Kajian Hadits: Man Ahya Sunnati
Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
S
|
alah satu dalil al-Sunnah, yang
secara indah menggambarkan besarnya pahala menghidupkan sunnah, termasuk di
antaranya sunnah baginda Rasulullah ﷺ dalam hal kepemimpinan umat (imamah) adalah hadits dari Anas
bin Malik r.a., Rasulullah ﷺ
bersabda:
«مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي
كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ»
“Barangsiapa yang
menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja yang
mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR. Al-Tirmidzi,
al-Marwazi, al-Thabarani, al-Lalika’i, Ibn Baththah dan Ibn Syahin)
Keterangan Singkat
Hadits
HR. Al-Tirmidzi
dalam Sunan-nya (no. 2678, bab بَابُ مَا جَاءَ فِي الأَخْذِ
بِالسُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ البِدَعِ), ia berkata: “Hadits
ini hasan gharib dari jalur ini.”; Abu Abdillah al-Marwazi dalam Ta’zhîm
Qadr al-Shalât (no. 714); Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath (no.
9439); Al-Lalika’i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (no.
8); Ibn Baththah dalam al-Ibânah al-Kubrâ (no. 51); Ibn Syahin dalam Al-Targhîb
fi Fadha’il al-A’mal (no. 527).
A.
Faidah Bag. I: Bukti Cinta Pada Baginda
Rasulullah ﷺ: Menghidupkan
Sunnah
Hadits yang agung ini, mengandung informasi berharga bagi
mereka yang mengaku mencintai Sayyid al-Mursalîn Muhammad al-Mushthafa ﷺ, mengingat
hadits yang agung ini mengandung petunjuk dari beliau ﷺ, berkaitan
dengan cara membuktikan kecintaan tersebut, berikut ganjaran dari Allah bagi siapa saja
yang benar-benar membuktikan cintanya.
Istimewanya,
hadits yang agung di atas diungkapkan Rasulullah ﷺ dalam bentuk kalimat syarat (jumlah syarthiyyah),
dimana syarat harus senantiasa melekat dan mengiringi apa yang menjadi objek
(jawab) syarat[2], sebagaimana
diuraikan ulama pakar bahasa, Imam Abu Hilal al-Askari (w. 395 H), ditandai
dengan adanya huruf man dan fa jawab syarat, dimana dalam hadits
ini terdapat petunjuk:
Menghidupkan
sunnah nabi ﷺ adalah syarat
mencintainya, berdasarkan ungkapan (مَنْ
أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي), dimana informasi (khabar) agung ini pun diungkapkan
Rasulullah ﷺ dengan
penegasan berupa huruf qad di depan kata kerja lampau (al-fi’l
al-madhi), yang berfaidah menafikan adanya keraguan atas kebenaran
informasi tersebut, kebenaran cinta bagi siapa saja yang menghidupkan sunnah Nabi
ﷺ.
Kata kerja ahya dalam ungkapan (مَنْ
أَحْيَا سُنَّتِي), berkonotasi “menghidupkan”, yakni dengan
mengamalkan sunnah tersebut.[3] Syaikh Abdurrahman al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
menegaskan, yakni dengan mengunggulkannya dan menyebarkannya dengan perkataan
atau perbuatan.[4]
Namun penjelasan lebih terperinci, diuraikan Imam Izzuddin
al-Shan’ani (w. 1182 H) bahwa menghidupkan sunnah, terwujud dengan mengamalkannya, menyiarkannya, dan menafikan penyimpangan
kaum yang menyimpang atasnya.[5] Sehingga taujih nabawi ini menunjukkan secara
jelas, motivasi yang kuat bagi setiap hamba Allah yang mengaku
cinta pada nabi ﷺ, untuk
mempelajari sunnahnya, mengamalkannya, menyiarkannya serta membelanya dari
penyimpangan kaum sesat dengan meluruskan penyimpangannya, sesuatu yang lazim
dilakukan oleh seseorang yang mengaku mencintai sesuatu, sebagai pembuktian
bagi pengakuan cintanya.
Kata sunnati, berkonotasi thariqi, yakni
jalan hidupku,[6] mencakup seluruh ajaran-ajaran yang beliau gariskan
untuk umatnya, baik berupa ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi’liyyah)
yang dicontohkan Rasulullah ﷺ bagi umatnya. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menguraikan:
Sunnah asalnya
bermakna thariqah (metode) dan sirah (jalan hidup), dan disebutan
secara syar’i, yang dimaksud dengannya adalah apa-apa yang Nabi ﷺ perintahkan,
dan beliau ﷺ larang, serta puji baik berupa perkataan, maupun perbuatan,
selain ungkapan ayat al-Qur’an.[7]
Dimana gambaran
hidup Rasulullah ﷺ, menggambarkan
keteladanan praktis penegakkan Islam secara totalitas (kâffah) dalam
seluruh aspek kehidupan, dari mulai kehidupan pribadi, keluarga, hingga
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari mulai perkara syahadat dan shalat,
hingga urusan imamah dan siyasah. Artinya, terang benderang
adanya SUNNAH IMAMAH, yakni sunnah dalam persoalan kepemimpinan yang telah
diwariskan baginda Rasulullah ﷺ.
B.
Faidah Bag. II: Ganjaran Mencinta
Baginda Rasulullah ﷺ: Meraih
Jannah-Nya
Dalam hadits
yang agung ini pun terdapat petunjuk agung ganjaran dari mencintai Rasulullah ﷺ, bahwa ia menjadi syarat meraih jannah-Nya,
sebagaimana Rasulullah ﷺ memasukinya, berdasarkan
ungkapan (مَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي
الْجَنَّةِ).
Kalimat
siapa saja yang mencintaiku (مَنْ
أحَّنِي), berkonotasi mencintai Rasulullah ﷺ dan sunnahnya, menjadi pertanda kecintaan terhadapnya,
sebagaimana cinta membutuhkan pembuktian dan bukti cinta kepada Rasulullah ﷺ adalah menegakkan sunnahnya. Dimana hal tersebut diganjar Allah
–Ta’âlâ- dengan surga-Nya, sebagaimana
Rasulullah ﷺ memasukinya.
Diungkapkan dengan ungkapan kata kerja lampau (كَانَ), sebagai penekanan kepastian ganjaran tersebut bagi mereka
yang memenuhi syarat agung ini.
Imam Izzuddin al-Shan’ani menguraikan makna (فَقَدْ
أَحَبَّنِي), yakni benar-benar cinta kepada Rasulullah ﷺ, karena sesungguhnya siapa saja yang mencintai seseorang, maka
ia akan bertingkah laku seperti pihak yang dicintainya, maka tanda cinta
seseorang kepada Rasulullah ﷺ adalah
bertingkah laku sesuai sunnahnya, menolong sunnahnya, serta menyeru manusia kepadanya.[8]
Dimana Al-Shan’ani lalu menegaskan, “Siapa saja yang
mengaku mencintai Rasulullah ﷺ namun tidak
menegakkan sunnahnya, maka pengakuan tersebut adalah pengakuan dusta, dan
angan-angan batil semata.”[9]
Padahal
mencintai Rasulullah ﷺ merupakan
tuntutan keimanan dan sifat yang terpuji. Al-‘Allamah al-Syaikh Nawawi
al-Bantani al-Syafi’i (w. 1314 H) menguraikan bahwa cinta kepada Rasulullah ﷺ termasuk sifat yang terpuji, berdasarkan hadits dari Anas
bin Malik r.a., dari Nabi ﷺ bersabda:
«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا»
“Tidak beriman salah satu di antara kamu, hingga
menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada kepada selain
keduanya.” (HR. Ahmad,
al-Bazzar)[10]
Frasa
(لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ) berkonotasi tidak beriman dengan iman yang sempurna (îmân[an]
kâmil[an]), yang menunjukkan kesempurnaan iman dibuktikan dengan menjadikan
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya, dimana kecintaan
terhadap Allah dan Rasul-Nya, dibuktikan dengan cara ittiba’ terhadap
Rasulullah ﷺ:
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ {٣١}
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Âli Imrân [3]: 31)
[1] Penulis Buku “Konsep Baku Khilafah Islamiyyah”, Dosen yang
aktif mengajar mata kuliah Fikih Siyasah/Bahasa Arab/Manthiq, dan aktif dalam
kajian-kajian tafsir-balaghah al-Qur’an & Hadits-Hadits Nabawiyyah.
Website: www.irfanabunaveed.net e-mail: irfanabunaveed@gmail.com
[2] Abu Hilal al-Hasan bin Abdullah al-‘Askari, Mu’jam al-Furûq
al-Lughawiyyah, Mu’assasat al-Nasyr al-Islâmi, cet. I, 1424 H, hlm. 271.
[3] Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, India: Idarat al-Buhuts
al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1404 H, hlm. 281.
[4] Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi’
al-Tirmidzi, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz VII, hlm. 371.
[5] Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, cet. I, 1432 H, juz X,
hlm. 55.
[6] Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, India: Idarat al-Buhuts
al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1404 H, hlm. 281.
[7] Majduddin Abu al-Sa’adat Al-Mubarak Ibn al-Atsir, Al-Nihâyah
fi Gharib al-Hadîts, Beirut:
Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399 H, juz II, hlm. 409.
[8] Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwir
Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz X, hlm. 55.
[9] Ibid.
[10] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no.
13151) Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari “Sanadnya shahih sesuai
syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim)”; Al-Bazzar dalam Musnad-nya
(no. 7540).
Comments
Post a Comment