Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
S
|
alah satu hadits yang terang
benderang mengandung perintah berpegang teguh pada sunnah Rasulullah ﷺ dan
al-khulafâ’ al-râsyidîn, mencakup sunnah imamah adalah hadits dari Al-’Irbadh
bin Sariyah r.a. ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ بعدي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah kalian berdiri di
atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (para khalifah
yang mendapatkan petunjuk dan menunjuki kepada kebenaran) setelahku, gigitlah
oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah,
Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Keterangan
Singkat Hadits
HR. Ahmad
dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits
shahih dan para perawinya tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no.
42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dengan banyak
jalan periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadits shahih,
tidak mengandung satupun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh
al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân (no. 7516).
A.
Faidah Hadits I: Lafal 'Alaykum
Termasuk Lafal Perintah (Shiyagh al-Amr)
Lafal "'alaykum"
dalam permulaan redaksi hadits ini dalam ilmu bahasa arab (sharaf) termasuk
isim fi'l al-amr (kata benda yang berkonotasi kata kerja perintah), hal ini
diuraikan para ulama bahasa arab, salah satunya dari kalangan mu'ashirin, Dr.
Ayman Amin Abdul Ghani dalam kitabnya, Mulakhkhash Qawâ'id al-Lughah
al-'Arabiyyah.
Apa makna "عليكم
ب" yakni "إلزموا
ب", yakni "pegang teguhlah". Maka relevan jika
dalam ilmu ushul fikih ia termasuk shiyagh al-amr, shighat (lafal) yang
menunjukkan adanya perintah. Hukum asal perintah itu sendiri disebutkan dalam
kaidah yang diadopsi oleh para ulama:
الأصل في الأمر للطلب
"Hukum asal perintah
menunjukkan adanya tuntutan"
Tuntutannya apakah termasuk
wajib atau mandub maka tergantung petunjuk-petunjuk relevan (qarâ'in). Jika
ditelusuri, jelas perintah dalam hadits ini perintah wajib, berdasarkan banyak
petunjuk wajibnya ittiba' kepada baginda Rasulullah ﷺ. Kewajiban untuk apa? Kewajiban yang dituntut dalam nas hadits,
yakni berpegang teguh pada sunnah baginda Rasulullah ﷺ dan sunnah para khalifah rasyidah. Dalam hal ini mencakup
sunnah imamah (sunnah dalam persoalan kepemimpinan).
B.
Faidah Hadits II: Sunnah
Mencakup Sunnah Imamah (Kepemimpinan)
Sunnah sebagaimana ditegaskan
para ulama, berkonotasi thariqah yakni jalan, manhaj dan metode. Lafal ini
menggambarkan adanya pedoman baku menjalani kehidupan, hingga dinisbatkan
secara kokoh (dalam bentuk idhafat: mudhaf mudhaf ilayhi).
Frasa sunnati dan sunnat
al-khulafâ' termasuk bentuk idhâfat (mudhaf mudhaf ilayhi)
yang menunjukkan makna spesifik (ma'rifat), sebagaimana diulas dalam banyak
referensi ilmu nahwu, hal itu terbukti tatkala seseorang memaknai kalimat
tersebut, tak boleh dibiaskan dengan "sunnah Montesque, Plato,
Aristoteles, Jhon Locke, dan yang semisalnya" dengan beragam teori politik
pemerintahan mereka. Mengingat sunnah dalam hadits tersebut maknanya spesifik,
khas, tidak samar dan tidak bias, menggambarkan adanya metode baku Rasulullah ﷺ dan para Khulafa' Rasyidin menjalani kehidupan dengan Islam.
Sisi ini jelas menunjukkan
adanya "metode baku" menjalani kehidupan, mencakup sunnah baku dalam
persoalan imamah (kepemimpinan) dan siyasah (pengaturan urusan masyarakat), hal
itu diperjelas bukti dimana lafal sunnah dalam hadits ini diidhafatkan kepada
lafal khulafâ' (jamak dari khalifah):
"سُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ"
"Sunnah para khalifah
yang lurus menunjuki (kepada kebenaran)."
Lafal al-khulafâ’
adalah jamak dari kata khalifah, istilah khalifah itu sendiri jelas identik
dengan "kepemimpinan siyasah" sedangkan istilah sunnah identik dengan
"metode/sistem/konsepsi", menunjukkan secara terang benderang adanya
sunnah (konsep baku) para khalifah berkaitan dengan kepemimpinan, yang
diperjelas dalam hadits lainnya: "Khilafah 'ala Minhaj al-Nubuwwah",
sebagaimana diperjelas dalam sunnah qauliyyah (ucapan) dan sunnah
fi'liyyah (perbuatan) Rasulullah ﷺ dan para khulafa' rasyidun yang menegakkan konsep baku
pemerintahan dalam Islam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits, dari Hudzaifah
r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ»
“Selanjutnya akan ada kembali
Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud
al-Thayalisi, al-Bazzar)[2]
Apa makna Khilâfah 'alâ
Minhâj al-Nubuwwah? Al-Imam al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) menjelaskan:
(على منهاج النبوة) أي: طريقتها الصورية
والمعنوية
“(Di atas manhaj kenabian)
yakni metodenya yang tersurat dan tersirat.”[3]
Di antara bukti lain adanya
sunnah kepemimpinan dalam Islam adalah apa yang ditegaskan Khalifah 'Umar bin
'Abdul 'Aziz, yang disebut-sebut disepakati para ulama sebagai jajaran Khalifah
dari Khilafah Rasyidah, sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali
(w. 795 H) dalam al-Jâmi’, ini pula yang menjadi pandangan Syaikh
al-Masyayikh al-’Allamah Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam
al-Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh. Bahkan al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H)
dalam Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (XII/696), menyebutkan bahwa para ulama
sepakat bahwa ia (Khalifah Umar bin Abdul Aziz), termasuk jajaran imam yang
adil, termasuk al-khulafâ’ al-râsyidîn dan imam yang berdiri di atas petunjuk.
Dalam qaul yang disebutkan
Imam al-Ajurri (w. 360 H), dan al-Hafizh Ibn Abdul Barr al-Andalusi (w. 463 H),
Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz menegaskan:
«سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوُلَاةُ الْأَمْرِ مِنْ بَعْدِهِ سُنَنًا، الْأَخْذُ بِهَا
اتِّبَاعٌ لِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَاسْتِكْمَالٌ لِطَاعَةِ اللَّهِ
تَعَالَى، وَقُوَّةٌ عَلَى دِينِ اللَّهِ، لَيْسَ لِأَحَدٍ مِنَ الْخَلْقِ
تَغْيِيرُهَا , وَلَا تَبْدِيلُهَا، وَلَا النَّظَرُ فِي شَيْءٍ خَالَفَهَا، مَنِ
اهْتَدَى بِهَا فَهُوَ مُهْتَدٍ، وَمَنِ اسْتَنْصَرَ بِهَا فَهُوَ مَنْصُورٌ،
وَمَنْ تَرَكَهَا اتَّبَعَ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ، وَوَلَّاهُ اللَّهُ مَا
تَوَلَّى، وَأَصْلَاهُ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا»
Rasulullah ﷺ dan para ulil amri setelahnya (khulafa' rasyidun) telah
menggariskan adanya sunnah, yakni sikap berpegang teguh pada Kitabullah, dan
menyempurnakan keta'atan kepada Allah, menegakkan kekuatan (fondasi kehidupan)
di atas Din Allah, tidak boleh ada seorang pun dari makhluk-Nya yang boleh
mengubahnya, tidak boleh pula menggantikannya (dengan sunnah selainnya), dan
tidak dilihat sedikit pun apapun yang menyelisihi sunnah tersebut, siapa saja
yang mengambil petunjuk darinya maka ia menjadi orang yang tertunjuki, siapa
saja yang mencari kemenangan dengannya maka ia akan diberikan kemenangan, dan
siapa saja yang meninggalkannya dengan mengikuti selain jalan orang-orang
beriman, maka Allah akan menyerahkan dirinya pada apa ia jadikan tempat
bergantung (selain Allah), dan menyeretnya ke dalam Jahannam, dan ia adalah
seburuk-buruknya tempat kembali.[4]
Allah SWT
telah memperingatkan dalam firman-Nya:
وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ صلى وَسَاءَتْ
مَصِيرًا {١١٥}
“Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas datang
kepadanya petunjuk, dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami
biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti
jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret ke dalam jahannam. Dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)
Sunnah
yang disebutkan oleh Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz di atas, jelas berkaitan
erat pula dengan konsep kepemimpinan khas (baku) dalam Islam, dimana disebutkan
di dalamnya kalimat "wulat al-amri" (para ulil amri), dan berkaitan
erat dengan pedoman konstitusi bernegara yang menempatkan al-Qur'an dan
al-Sunnah sebagai sumbernya, tidak ada yang lebih tinggi darinya.
Maka
relevan jika Prof. Dr. Abdullah al-Dumaiji pun menjadikan hadits ini sebagai
penguat wajibnya menegakkan Khilafah, dalam kitab al-Imamah 'Inda Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah.[5] Perhatikan
pernyataan Imam al-Khaththabi (w. 388 H) yang menekankan keutamaan pandangan
para sahabat utama (khalifah dalam khilafah rasyidah):
وفي قوله عليكم بسنتي
وسنة الخلفاء الراشدين دليل على أن الواحد من الخلفاء الراشدين إذا قال قولاً،
وخالفه فيه غيره من الصحابة كان المصير إلى قول الخليفة أولى
Dan dalam sabdanya —
"'alaykum bi sunnati wa sunnat al-khulafa' al-rasyidin" terdapat
dalil bahwa individu dari para khalifah rasyidin ini jika berpendapat dengan
suatu pendapat, lalu ada sahabat lain yang menyelisihinya maka sikap memilih
pendapat khalifah rasyidin ini lebih utama.[6]
Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali
(w. 795 H) menguraikan:
Penyifatan al-khulafâ’ dengan
sifat al-râsyidîn, karena mereka mengetahui kebenaran, dan menghukumi manusia
dengannya, karena lafal al-rasyid adalah antonim dari al-ghâwi. Istilah
al-ghâwi yakni orang yang mengetahui kebenaran namun amal perbuatannya bertolak
belakang dengannya. Sabda baginda ﷺ al-mahdiyyîn,
yakni bahwa Allah menunjuki mereka pada jalan kebenaran, tidak tersesat
darinya.[7]
Dalam hal ini, Ibn Rajab,
mencirikan kaum yang disebut al-rasyidin adalah mereka yang mendapatkan
petunjuk dan mampu mengamalkannya -wa biLlâhi al-taufîq-.[8]
C.
Faidah Hadits III: Perumpamaan
Kekuatan Berpegang Teguh Pada Sunnah (Termasuk Sunnah Imamah)
Pesan mendalam yang mulia
Rasulullah ﷺ dalam hadits yang agung ini, digambarkan dalam
bentuk kalimat balaghiyyah: al-isti’ârah al-tamtsîliyyah, dimana Rasulullah ﷺ meminjam
ungkapan “عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ”, gigitlah dengan gigi geraham yang kuat,
untuk menggambarkan konsistensi berpegang teguh terhadap sunnah, yakni jalan
hidupnya Rasulullah ﷺ dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn, sebagaimana
digambarkan oleh Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H).[9]
Bentuk ungkapan kiasan ini, jelas
memudahkan siapapun yang menyimak hadits ini, untuk memahami pesan yang
dikandungnya, dengan menuntut setiap pembacanya membayangkan seperti apa
gambaran mahsûs (terindera) dari sikap kokoh berpegang teguh pada
sunnah Rasulullah ﷺ dan para sahabat Khulafa' Rasyidin, tidak boleh
dilepaskan meskipun hanya sekejap kerlipan mata. Tatkala dilepaskan maka akan
hilang. Perhatikan, ini adalah pesan agung baginda Rasulullah ﷺ yang
tak boleh diselisihi oleh manusia manapun, tidak bernilai ajaran-ajaran yang
menyimpang dari sunnah Rasulullah ﷺ dan
para sahabatnya yang utama, termasuk dalam persoalan kepemimpinan.
وبالله التوفيق
[1] Penulis Buku “Konsep Baku Khilafah Islamiyyah”, Dosen yang
aktif mengajar mata kuliah Fikih Siyasah/Bahasa Arab/Manthiq, dan aktif dalam kajian-kajian
tafsir-balaghah al-Qur’an & Hadits-Hadits Nabawiyyah. Website:
www.irfanabunaveed.net e-mail: irfanabunaveed@gmail.com
[2]
Al-Hafizh al-‘Iraqi dalam Mahajjat al-Qurab menilai hadits ini shahih;
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Syaikh
Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya hasan”; Abu
Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya
(no. 2796).
[3] Nuruddin al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh
Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VIII, hlm.
3376.
[4] Abu Bakar Muhammad bin al-Husain al-Ajurri al-Baghdadi, Al-Syarî’ah,
Riyadh: Dar al-Wathan, cet. II, 1420 H, juz I, hlm. 407; Yusuf bin Abdullah
Ibn Abdul Barr al-Andalusi, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlihi, KSA:
Dar Ibn al-Jauzi, cet. I, 1414 H, juz II, hlm. 1176.
[5] Abdullah bin Umar bin Sulaiman al-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ
‘Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Riyadh: Dâr al-Thayyibah, cet. I, 1407
H/1987, hlm. 51-52.
[6] Abu Sulaiman Al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan: Syarh Sunan Abi
Dâwud, Halb: Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1351 H, juz IV, hlm. 301.
[7] Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, Beirut:
Mu’assasat al-Risâlah, cet. VIII, 1419 H, juz II, hlm. 126.
[8] Ibid.
[9] Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, Beirut:
Mu’assasat al-Risâlah, cet. VIII, 1419 H, juz II, hlm. 126.
Comments
Post a Comment