Kajian Hadits: Sunan Man Kâna Qablakum
Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
S
|
alah satu dalil al-Sunnah, yang
secara tegas melarang kaum Muslim menyimpang dari sunnah beliau ﷺ, mencakup sunnah imâmah (kepemimpinan dan
pemerintahan), dengan mengambil jalan kaum yang tidak beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, yang tersesat dari jalan-Nya sebagai rujukan. Salah
satunya hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., ia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَتَتَّبِعُنَّ سنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا
بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ
لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ»
“Sungguh kamu mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga salah seorang dari mereka
masuk lubang dhabb (kadal gurun) pun sungguh kamu mengikutinya.”
Para sahabat lantas bertanya:
يَا رَسُولَ اللهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟
“Apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani?”
Rasulullah ﷺ menjawab:
«فَمَنْ»
“Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Hadits ini
diantaranya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 3269);
Muslim dalam Shahîh-nya, bab. Ittibâ’ Sunan al-Yahûdi wa al-Nashârâ;
Ahmad dalam Musnad-nya (no. 11861), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth
mengomentari: “Isnad-nya shahih sesuai syarat syaikhain (al-Bukhari dan Muslim)”,
dalam riwayat Imam Ahmad lainnya, hadits dari Abu Hurairah r.a. (no. 8322),
terdapat tambahan kalimat sumpah: [والذي نفسي بيده], dimana Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya
shahih sesuai syarat Imam Muslim, para perawinya perawi Syaikhain (al-Bukhari
dan Muslim), kecuali Muhammad bin Zaid, maka ia termasuk perawi Imam Muslim.”
A.
Faidah Bag. I:
Hadits Khabar yang Mu'akkad (Ditegaskan) Kebenaran Informasi di Dalamnya
Hadits ini hadits khabar (informasi)
yang diungkapkan dengan kalimat sumpah (qasam), ditandai dengan adanya huruf lam
penanda jawab sumpah, diperjelas dalam riwayat Imam Ahmad yang mengandung
tambahan redaksi:
والذي نفسي بيده
“Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya”
Dalam ilmu balaghah, kalimat ini merupakan kinâyah dari
kalimat sumpah waLlâhi (Demi Allah). Sedangkan dalam riwayat lainnya,
tanpa disertai ungkapan sumpah tersebut, dalam ilmu bahasa arab, redaksi
seperti itu tidak salah, masih dalam kaidah bahasa arab, artinya masih dalam
wilayah kaidah fashihah, bahkan dalam perspektif ilmu balaghah, bentuk ungkapan
qasam yang dihilangkan tersebut, termasuk bentuk ringkasan yang memiliki
faidah (al-îjâz bi al-hadzf) yakni menekankan pada gagasan inti
informasi di dalamnya. Ungkapan qasam tersebut diikuti oleh huruf lam
penanda jawab sumpah (lâm jawâb al-qasam) pada frasa: لتتّبعنّ (latattabi’anna).
Diikuti dengan bentuk penegasan yang kedua, berupa huruf nûn taukîd al-tsaqîlah. Fungsi
penegasan-penegasan ini memberi arti sangat serius dan menuntut keseriusan,
dalam ilmu balaghah dua bentuk penegasan ini menafikan adanya keraguan dan
pengingkaran atas kebenaran informasi di dalamnya, ia dinamakan al-khabar
al-inkâri, artinya menuntut pembenaran, tidak menyisakan adanya keraguan
dan pengingkaran padanya, yakni kebenaran bahwa akan ada kaum Muslim yang
mengikuti ajaran-ajaran kaum Kuffar, dan ini merupakan peringatan keras yang
sudah seharusnya diperhatikan, untuk diwaspadai dan dijauhi.
Imam
Abu Sa’id al-Khadimi al-Hanafi (w. 1156 H) menjelaskan bahwa mempelajari
kemungkaran-kemungkaran itu boleh (bahkan wajib-pen.) untuk mencegah darinya
bukan untuk cenderung padanya.[2] Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)
menegaskan bahwa (salah satu) pokok agama adalah mencegah dari keburukan, mereka
pun menyebutkan sya’ir:
عرفتُ الشرّ لا
للشرّ * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف
الشرّ * من الناس يقع فيه
“Aku mengetahui
keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri darinya.”
“Dan barangsiapa
tidak mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus ke
dalamnya.”[3]
B.
Faidah Bag. II: Mengandung
Peringatan Keras Agar Tidak Meniti Sunnah Kaum Kuffar, Mencakup Persoalan
Kepemimpinan
Al-Mulla’ Ali al-Qari (w. 1014 H) menjelaskan makna sunan
(سُنَنَ) yakni
jalan hidup, manhaj dan perbuatan mereka[4], menariknya
lafal sunan untuk menggambarkan adanya konsep khusus kaum Kuffar
berkenaan dengan kehidupan, diungkapkan dalam bentuk jamak, menunjukkan bahwa
jalan kebatilan itu beragam, banyak, tidak hanya satu jalan. Lain halnya dengan
sunnah yang dinisbatkan pada sunnah baginda Rasulullah ﷺ dan para
Khulafa’ Rasyidun yang diungkapkan dalam bentuk lafal tunggal, menunjukkan
kesatuan jalan kebenaran. Al-Imam
al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H)
menuturkan:
السنن: الطريق، وما ذكره
من الشبر والذراع ودخول الجُحْرِ تمثيل للاقتداء بهم شيئاً شيئاً. هذا فيما نهى
الشرع عنه وذمه من أمرهم وحالهم.
Al-Sunan:
jalan, apa yang hadits ini sebutkan “al-syibr wa al-dzira’” dan masuk ke dalam lubang, itu semua merupakan
perumpamaan sikap mereka yang mengikuti kaum Kuffar sedikit demi sedikit, ini
merupakan hal yang telah syari’at larang dan cela, atas perkara dan keadaan
mereka.[5]
Dalam hal ini, pemikiran maupun metode pemerintahan,
jelas termasuk sunnah itu sendiri, ketika itu semua dibangun di atas landasan
akidah kufur, maka jelas termasuk manhaj, jalan hidup yang khas lahir dari
suatu peradaban. Sehingga dipahami bahwa hadits ini mengandung larangan, sebagaimana
ditegaskan oleh al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H)[6],
karena terdapat celaan atas perbuatan mengikuti manhaj dan pola pikir orang
kafir.
Hadits ini mengandung indikasi larangan, sebagaimana
ditegaskan oleh al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani[7],
karena terdapat celaan atas perbuatan
mengikuti manhaj dan pola pikir orang kafir pada kalimat (لَوْ أَنَّ
أَحَدَهُمْ دَخَلَ جُحْرَ ضَبٍّ
لَدَخَلْتُمْ). Dalam ilmu
balaghah (ilmu bayan), hadits ini mengandung bentuk al-isti’ârah, jenis al-isti’ârah
al-tamtsîliyyah, berupa ungkapan (حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي
جُحْرِ ضَبٍّ), pengungkapan
sesuatu dengan meminjam istilah lain yang sifatnya tamtsil (perumpamaan), jelas
termasuk bentuk majazi, bukan haqiqi, karena manusia tidak
mungkin bisa memasuki lubang kecil kadal gurun.
Apa faidahnya? Bentuk kiasan (majazi) ini
memudahkan orang yang menyimaknya memahami gagasan inti di balik pesan tersebut,
yang sebelumnya bersifat ma’nawi menjadi sesuatu yang terindera (mahsuusah),
dengan pesan yang menggugah dan membekas dalam benaknya, dalam hal ini terutama
ditujukan kepada orang beriman.
Diperjelas peringatan hadits lainnya, dari Abu Hurairah
r.a., Nabi ﷺ bersabda:
«لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ»
”Tidak selayaknya seorang mukmin dipatuk ular dari lubang
yang sama sebanyak dua kali.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Hadits ini mengandung pelajaran agung nan penting,
diungkapkan dengan ungkapan majazi, mengumpamakan perbuatan mukmin yang
terjerumus pada kesalahan yang sama, dengan ungkapan lâ yuldaghu dan juhr
wâhid. Manusia mana yang bersedia disengat ular berbisa? Tidak ada, maka
ungkapan majazi dalam hadits ini sudah seharusnya berpengaruh kuat
terhadap benak seseorang yang beriman untuk menjauhi kesalahan, dan tidak
terjerumus lagi pada kesalahan yang sama.
C.
Faidah Bag. III: Dalil-Dalil
yang Mengandung Peringatan Keras Agar Tidak Meniti Sunnah Kaum Kuffar
Al-’Allamah
Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H) pun
memperingatkan, bahwa tsaqafah asing (barat) memiliki pengaruh yang besar dalam
menyebarkan kekufuran dan imperialisme, tidak adanya keberhasilan dalam meraih
kebangkitan, kegagalan gerakan-gerakan terorganisir, sama saja apakah gerakan
sosial maupun politik, karena tsaqafah memiliki pengaruh yang besar terhadap
pemikiran manusia, yang berpengaruh terhadap jalannya kehidupan.[8] Bahkan penjajah tak sekedar menggunakan tsaqafah, mereka pun meracuni kaum Muslim
dengan beragam pemikiran dan pandangan di bidang politik dan falsafah, yang
merusak pandangan hidup kaum Muslim. Dengan itu mereka merusak suasana Islami
yang ada, serta mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala lini kehidupan.
Dengan itu semua, hilang benteng pertahanan kaum Muslim yang alami.[9]
Dalam konteks politik, pemikiran kufur Barat melahirkan
pemerintahan sekular yang memarjinalkan peran agama dalam pengaturan kehidupan
(politik), atau dengan kata lain menjauhkan penerapan syari’ah dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, memecah belah kaum Muslim dalam sekat-sekat Nation
State warisan penjajah, dan tunduk di bawah arahan kaum kafir Barat, hal
itu karena kaum kafir Barat, sebagaimana diungkapkan al-’Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani (w. 1397 H), berusaha agar para politikus atau orang yang bergerak
dalam bidang politik mengarahkan pandangannya berkiblat pada perbuatan meminta
bantuan Barat dan menyerahkan segala urusan kepadanya.[10]
Bagaikan virus dan bakteri yang tumbuh cepat pada tempat
yang tepat, tsaqafah dan pemikiran kufur Barat pun tumbuh subur bak cendawan di
musim penghujan dalam sistem jahiliyyah Demokrasi[11], bagaimana tidak?
Pertama, Sistem
jahiliyyah Demokrasi yang tegak di atas asas sekularisme, telah memaksa kaum
Muslim memisahkan Islam dari pengaturan urusan publik. Islam dimarjinalkan para
persoalan privat, mengatur wilayah ritual peribadatan semata. Sedangkan
pengaturan urusan kehidupan, diserahkan kepada manusia (secularism),
diwakili mereka yang duduk di majelis-majelis perwakilan rakyat, yang diberi
kewenangan luas merumuskan dan menetapkan hukum, meskipun hukum tersebut
menyelisihi Islam.
Kedua, Sistem
jahiliyyah Demokrasi, tegak dengan pilar-pilar kebebasan. Prinsip kebebasan, tidak terpisahkan dari Demokrasi, karena
tegaknya Demokrasi sedikitnya menuntut 4
prasyarat kebebasan[12]: kebebasan beragama (freedom of Religion),
kebebasan berpikir dan berpendapat (freedom of speech), kebebasan
kepemilikan (freedom of ownerships), kebebasan berekspresi/ berprilaku (freedom
of personality).
Dalam artikel United Nation berjudul Democracy And
Human Rights dituliskan: “The values of freedom, respect for human
rights and the principle of holding periodic and genuine elections by universal
suffrage are essential elements of democracy.” (Tingkat kebebasan, respon
terhadap hak asasi manusia, prinsip kepemimpinan periodik, dan pemilu yang
bersih berdasarkan hak pilih universal merupakan elemen esensi dari Demokrasi)
Dalam realisasinya, kebebasan tersebut mencakup kebebasan
melakukan berbagai hal, termasuk perkara yang menyelisihi Islam, tergambar pula
dalam sepak terjang kaum liberal yang seringkali menyuarakan suara sumbang
menyerang ajaran Islam. Maka
terang benderang, betapa besar bahaya dan dampak kesesatan peradaban Barat,
sehingga tak mengherankan jika para ulama berjibaku memperingatkan kaum Muslim dari
berbagai paham kufur mereka.
Maka jelas bahwa tegaknya Peradaban Barat yang tumbuh
subur dalam naungan sistem jahiliyyah Demokrasi, membidani lahirnya persoalan
utama kaum Muslim (qadhiyyah mashîriyyah), ketika kaum Muslim hidup
terjajah dalam naungan sistem kufur Demokrasi, tersebarnya kebatilan dan
kemungkaran, terabaikannya penerapan hukum-hukum Islam dalam kehidupan publik.
Padahal Allah telah
mengancam orang-orang Islam yang menyalahi jalan Rasulullah ﷺ dengan ancaman musibah dan azab yang pedih (QS. Al-Nûr [24]:
63), Allah pun berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا {١١٥}
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
datang kepadanya petunjuk dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman.
Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan
mengikuti jalan orang-orang kafir) kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)
Ancaman serius dalam kalimat: “Kami biarkan ia
leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan
orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret ke dalam jahannam”, jelas
merupakan kerugian dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan peringatan dalam firman-Nya QS. Âli Imrân [3]: 85, dan peringatan balasan berupa penghidupan yang sempit, tidak ada
keberkahan, hidup dalam kesesatan, kegelisahan, kegusaran dan kebimbangan yang
tiada akhirnya.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ
ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَعْمَىٰ {١٢٤}
“Dan siapa saja yang
berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami
akan kumpulkan ia pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thâhâ [20]: 124)
Ibn ’Abbas r.a., menjelaskan
makna (وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي) yakni berpaling dari mentauhidkan-Ku, dan dikatakan pula yakni
mengingkari Kitab Suci-Ku dan (sunnah) Rasul-Ku.[13]
Sedangkan al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) menegaskan yakni menyelisihi
perintah-Ku, dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku (wahyu), berpaling
darinya, melupakannya dan mengambil selain petunjuknya.
Makna (فَإِنَّ لَهُ
مَعِيشَةً ضَنْكًا) yakni di dunia tiada ketentraman baginya, tidak ada kelapangan
dalam dadanya, bahkan dadanya terasa sempit, sesak dengan kesesatannya, dan
jika zhahir-nya seseorang merasa cukup, mengenakan pakaian, memakan
makanan, dan tinggal dimanapun ia mau, sesungguhnya kalbunya tidak mencapai
keyakinan dan petunjuk, dan ia berada dalam kekhawatiran, kehampaan dan
keraguan.[14]
Bagaimana sikap kita? Sudah seharusnya memperbaiki
paradigma dan sikap, kembali kepada sunnah Rasulullah ﷺ dan para
sahabat mencakup sunnah dalam persoalan imamah (kepemimpinan), hal itu karena
peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang masih memiliki keimanan dan akal
sehat (ulul albâb):
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ
فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَٰئِكَ
هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ {١٨}
”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Al-Zumar [39]: 18)
Dalam firman Allah lainnya:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ {٥٥}
“Dan berilah peringatan, karena peringatan bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Dzâriyât [51]:
55)
Maka tidak ada jalan
lain bagi kaum Muslim yang mendambakan keselamatan dunia dan akhirat, kecuali
dengan menghidupkan sunnah Rasul-Nya, meniti jalannya, dan membelanya dari
berbagai penyimpangan kaum yang tersesat dari jalan kebenaran, sebagaimana yang
dilakukan oleh kaum liberal selama ini, dengan menikam ajaran-ajaran Islam, Allâh
al-Musta’ân.
[1] Penulis Buku “Konsep Baku Khilafah Islamiyyah”, Dosen yang
aktif mengajar mata kuliah Fikih Siyasah/Bahasa Arab/Manthiq, dan aktif dalam
kajian-kajian tafsir-balaghah al-Qur’an & Hadits-Hadits Nabawiyyah.
Website: www.irfanabunaveed.net e-mail: irfanabunaveed@gmail.com
[2] Muhammad Abu Sa’id al-Khadimi al-Hanafi, Barîqah Mahmûdiyyah
fî Syarh Tharîqah Muhammadiyyah Nabawiyyah fî Sîrah Ahmadiyyah, Mathba’ah
al-Halb, 1348 H, juz I, hlm. 265.
[3] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ ’Ulûm
al-Dîn, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, juz I, hlm. 77; Disebutkan pula dalam
redaksi yang hampir serupa oleh Najmud Din al-Ghazzi, Husn
al-Tanabbuh Limâ Warada fî al-Tasyabbuh, Libanon: Dâr al-Nawâdir, cet. I,
2011, juz V, hlm. 396.
[4] Nuruddin al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mirqât
al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr
al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VIII, hlm. 3403.
[5] ‘Iyadh bin Musa, Syarh Shahih Muslim
(Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim), Ed: Dr. Yahya Isma’il, Mesir: Dar
al-Wafa’, cet. I, 1419 H, juz VIII, hlm. 163.
[6] Taqiyuddin Abu Ibrahim al-Nabhani, Muqaddimah
al-Dustûr aw al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1420
H, juz I, hlm. 44.
[8] Taqiyuddin Abu Ibrahim al-Nabhani, Al-Takattul
Al-Hizbi, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. IV, 1422 H/ 2001, hlm. 5
[9] Ibid, hlm. 6.
[10] Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Takattul Al-Hizbi,
Beirut: Dâr al-Ummah, cet. IV, 1422 H/ 2001, hlm. 6.
[11] Istilah jahiliyyah layak disematkan kepada
sistem Demokrasi, karena istilah jahiliyyah menurut al-Qur’an dan al-Sunnah
mencakup keyakinan dan perbuatan yang menyalahi al-Qur’an dan al-Sunnah, dan
Demokrasi berdiri di atas asas akidah kufur dan empat prinsip kebebasan yang
bertentangan dengan Islam.
[12] Dadang Juliantara, Meretas Jalan
Demokrasi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.
[13] Majduddin Abu Thahir al-Fayruz Abadi, Tanwîr
al-Miqbâs Min Tafsîr Ibn ‘Abbas, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm.
267.
[14] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir
al-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dâr al-Thayyibah, cet. II, 1420
H, juz V, hlm. 322-323.
Comments
Post a Comment