Dalil Kokoh Kefardhuan Khilafah: Dalil Ijma’ Sahabat
Kajian Menurut Maqalah
Ulama Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah
Oleh: Irfan Abu Naveed
[Penulis Buku Konsep Baku Khilafah Islamiyyah]
Benarkah Asumsi Bahwa Khilafah
Hanya Persoalan Zhanniyyat dan Ijtihadiyyah?
Tidak benar, menyebut Khilafah (dalil hukum
penegakkan dan bangunanya) sebagai persoalan ijtihadiyyah adalah potret
ketidakpahaman terhadap turats para ulama.
Pertama, Dalam konsepsi Khilafah,
dari petunjuk para ulama, salah satunya al-Imam al-Mawardi al-Syafi’i, jelas
Islam memiliki kaidah-kaidah baku mengatur tata kelola bernegara. Kaidah-kaidah
Islamiyyah ini, diantaranya jika dikaji secara mendalam (istiqra’) –tidak
prematur-, jelas bukanlah persoalan zhanniyyat, melainkan qath’iyyat hingga
bersifat baku, bukan pula termasuk wilayah ijtihadiyyah karena telah dibakukan
oleh nas al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ sahabat, sesuai kaidah ma’rufah:
لا إجتهاد مع ورود النص
Tidak ada ijtihad dengan
adanya kejelasan nash.
Kedua, Dari segi kedudukan
kefardhuan menegakkan Khilafah, para ulama menegaskan Khilafah sebagai kefardhuan,
didasarkan pada dalil al-Qur’an, al-Sunnah serta ijma’ sahabat, dimana mereka bahkan
menegaskan kefardhuan tersebut sebagai salah satu seagung-agungnya kefardhuan (min
a’zhâm al-wâjibât), Syaikhul Islam al-Imam Ibn Hajar al-Haitami al-Syafi’i (w. 974 H) menegaskan:
أَنَّ الصَّحَابَةَ
رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ
اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ
حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ.
Sungguh para sahabat -semoga Allah meridhai
mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman
kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah
sebagai (salah satu) kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih
menyibukkan diri dengan kewajiban ini dengan menunda (sementara) kewajiban
menguburkan jenazah Rasulullah ﷺ.[1]
Relevan dengan penegasan Syaikh
Ibn Taimiyyah
al-Hanbali (w. 728 H) dalam kitab-kitabnya
menegaskan poin-poin berikut ini menyoal kedudukan Khilafah dalam hukum Islam:
- Kewajiban menegakkan al-Imâmah/al-Khilâfah termasuk seagung-agungnya kewajiban (min a’zhâm wâjibât al-dîn);[2]
- Berjuang menegakkan al-Imâmah/al-Khilâfah termasuk
taqarrub
yang paling utama (min afdhal al-qurbât);[3]
- Berjuang menegakkan al-Imâmah/al-Khilâfah termasuk amal shalih yang paling utama (min afdhal a’mâl al-shâlihat).
Sebagaimana Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menegaskan bahwa
penegakkan Khilafah sebagai afdhal al-’ibadat (seutama-utamanya ibadah), dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah, jika tugas kekhilafahan tersebut
ditunaikan sesuai petunjuk syari’at: adil dan ikhlas. Al-Ghazali ketika
menjelaskan hadits (ثلاثة لا ترد
دعوتهم الإمام العادل), dinukil oleh Imam al-Munawi
al-Qahiri (w. 1031 H) menjelaskan:
فيه أن الإمارة والخلافة من أفضل
العبادات إذا كانتا مع العدل والإخلاص
Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa persoalan kepemimpinan
dan Khilafah termasuk seutama-utamanya ibadah, jika keduanya ditegakkan dengan
keadilan dan niat ikhlash.[4]
Hingga kefardhuan menegakkan Khilafah pun ditegaskan
sebagai ijma’ ulama ahlus sunnah wa al-jama’ah. Hal itu wajar, mengingat para
sahabat dalam perisitiwa agung Saqifah Bani Sa’idah jelas lebih mendahulukan
pengangkatan Khalifah daripada pemakaman jenazah Rasulullah ﷺ, padahal siapa
yang lebih mencintai dan mengenal Rasulullah ﷺ selain mereka? Tidak ada yang bisa
menandingi kecintaan dan pembelaan mereka terhadap Rasulullah ﷺ dan
perjuangannya. Siapa pula yang tidak paham bahwa memakamkan jenazah bagian dari
kefardhuan kifayah, namun bisa ditunda karena lebih mendahulukan urusan
Khilafah?
Sikap ini menjadi bukti paling kokoh yang menggugurkan
kedustaan orang-orang yang terpedaya, menyepelekan persoalan al-imâmah dan
al-khilâfah dalam Islam. Mengingat sikap agung para sahabat ini, jelas
menunjukkan pentingnya keberadaan khilafah bagi generasi salaf al-ummah, sebaik-baiknya
generasi umat ini, yakni para sahabat Rasulullah ﷺ. Terang
benderang ditunjukkan dalam bentuk perbuatan yang tak mungkin bisa dipungkiri
oleh mereka yang berakal pikiran.
Tak ada satupun di antara para sahabat yang mengingkari
perbuatan ini, hingga dinilai para ulama sebagai ijma’ (konsensus) mereka –radhiyâLlahu
’anhum-. Sekaligus menjadi dalil ijma’ sahabat atas kefardhuan menegakkan
Khilafah, mengangkat Khalifah, mengingat pengurusan dan pemakaman jenazah
adalah fardhu kifayah yang dituntut untuk disegerakan, namun ditunda untuk
urusan kepemimpinan (Khilafah), menunjukkan bahwa kefardhuan penegakkan
Khilafah lebih besar daripada pengurusan jenazah dan pemakamannya.[5]
Salah seorang ulama besar yang
pendapatnya sering dinukil para ulama mu’tabar setelahnya semisal al-Hafizh
al-Nawawi, yakni Imam al-Khaththabi (w. 388 H) dalam satu bab khusus (ومن باب الخليفة
يستخلف) menjelaskan:
Oleh karena itulah para sahabat
pada hari wafatnya Rasulullah ﷺ belum melakukan hal apapun
untuk pemakaman jenazah beliau ﷺ dan
pengurusannya hingga mereka berhasil menegakkan perintah bai’at dan mengangkat
Abu Bakar sebagai Imam dan Khalifah dan mereka –sahabat- menjulukinya dengan
julukan Khalifatu Rasûlillâh ﷺ sepanjang masa hidupnya.[6]
Maka relevan jika Imam al-Khaththabi (w. 388 H) setelah menyebutkan
dalil ijma’ sahabat ini pun menegaskan kewajiban menegakkan Khilafah dengan
bahasa sharîh, sangat jelas, tidak samar bagi mereka yang berakal dan
masih jeli pandangan matanya, al-Khaththabi menegaskan:
وذلك من أدل الدليل على وجوب الخلافة وأنه لا بد للناس من
إمام يقوم بأمر الناس ويمضي فيهم أحكام الله ويردعهم عن الشر ويمنعهم من التظالم
والتفاسد
Dan dalil tersebut (ijma’ sahabat) merupakan
sejelas-jelasnya dalil atas wajibnya menegakkan al-Khilafah dan bahwa harus ada
seorang Imam (Khalifah-pen.) bagi masyarakat yang berdiri memerintah
masyarakat, mengatur mereka dengan hukum-hukum Allah, menjauhkan mereka dari
keburukan, menghalangi mereka dari perbuatan saling menzhalimi dan saling
merusak.[7]
Di akhir penjelasannya,
Al-Khaththabi pun menegaskan:
وكل ذلك يدل
على وجوب الاستخلاف ونصب الإمام
“Dan itu semua menunjukkan atas
wajibnya mengangkat pengganti khalifah dan mengangkat al-Imam (al-Khalifah).”[8]
Menariknya, Imam Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya
menegaskan bahwa ijma’ wajibnya menegakkan kekhilafahan merupakan ijma’ sahabat
dan tabi’in. Adapun Imam
al-Syahrastani dalam Nihâyat al-Iqdâm fî ’Ilm al-Kalâm bahkan
menegaskan:
الإجماع على هذا الوجه دليل قاطع على وجوب الإمامة
Ijma’
sahabat atas pendapat ini, menjadi dalil pasti wajibnya al-imâmah.
Di samping uraian para ulama di atas, ada pula jajaran
para ulama terkemuka lainnya yang menegaskan pendalilan ijma’ sahabat ini, di
antaranya al-Qadhi al-Imam
al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H) dalam Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (I/15); al-Hafizh
al-Nawawi al-Syafi’i (w. 676 H) dalam Raudhat al-Thâlibîn wa
‘Umdat al-Muftîn (X/42); al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam
Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (I/264)[9], begitu pula Imam
al-Iji (w. 756 H) dalam Al-Mawâqif (III/574)[10],
dan banyak lagi lainnya. Dimana
menurut Imam al-Iji (w. 756H), ijma’ para sahabat (generasi awal) ini yang
melarang adanya kekosongan waktu dari seorang pemimpin, telah diriwayatkan
secara mutawatir (pasti), sehingga tidak menyisakan sedikit pun ruang
keraguan atasnya.
Penjelasan para ulama ini pun diaminkan oleh para ulama mu’ashirin,
di antaranya al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, al-’Allamah ’Abdul Qadim
Zallum, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, dan lainnya, termasuk
Syaikh al-Muthi’i dalam penjelasannya atas al-Majmû’ karya al-Hafizh
al-Nawawi, ketika membantah pendapat kontroversial yang menafikan kewajiban
mengangkat khalifah, ia menegaskan:
أن
الصحابة رضى الله عنهم اجتمعوا على نصب
الامام
Para sahabat r.a.
bersepakat atas wajibnya mengangkat al-Imâm (Khalifah).[11]
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
- Dalil Kebakuan Khilafah [II]: Ijma' Ahlus Sunnah Wajibnya Kesatuan Khilafah: Link Kajian
- Koreksi Atas Klaim Irwan Masduqi Menyoal Ijma': Link Kajian
[1] Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar
Al-Haitami, Al-Shawâ’iq al-Muhriqah ‘ala Ahl al-Rafdh wa
al-Dhalâl wa al-Zindiqah, Beirut: Mu’assasat al-Risalah, cet. I, 1417 H, hlm. 7
[3] Ibid, hlm. 392.
[4] Abdurra’uf bin Taj al-‘Arifin al-Munawi, Faydh al-Qadîr, Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1415 H, juz III, hlm. 427.
[5] Pengurusan jenazah Rasulullah ﷺ ketika itu diserahkan
kepada Ali bin Abi Thalib r.a. dan keluarganya.
[6] Abu Sulaiman al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan, Halb: Al-Mathba’ah
al-‘Ilmiyyah, cet. I. 1351 H, juz III, hlm. 6
[9] Kesimpulan hukum al-Hafizh al-Qurthubi ini dalam tafsirnya Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân (I/264), dinukil pula oleh Syaikh Muhammad
al-Amin al-Syanqithi dalam tafsir Adhwâ’ al-Bayân fî Îdhâh al-Qur’ân
bi al-Qur’ân (I/21) dan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir Al-Munîr
(I/129).
[11] Muhammad
Najib Al-Muthi’i, Takmilah Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz
XIX, hlm. 191.
Comments
Post a Comment