*Pertanyaan*
Ada
seseorang dalam sebuah acara membiaskan eksistensi bendera tauhid dengan
menukil maqalah ulama menyoal penulisan kalimat mulia, ia menyatakan:
"Menuliskan
kalimat mulia yang berpotensi digunakan tidak semestinya menurut ulama
Hanafiyah adalah makruh. Bahkan menurut ulama Malikiyah adalah haram. Sebab
kalimat agung akan berpotensi terhinakan."
Pertanyaannya:
"Bagaimana mendudukkan maqalah para ulama ini?"
Jawab:
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله
وأصحابه أجمعين وبعد
Maqalah
para ulama tersebut, jelasnya wajib ditempatkan pada tempatnya, tidak relevan
digunakan untuk mendiskreditken begitu saja (secara mutlak) penulisan kalimat
tauhid pada kain bendera yang kemudian secara 'urfi, ma'ruf diistilahkan kaum
Muslim di negeri ini dengan istilah "bendera tauhid":
Pertama,
Maqalah sebagian ulama tersebut jelasnya berkaitan erat dengan penulisan
kalimat dzikrullah pada benda yang memang ternistakan atau berpotensi besar
akan ternistakan. Ini adalah sifat yang membatasi arah maqalah tersebut, tak
bisa digunakan sebagai fatwa sapu jagad dan bersifat mutlak. Intinya, kalaupun
dituliskan pada bendera, maka ia wajib dijaga kehormatannya, tidak boleh
dinistakan.
Dalam
maqalah al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi'i (w. 676 H) ini misalnya:
[فصل] مذهبنا أنه يكره نقش الحيطان والثياب
بالقرآن وبأسماء الله تعالى قال عطاء لا بأس بكتب القرآن في قبلة المسجد وأما
كتابة الحروز من القرآن فقال مالك لا بأس به إذا كان في قصبة أو جلد وخرز عليه
وقال بعض أصحابنا إذا كتب في الخرز قرآنا مع غيره فليس بحرام ولكن الأولى تركه
لكونه يحمل في حال الحدث وإذا كتب يصان بما قاله الامام مالك رحمه الله وبهذا أفتى
الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله
"(Pasal)
madzhab kami (Syafi'i) memakruhkan mengukir tembok dan pakaian dengan ayat
al-Qur'an dan nama-nama Allah. Berkata Imam ‘Atha, bahwa tidak mengapa menulis
al-Qur'an pada kiblat masjid, adapun menuliskan huruf al-Qur'an maka Imam Malik
berkata tidak mengapa apabila di buluh atau kulit lalu diikatkan. Berkata
sebagian ashhab kami: jika ditulis di dalam jimat ayat al-Qur'an dengan
selainnya maka tidaklah haram, tetapi lebih utama ditinggalkan, karena bisa
terbawa ketika hadats. Apabila al-Qur'an ditulis (pada sesuatu) harus dijaga
sebagaimana perkataan Imam Malik dan dengan pendapat ini pulalah al-Syaikh Abu
‘Amr bin al-Shalah berfatwa”[1]
Jika
kita teliti lebih dalam perkataan para ulama, mereka memakruhkan atau
mengharamkan menulis al-Qur'an pada tembok dan yang semisalnya, disebabkan
adanya dugaan kuat menghantarkan kepada penistaan dan penghinaan terhadap
al-Qur'an. Sedangkan secara asal, hukumnya adalah mubah, karena tidak ada
satupun dalil yang mengharamkan menulis al-Qur'an diatas suatu benda (yang
terjaga).
Jika
bendera bisa secara mutlak digolongkan pada sifat penistaan tersebut, lantas
bagaimana dengan mushhaf? Kitab-kitab tafsir dan hadits? Buku-buku yang memuat
ayat al Qur'an? Termasuk kaligrafi di dinding-dinding masjid, atau dalam kain
yang dipajang? Termasuk kalimat "نحن
أنصار الله" yang dicetak dalam logo ormas, ditempelkan pada pakaian?
Termasuk bagaimana pula dengan kain penutup keranda mayat yang memuat kalimat
istirja' "إنا لله وإنا إليه
راجعون"?
Kedua,
Jika konsisten seharusnya maqalah yang dinukil ini pun, digunakan untuk
menghukumi jimat-jimat yang kontennya bertuliskan ayat al-Qur'an. Jimat, jelas
sangat rentan karena bentuknya kecil, dilipat dan disimpan dalam saku atau
dompet, jelas rentan dibawa ke wc, terduduki, terbuang, dsb. Kenapa tak
digunakan pula fatwa-fatwa tersebut untuk menghukumi jimat?
Tentang
jimat misalnya, dalam kitab-kitab turats diuraikan kenapa ada dua golongan
ulama yang mengharamkan dan memakruhkan jimat meski kontennya dzikrullah dari
al Qur'an? Alasannya adalah adanya kaidah sadd al-dzari'ah, dengan asumsi
penulisan kalimat dzikrullah pada jimat dianggap berpotensi besar akan mengarah
pada penistaan atasnya, disadari atau tidak, misalnya dibawa ke WC, terbuang,
dsb [Info: tentang perincian hukum jimat ini, sudah saya uraikan dalam buku
"Menyingkap Jin & Dukun Hitam Putih Indonesia"]
Ketiga,
Benarkah penulisan kalimat tauhid pada bendera artinya menistakannya? Para
ulama, semisal pakar fikih, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal'ah Ji (w. 1435 H),
dalam kitab Mu'jam Lughat al-Fuqaha' menegaskan sifat bendera itu sendiri
sebagai sesuatu yang memang pada asalnya untuk ditinggikan:
الراية: ج راي ورايات، العلامة المنصوبة للرؤية علم الجيش أو
علم البلاد
"Al-Râyah:
jamaknya rây dan râyât adalah simbol yang dibuat untuk ditinggikan agar bisa
terlihat, ia merupakan simbol pasukan atau simbol negeri-negeri". [2]
Ini
merupakan tradisi dari adanya bendera, yang memang dibuat untuk ditinggikan,
disyi'arkan, karena memiliki kedudukan sebagai syi'ar. Kalau tidak begitu,
dengan kata lain harus dilarang karena ternistakan, maka tidak akan ada orang
yang membuat bendera negara, bendera ormas, bendera kelompok dsb, dengan asumsi
bahwa bendera berpotensi menghinakan simbol di dalamnya. Apakah asumsi tersebut
bisa diterima? Kenyataannya tidak.
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
Irfan
Abu Naveed
Dosen
Fikih-Manthiq/ Pengajar Balaghah
Catatan
Kaki:
[1]
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Tibyân fi Âdâb Hamalat
al-Qur'ân, Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. III, 1414 H, hlm. 172.
[2]
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’,
Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, juz I, hlm. 218.
Comments
Post a Comment