Oleh: Irfan Abu Naveed
[Penulis Buku "Konsep Baku Khilafah Islamiyyah"]
Benarkah Ijma’ Itu Hanya Klaim Sepihak Ulama Di Zamannya Demi Motif Politis
Seperti Yang Diklaim Oleh Sdr Irwan Masduqi?
Jelas ini tidak benar dan
tak bisa dibenarkan, klaim ini mengandung tuduhan serius kepada para ulama seakan-akan
mereka berdusta mengada-adakan tentang ijma’. Sebagaimana disebutkan oleh ybs tatkala mengomentari dalil ijma' sahabat dan ijma' ahlu sunnah wa al-jama'ah yang saya uraikan berkali-kali dalam forum diskusi bedah buku Konsep Baku Khilafah Islamiyyah di Banjar (27/10/2019).
Kecurigaan dan tuduhan seperti ini, adalah kecurigaan dan tuduhan khas penganut hermeneutika atas nama “kajian sosio historis”. Pemikiran rusak seperti ini, mudah kita temukan dalam ucapan-ucapan para penganut hermeneutika, mereka andalkan ketika mengkritisi teks-teks khazanah Islam, diantaranya tatkala mereka mengkritisi maqalah para ulama, dimana produk pemikiran yang lahir dari kerangka berpikir rusak ini, disadari atau tidak akhirnya bisa sampai pada perbuatan sangat berbahaya: menikam satu di antara fondasi-fondasi ajaran Islam, berbekal asumsi (wahm) belaka, sama sekali tak bernilai ilmiah, dan bahkan wajib ditolak dan dikritisi.
Bagaimana bisa kita menuduh para ulama Islam telah berdusta soal agama tanpa dasar? Padahal Islam mengajarkan konsepsi ikhlas dan jujur dalam menyebarkan ilmu, dimana para ulama Islam terdepan dalam mengajarkan dan mengamalkan konsepsi agung ini, sesuatu yang memang tak dimiliki oleh penganut peradaban barat pemuja materialisme. Maka jelas, kerangka heremeneutika seperti ini wajib ditolak dan dikritisi.
Bagaimana bisa kita menuduh para ulama Islam telah berdusta soal agama tanpa dasar? Padahal Islam mengajarkan konsepsi ikhlas dan jujur dalam menyebarkan ilmu, dimana para ulama Islam terdepan dalam mengajarkan dan mengamalkan konsepsi agung ini, sesuatu yang memang tak dimiliki oleh penganut peradaban barat pemuja materialisme. Maka jelas, kerangka heremeneutika seperti ini wajib ditolak dan dikritisi.
Dr. Daud Rasyid
menegaskan bahwa kedudukan ijma’ sahabat sebagai dalil syari’ah -setelah
al-Qur’an dan al-Sunnah- sangatlah kuat, didasarkan pada dalil yang qath’i.
Para ulama’ ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan
seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam al-Sarkhashi (w. 483 H) yang digelari syams
al-a’immah (mentari para imam) menegaskan:
ومن أنكر كون الإجماع حجة موجبة للعلم فقد أبطل
أصل الدين فإن مدار أصول الدين ومرجع المسلمين إلى إجماعهم فالمنكر لذلك يسعى في
هدم أصل الدين.
Siapa saja yang mengingkari kedudukan ijma’
sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu, berarti benar-benar telah
membatalkan fondasi agama ini, karena sesungguhnya poros fondasi Din ini dan
tempat kembali kaum Muslim kepada ijma’ mereka. Karena itu orang yang
mengingkari ijma’ sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.[1]
Dengan demikian, tuduhan serius ala penganut
hermeneutika seperti ini wajib ditolak dan dikritisi, sehingga tak ada alasan
apapun yang bisa diterima untuk menolak atau mengaburkan adanya kebakuan
Khilafah, berupa dalil ijma’ yang terang benderang, seterang mentari di siang bolong.
Oleh karena itu, ijma’ sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah
dan mengangkat Khalifah tak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak
berharga karena bukan dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Lantas, bagaimana sikap kita? Sikap kita sebagaimana dituturkan sya’ir yang
dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dan para ulama lainnya:
نبني كما كانت أوائلنا * تبني، ونفعل
مثل ما فعلوا
“Kami membangun sebagaimana
generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[2]
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[2]
Kedudukan
ijma’ sebagai dalil ushul al-syari’ah pun ditegaskan para ulama: Imam Muhammad
bin Idris Al-Syafi’i (w. 204 H) menegaskan:
أَنَّ لَيْسَ لاَحَدٍ أَبَدًا أَنْ يَقُوْلَ
فِي شَئْ حلّ وَ لاَ حَرَم إِلاَّ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةُ الْعِلْمِ
الخَبَرُ فِي الْكِتَابِ أَوْ السُّنَةِ أَوْ الإِجْمَاعِ أَوْ الْقِيَاسِ
Seseorang tidak boleh menyatakan
selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan pada ilmu.
Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (al-Quran), al-Sunnah, Ijma’
atau Qiyas.[3]
Senada dengan itu, Imam Abu Hamid al-Ghazali
(w. 505 H) juga menyatakan:
وَجُمْلَةُ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ
تَرْجِعُ إلَى أَلْفَاظِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ
وَالِاسْتِنْبَاطِ
Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam
ungkapan yang tercantum dalam al-Kitâb (al-Qur’an), al-Sunnah (al-Hadits),
Ijma’ dan Istinbâth (Qiyas).[4]
Penegasan kedudukan ijma’ sahabat sebagai
dalil ushul al-syari’ah pun jelas bisa ditemukan dalam banyak referensi
berharga ushul fikih dalam khazanah keilmuan kaum Muslim, yang telah diakui dan
disepakati dari masa ke masa. Lantas bagaimana bisa diterima wahm bahwa
tidak ada ijma’ dalam Islam dan ia hanya klaim sepihak ulama dengan motif
politis?! Jika memang benar seperti itu, lantas untuk apa para ulama menjadikan
ijma’ sebagai salah satu hujjah jika kenyataannya ia sesuatu yang tidak ada?!
Logika seperti apa yang bisa membenarkan wahm ala manhaj rusak hermeneutika
ini?! Tidak ada!
[1] Muhammad bin Ahmad Al-Sarkhasi, Ushûl al-Sarkhasi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I,
1414 H, juz I, 296.
[2] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb
al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet.
III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh
wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz I,
hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr
al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî
al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, cet. III, 1417 H, juz
I, hlm. 132.
[3] Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risâlah, Ed: Rif’at Fauzi, Mesir: Dar al-Wafa’, cet. I, 1422
H/2001, hlm. 16.
[4] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
al-Thusi, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, Ed: Muhammad bin Sulaiman al-Asyqar, Beirut: Mu’assasat al-Risalah, cet.
I, 1417 H/1997, juz II, hlm. 298.
Comments
Post a Comment