“Kami
membaiah Rasulullah Saw untuk mendengar dan menaati (perintahnya), baik senang
maupun benci. Dan kami tidak akan merebut urusan (kekuasaan) itu dari
pemiliknya; juga kami akan melakukan dan mengatakan dengan benar dan adil, serta
kami tidak akan takut karena Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.”
Imam Muslim
juga meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
«إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما»
“Apabila
dibaiah dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang (dibaiah) terakhir dari
keduanya.”
Nash-nash
tersebut jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa cara (tharîqah)
mengangkat Khalifah adalah baiah. Sungguh hal ini telah dipahami oleh semua
shahabat, dan mereka telah menjalankannya. Bahkan semua itu sangat jelas dalam
proses baiah terhadap Khulafa’ur Rasyidin.
Sehingga “bai’ah”
dengan maknanya ini telah menjadi haqîqah syar’iyah, karena haqîqah
syar’iyah itulah yang dimengerti dan dibuat oleh syara’ seperti yang telah
kami jelaskan di atas.
Ahta’ bin Khalil Abu Rasytah
1 Sya’ban 1433 H./20 Juni 2012.
Comments
Post a Comment