
Catatan Kajian Irfan Abu
Naveed
Pemerhati Kajian Balaghah
al-Qur'an & Hadits Nabawi, Dosen Fikih-Manthiq
Menyoal
ajaran Ahmadiyyah Qadiyaniyyah, telah ada fatwa MUI/Dasar Hukum Lain Yang
Melarang: No. 05/kep/munas II/MUI/1980 yang menyatakan ajaran tersebut sesat.
Râbithah al-Âlam al-Islâmi (liga dunia islam) di Makkah pun menyatakan hal
senada bahkan lebih tegas lagi.
Prof.
Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) mendefinisikan makna dhalâl
berkonotasi sebagai perbuatan:
الاِنْحِرَافُ عَنْ شَرْعِ اللهِ
“Penyimpangan
dari syari’at (ajaran) Allah.”[1]
Dengan kata lain suatu paham dikatakan sesat, menyimpang jika bertentangan dengan akidah dan hukum-hukum syariah yang qath‘i. Suatu paham yang menyimpang dari rukun iman, rukun Islam, dan atau tidak mengimani kandungan al-Quran jelas terkategori kesesatan (dhalâlah). Apalagi syahadatnya bukan syahadat Islam. Dilihat dari sudut ini, al-Qiyadah al-Islamiyah dan aliran-aliran lainnya yang disebutkan dengan keyakinan seperti di atas dapat digolongkan kelompok sesat, batil, karena menyelisihi ajaran-ajaran Islam yang qath’i. Pengakuan suatu kelompok atas seseorang sebagai rasul yang diutus dengan suatu syahadat adalah suatu bentuk kemungkaran yang merusak kemurnian akidah Islam yang hanya mengakui Nabi Muhammad ﷺ sebagai nabi dan rasul terakhir, sebagaimana firman Allah ’Azza wa Jalla:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ
رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS.
Al-Ahzâb [33]: 40).
Imam
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) menafsirkan ayat tersebut menegaskan TIDAK ADA
LAGI KENABIAN PASCA KENABIAN NABI MUHAMMAD ﷺ:
وَلكِنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ وَخَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ، الَّذِي
خَتَمَ النُّبُوَّةَ فَطُبِعَ عَلَيْهَا، فَلاَ تُفْتَحُ لِأَحَدٍ بَعْده إِلى
قِيَامِ السَّاعَةِ
“Akan
tetapi ia adalah utusan Allah dan penutup para nabi (khâtam al-nabiyyîn).
Beliau adalah penutup kenabian (nubuwwah) sekaligus orang yang diberi cap kenabian.
Atas dasar itu, kenabian (nubuwwah) tidak akan dibukakan kepada seorang pun
setelah beliau hingga Hari Kiamat.”[2]
Dan
perkara ini termasuk perkara akidah, al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani dalam
Muqaddimah al-Dustûr menegaskan bahwa kedudukan Rasulullah -shallallâhu ‘alayhi
wa sallam- sebagai penutup para nabi termasuk wilayah akidah, karena kita
dituntut untuk mengimaninya.[3] Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) menyatakan
bahwa ayat ini merupakan nash yang menunjukkan tidak adanya nabi setelah Nabi Muhammad
ﷺ, sebagaimana ditegaskan dalam referensi terkait[4]. Al-Hafizh
Ibnu Katsir pun menegaskan bahwa masalah ini telah disebutkan oleh
hadits-hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh mayoritas Sahabat.[5]
Pengakuan
tentang nabi/rasul setelah Muhammad ﷺ ini misalnya, jelas menikam hdis-hadis
Rasulullah ﷺ, di antaranya hadits dari Hudaifah Ibnu al-Yaman r.a. bahwa
Nabi ﷺ bersabda:
َإِنِّي خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا
نَبِيَّ بَعْدِي
“Sesungguhnya
aku penutup para nabi dan tidak ada lagi nabi setelahku” (HR. Ahmad dalam
Musnad-nya[6])
Makna
la nabiya ba'di, TIDAK BISA DITERJEMAHKAN "CINCIN/MAHKOTA KENABIAN",
mengingat makna tersebut bertentangan dengan makna yang sharih dalam hadits
shahih:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ
كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
“Dulu
Bani Israil diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi
yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada
para khalifah, yang berjumlah banyak.”
(HR. Al-Bukhari[7], Muslim[8] & Ahmad[9])
Yang
menegaskan tidak akan ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ, yang ada adalah para khalifah pengganti
dalam urusan kepemimpinan atas umat dalam kehidupan bernegara. Hadits-hadits
dengan redaksi lain yang senada pun banyak kita temukan dalam kitab induk
hadits. Semuanya menggambarkan bahwa Muhammad ﷺ adalah nabi dan rasul terakhir, kalimat lâ
nabiyya ba’diy semakin mempertegas makna khâtam al-nabiyyîn, bahwa beliau ﷺ jelas adalah penutup para nabi dan tidak
ada lagi nabi setelah beliau. Setelah masa Rasulullah ﷺ, umat dipimpin bukan oleh nabi atau rasul,
melainkan para khalifah yang menerapkan Islam yang dibawa Rasulullah ﷺ.
Coba
perhatikan hadits hasan, maqbul, marfu' berikut ini:
'Uqbah
bin Amir r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
لَوْ كَانَ مِنْ بَعْدِي نَبِيٌّ، لَكَانَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ
"Jika
setelahku ada lagi nabi maka ia adalah Umar bin al-Khaththab." (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi)
Hadits
ini hadits hasan, Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad-nya (no. 17405),
Syaikh al-Muhaddits Syu'aib al-Arna'uth menuturkan: "Isnad-nya
hasan"; Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 3686) menegaskan: "Ini
adalah hadits hasan gharib..."
Qultu:
Kalau
seandainya benar klaim ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ, maka Nabi ﷺ tidak mungkin mengatakan kalimat di atas,
"kalau ada lagi nabi setelahku", dalam ilmu balaghah menunjukkan
pengandaian yang jelasnya tidak ada, sehingga 'Umar bin al-Khaththab r.a.
bukanlah nabi, tapi seorang sahabat yang kemudian dibai'at umat menjadi
Khalifah yang digambarkan dalam hadits nabawi lainnya.
Sehingga
jelas makna khatam al-nabiyyin, maknanya adalah la nabiya ba'dahu, ia TIDAK
BISA DITERJEMAHKAN "CINCIN/MAHKOTA KENABIAN", mengingat makna
tersebut bertentangan dengan makna yang sharih dalam hadits shahih:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ
كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
“Dulu
Bani Israil diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi
yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada
para khalifah, yang berjumlah banyak.”
(HR. Al-Bukhari, Muslim & Ahmad).
Jelas,
disebutkan "TIDAK AKAN ADA LAGI NABI", yang ada adalah para khalifah,
semisal Khalifah Abu Bakar, Umar, dsb dari para pengganti kedudukan baginda ﷺ sebagai kepala negara yang mengatur urusan
umatnya (siyasah).
Dalam
ilmu ushul, lafal khatam yang diidhafatkan kepada al-nabiyyin,
kalaupun diklaim sebagai lafal musytarak (satu kata yang memiliki makna lebih
dari satu) TETAP WAJIB DIPILIH MAKNANYA berdasarkan petunjuk dalil-dalil naqli
lainnya, tak boleh sembarang dipilih tanpa ilmu dan diterjemahkan begitu saja
dengan terjemah yang bertentangan dengan dalil-dalil naqli lainnya.
Dalil-dalil
di atas, menunjukkan secara sharih bantahan atas penyimpangan makna khatam
al-nabiyyin kepada makna "mahkota kenabian/cincin kenabian" dengan
tujuan batil untuk dijadikan dalih adanya nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ, yang benar berdasarkan petunjuk
hadits-hadits nabawiyyah, maknanya jelas "PENUTUP KENABIAN",
ditegaskan oleh para ulama ahlus sunnah yang menegaskan tidak ada lagi nabi
setelah Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagai
contoh kesalahan memaknai kata al-silm (السلم) dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208, yang
termasuk lafal musytarak (satu kata bermakna ganda) mengandung konotasi: الإسلام dan مسالمة
العدو. Lafal
ini akan berakibat sangat fatal jika dimaknai secara harfiah sebagai مسالمة
العدو yakni
perdamaian dengan musuh, padahal makna sebenarnya الإسلام, berdasarkan banyak qarâ'in nya.
Ditegaskan Ibn Abbas r.a. dan tafsir para ulama salaf dan khalaf lainnya. Sebagaimana
diuraikan oleh Amir Hizb, Syaikhuna Atha bin Khalil dalam kitab tafsirnya,
al-Taysir fi Ushul al-Tafsir.
Maka
bertaubatlah mereka yang meyakini Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi
Muhammad ﷺ, mengingat mereka meyakini sesuatu tanpa dalil (khurafat), begitu pula sekte-sekte sesat nan batil yang mengklaim adanya nabi baru!
Catatan
Kaki:
[1]
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’,
Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, hlm. 335.
[2]
Muhammad bin Jarir Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân,
Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420 H, juz XX, hlm. 278.
[3]
Taqiyuddin bin Ibrahim Al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustûr, Beirut: Dâr
al-Ummah, cet. II, 1430 H, juz I, hlm. 22.
[4]
Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,
Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI, hlm. 428.
[5]
Ibid.
[6]
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (juz ke-38/hlm. 380, hadits no. 23358), Syu’aib
al-Arna’uth mengatakan sanadnya shahih, para perawinya tsiqah.
[7]
HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (III/1273, hadits no. 3268).
[8]
HR. Muslim dalam Shahîh-nya (VI/17)
[9]
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (XIII/340, hadits no. 7960), Syu’aib al-Arna’uth
mengatakan bahwa sanadnya shahih sesuai syarat Syaikhayn (al-Bukhari &
Muslim).
Comments
Post a Comment