Ijma’ Sahabat &
Ulama Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah:
Wajibnya Mengangkat Satu Khalifah Untuk Satu
Masa
Oleh: Irfan Abu Naveed
[Penulis Buku "Konsep Baku Khilafah Islamiyyah"]
Islam mewajibkan kaum Muslim
menegakkan Khilafah sebagai institusi pemersatu kalimat kaum Muslim,
sebagaimana Islam pun mengharamkan segala tindak tanduk yang bisa memecah belah
jama’ah kaum Muslim, seperti bughat (pemberontakan) atas Khilafah. Hal
itu banyak diuraikan para ulama dalam turats mereka terkait al-siyâsah
al-syar’iyyah. Dalam atsarnya, Ibn Mas’ud r.a. berkata dalam khutbah-nya:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَالْجَمَاعَةِ،
فَإِنَّهَا حَبْلُ اللَّهِ الَّذِي أَمَرَ بِهِ، وَمَا تَكْرَهُونَ فِي
الْجَمَاعَةِ خَيْرٌ مِمَّا تُحِبُّونَ فِي الْفُرْقَةِ»
“Wahai manusia, kalian wajib
berpegang teguh pada keta’atan dan al-jama’ah, karena sesungguhnya ia
adalah tali Allah dimana Allah memerintahkan untuk (berpegangteguh) padanya,
apa-apa yang kalian benci ada pada al-jama’ah, lebih baik daripada
apa-apa yang kalian cintai di atas perpecahan.”[1]
Diperkuat dalil-dalil
hadits wajibnya kesatuan kepemimpinan Khalifah dalam satu masa. Sebagaimana
ditegaskan para ulama, termasuk Imam al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H) dalam Adab al-Dunyâ’ wa al-Dîn, dan Al-Ahkâm
al-Sulthâniyyah. Imam al-Mawardi al-Syafi’i misalnya menuturkan:
فَأَمَّا إقَامَةُ إمَامَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ فِي عَصْرٍ
وَاحِدٍ، وَبَلَدٍ وَاحِدٍ فَلاَ يَجُوزُ إجْمَاعًا
“Adapun mengangkat
dua orang penguasa atau tiga orang (atau lebih) dalam satu masa dan satu negeri
maka tidak diperbolehkan secara ijma’.”[2]
Didasarkan pada hadits-hadits terkait bai’at, Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذا بُويِعَ لخليفتين ، فَاقْتُلُوا الآخر
مِنْهُمَا»
“Jika
telah dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)
Mengomentari hadits ini, Syaikh Abdullah al-Dumaiji menjelaskan bahwa
perintah untuk menghukum mati orang lain (yang dibai’at kedua kalinya tatkala
sudah ada khalifah pertama yang sah), menunjukkan keharaman mengangkat dua
pemimpin (khalifah) dalam satu masa, mengingat hukuman mati tidak diterapkan
kecuali atas perkara besar yang telah diketahui bahayanya. Oleh karena itu
tidak boleh menegakkan bai’at kepada dua orang khalifah pada satu masa.[3]
Dalam hadits lainnya dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah ﷺ
bersabda:
«كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي ، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ»
“Adalah bani Israil,
urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh
nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para
Khalîfah yang banyak. Lalu apa yang engkau perintahkan kepada Kami? ”
Lantas para sahabat
bertanya, “Lantas, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Rasulullah ﷺ menjawab:
«فُوا
بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ ، فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»
“Peganglah bai’at yang pertama, yang pertama,
dan berikanlah kepada mereka hak-hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan
menanyai mereka atas apa yang mereka pimpin.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Menjelaskan
hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi’i (w. 676 H) menegaskan: Makna hadits ini adalah apabila
terjadi bai'at untuk seorang khalifah setelah (sebelumnya dibai’at) khalifah,
maka bai’at yang pertama yang benar, dan wajib mencukupkan diri dengan bai’at
tersebut. Sedangkan bai’at yang kedua adalah batil dan haram mencukupkan diri
dengannya. Dan haram atas yang kedua menuntut bai’at, sama saja apakah ia tahu
ataupun tidak terhadap bai’at yang pertama. Baik mereka berdua di dua negeri
atau pada satu negeri, atau salah satu dari keduanya berada di negerinya yang
(posisinya) terpisah sedangkan yang lain di luar negeri. Inilah yang benar
dimana sahabat-sahabat kami di dalamnya, begitu pula mayoritas ulama.[4]
Khalifah yang satu
merupakan kewajiban yang mesti diupayakan, wajib satu untuk seluruh dunia. Imam
Al-Syafi’i (w. 204 H) menegaskan:
هكذا كانت كتب خلفائه بعده وعمالُهم وما أجمع المسلمون عليه: من أن يكون
الخليفة واحداً والقاضي واحدٌ والأمير واحدٌ والإمامُ فاستخلفوا أبا بكر ثم استخلف
أبو بكر عمرَ ثم عمرُ أهلَ الشورى ليختاروا واحداً فاختار عبدُ الرحمن عثمانَ بن
عفان.
Demikianlah ketetapan
para Khalifah setelah beliau dan para ‘Amil mereka serta kaum muslimin
beri-Ijma’ mengenainya bahwa Khalifah itu satu, Qadhi itu satu, dan Amir itu
satu, serta Imam maka mereka memilih Abu Bakar sebagai Khalifah kemudian Abu
Bakar memilih Umar kemudian Umar memilih Ahli Syura untuk memilih satu orang
lalu Abdurahman ibn ‘Auf memilih Utsman.[5]
Imam Al-Syafi’i (w. 204 H) pun menegaskan:
وسواء كان إحدى غنمه بالمشرق والأخرى بالمغرب في طاعة خليفة واحد أو طاعة واليين متفرقين
إنما تجب عليه الصدقة بنفسه في ملكه لا بواليه
Sama saja salah satu
kambingnya di Timur dan yang lainnya di Barat dalam ketaatan Khalifah yang
satu atau ketaatan 2 (dua) Wali yang berbeda, wajib baginya hanya
sedekah/zakat oleh dirinya pada (harta) miliknya bukan berdasarkan Wali-nya.[6]
Al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi’i (w. 676 H),
ulama besar rujukan (mu’tamad) dalam madzhab syafi’i menegaskan:
لا يجوز نصب إمامين في وقت واحد وإن تباعد إقليماهما
“Tidak boleh ada
pengangkatan dua orang Imam pada waktu yang sama, sekalipun kedua negerinya
berjauhan.”[7]
Syaikhul Islam Ibn Hajar al-Haitami al-Syafi’I
(w. 974 H) pun menegaskan hal senada:
لا يجوز عقدها لاثنين في وقت واحد ثم إن ترتبا يقينا تعين
الأول وإلا بطلا
Tidak boleh mengakadkan
Imamah kepada dua orang dalam satu waktu kemudian jika terjadi akadnya
berurutan secara yakin, maka terpilihlah yang pertama, namun jika tidak (yakin)
maka batal keduanya.[8]
Penjelasan para ulama di atas, sudah sangat
jelas menegaskan adanya kebakuan salah satu format sistem pemerintahan Islam,
tidak boleh ada dua orang khalifah dalam satu masa. Apakah layak disamarkan
dengan klaim sepihak tak berbobot ilmu, “tak ada kebakuan sistem Khilafah”
padahal sudah sedemikian jelasnya?!
[1] Atsar ini diriwayatkan oleh Imam
al-Ajurri dalam al-Syarî’ah. Abu Bakar Muhammad bin al-Husain al-Ajurri, Al-Syarî’ah, Ed:
Dr. Abdullah bin Umar al-Dumaiji, Riyadh: Dar al-Wathan, cet. II, 1420 H, juz I, hlm. 298.
[2] Abu al-Hasan ‘Ali bin
Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Syafi’i, Adab al-Dunyâ’ wa
al-Dîn, Dar
Maktabat al-Hayah, 1986, hlm. 136.
[4] Abu
Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh
Shahîh Muslim, juz XII, hlm. 231.
[5] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risâlah, Ed: Rif’at
Fauzi ‘Abdul Muthallib, Al-Manshurah: Dar al-Wafa’, cet. I, 1422 H, hlm. 193.
[6] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1410 H, juz II, hlm. 21.
[7] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Raudhat
al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, Ed: Zuhair al-Syawisy, Beirut: Al-Maktab
al-Islami, cet. III, 1412 H, juz X, hlm. 47.
[8] Ahmad bin Muhammad Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtâj fî
Syarh al-Minhâj, Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyyah Al-Kubra 1357
H, juz IX, hlm. 78.
Comments
Post a Comment