Oleh: Irfan Abu Naveed[1]
S
|

Rasulullah ﷺ bersabda:
«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ»
“Selanjutnya akan ada kembali
Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud
al-Thayalisi, al-Bazzar)
Keterangan
Singkat Hadits
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Syaikh Syu’aib
al-Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya hasan”; Abu Dawud al-Thayalisi dalam
Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796). Hadits ini
merupakan hadits yang maqbûl marfû’, Al-Hafizh al-‘Iraqi (w. 806
H) mengomentari: “Hadits ini hadits shahih, Imam Ahmad meriwayatkannya dalam
Musnad-nya.”[2] Setelah menukil penilaian hadits al-Hafizh al-’Iraqi di
atas, Syaikh Abu
al-Turab Sayyid bin Husain al-‘Affani pun menegaskan: “Hadits ini merupakan
hadits shahih yang menegaskan kembalinya Khilafah Islamiyyah.”[3]
A.
Faidah Hadits I: Lafal Khilafah
Lafal Khilafah, merupakan
istilah (dall) yang mengandung konsep (madlul). Dalam Islam,
istilah ini termasuk istilah syar’iyyah (mushthalah syar’i) yang dalam
perspektif ilmu ushul fikih, jelas mengandung haqîqah syar’iyyah, yakni
makna yang ditunjukkan oleh Al-Syâri’, wajib digali berdasarkan petunjuk
al-Qur’an dan al-Sunnah dengan ilmunya. Dalam perinciannya, menurut ushul
fikih, makna syar’i ini wajib dikedepankan daripada makna bahasanya, dan wajib
dipegang teguh baik secara i’tiqadi (keyakinan) maupun dalam pengamalannya.
1. Pengertian Khilafah
Secara Bahasa & ’Urf
Lafal khilâfah, merupakan
bentuk derivat (musytâq) dari kata kerja khalafa, jika khalifah
adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah digunakan untuk mewakili
konsep atau sistem kepemimpinannya, yang juga diistilahkan para ulama sebagai al-imâmah
al-’uzhmâ. Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah diuraikan:
الخِلاَفَةُ فِي اللُّغَةِ:
مَصْدَرُ خَلَفَهُ خِلاَفَةً: أَيْ بَقِيَ بَعْدَهُ، أَوْ قَامَ مَقَامَهُ
Al-Khilafah secara bahasa adalah mashdar
dari kata kerja khalafahu khilafat[an], yakni yang tersisa
setelahnya, atau menduduki posisinya.[4]
Al-Khalil bin Ahmad (w.
170 H) mengungkapkan:
فلان يخلُفُ فلاناً في عياله
بخلافة حسنة
Seseorang
menggantikan orang lain dalam pergantian (kepemimpinan) dengan pergantian yang
baik (khilafah hasanah).[5]
Pengertian di atas menggambarkan
estafeta kepemimpinan, hal senada diungkapkan oleh al-Qalqasyandi (w. 821 H),[6]
salah satu contohnya dalam QS. Al-A’râf [7]: 142:
وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي
وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ {١٤٢}
“Dan berkata Musa kepada
saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan
perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat
kerusakan.” (QS. Al-A’râf [7]: 142)
Imam Al-Qalqasyandi
menegaskan bahwa khilafah secara ’urf lantas disebut untuk kepemimpinan
agung, memperkuat makna syar’inya yang menggambarkan kepemimpinan umum atas
umat, menegakkan berbagai urusan dan kebutuhannya dengan standar Islam.[7]
2. Pengertian Khilafah
Secara Syar’i
Istilah Khilafah dalam
Islam berkenaan dengan kepemimpinan politik, namun bukan sembarang
kepemimpinan, melainkan kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian dalam
memelihara urusan Din ini, dan mengatur urusan dunia dengannya. Al-Qadhi
al-Imam al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H) menegaskan:
الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي
حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Al-Imâmah: pembahasan terkait khilâfat
al-nubuwwah (pengganti kenabian) dalam memelihara urusan Din ini dan
mengatur urusan dunia (dengannya).[8]
Hal senada diungkapkan
para ulama lainnya, Imam al-Iji (w. 756 H) menjelaskan:
هي خلافة الرسول في إقامة الدين بحيث يجب اتباعه على
كافة الأمة
Ia merupakan pengganti
Rasulullah ﷺ dalam
menegakkan Din Islam, manakala seluruh umat wajib mena’atinya.[9]
Imamul Haramain Abu
al-Ma’ali al-Juwaini Al-Syafi’i (w. 478) mencirikan:
الإِمَامَةُ رِيَاسَةٌ تَامَّةٌ وَزِعَامَةٌ تَتَعَلَّقُ
بِالْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ فِى مُهِمَّاتِ الدِّيْنِ وَ الدُّنْيَا
Imamah adalah
kepemimpinan yang sempurna dan kekuasaan yang meliputi orang-orang khusus (para
pejabat dan penguasa) maupun rakyat secara umum, dalam mengelola
persoalan-persoalan agama dan dunia.[10]
Salah satu referensi otoritatif di
bidang fikih, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, menguraikan:
الخلافة وَهِيَ فِي الاِصْطِلاَحِ
الشَّرْعِيِّ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا
نِيَابَةً عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Al-Khilafah: dalam
pengertian syar’i, ia adalah kepemimpinan umum dalam urusan Din dan dunia,
penganti dari kepemimpinan Nabi ﷺ.[11]
Dalam pengertian syar’i yang lebih terperinci mencakup
esensi dan fungsinya, digambarkan oleh Imam Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah-nya:
الخلافة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم
الأخروية والدنيوية الراجعة إليها، إذ أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى
اعتبارها بمصالح الآخرة، فهي في الحقيقة خلافة عن صاحب الشرع في جراسة الدين
وسياسة الدنيا به
Khilafah adalah pengatur seluruh rakyat
sesuai dengan aturan syari’at Islam demi merealisasikan kemaslahatan dalam
urusan akhirat maupun dunia, yang kembali kepada kemaslahatan akhirat mereka.
Dimana beragam keadaan di dunia dalam pandangan Al-Syâri’ (Allah)
diperhitungkan jika bermaslahat bagi kehidupan akhirat. Maka pada hakikatnya imâmah
adalah penerus peran dari pengemban syariat (Rasulullah ﷺ)
dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan Islam.[12]
Al-’Allamah Al-Qadhi
Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H), ketika menjelaskan makna syar’i khilafah
secara mapan digali dari nas-nas syar’iyyah, menuturkan:
الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعا
فى الدنيا لإقامة الأحكام الشرع الإسلامي وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
“Khilafah adalah
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan
hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru
dunia.”[13]
Seluruh penjelasan para
ulama di atas, melukiskan secara jelas karakter kuat kepemimpinan dalam Islam,
sebagai kepemimpinan yang menjadi penegak aturan Din Islam dalam kehidupan,
didasarkan pada banyak dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah, diantaranya hadits
dari Abu Hurairah r.a., Nabi ﷺ bersabda:
«كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil,
urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh
nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para
Khalîfah yang banyak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dengan kata lain,
kepemimpinan dengan ruh Islam ini menjadi ciri khas yang membedakannya dengan
sistem sekular yang mengundang malapetaka. Hal ini menegaskan bahwa sistem
pemerintahan yang dipimpin oleh Khalifah adalah sistem al-Khilâfah yang
diistilahkan pula para ulama dalam turats mereka sebagai al-Imâmah
al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung).[14]
B.
Faidah Hadits II: Manhaj
Nubuwwah Adalah Konsep Baku Khilafah
Kalimat
khilâfat[an] ‘alâ minhâj al-nubuwwah dalam hadits mengandung
petunjuk adanya manhaj kenabian dalam mengatur masyarakat. Hal itu ditegaskan
para ulama yang menyifatinya sebagai manhaj siyasi yang tegak di atas fondasi
akidah Islam dan mengatur masyarakat dengan aturan syari'at Islam dalam setiap
aspek kehidupan. Menariknya dalam kajian kebahasaan, kalimat (baca: syibh
al-jumlah) “’alâ minhâj al-nubuwwah” merupakan sifat dari kata khilâfah,
sesuai kaidah bahasa:
الجُمَلُ بَعْدَ النَّكِرَاتِ صِفَاتٌ
“Kalimat-kalimat
setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.”[15]
Kalimat-kalimat
(al-jumal) yang dimaksud dalam kaidah ini termasuk bentuk “syibh
al-jumlah” seperti ungkapan ’alâ minhâj al-nubuwwah, yang termasuk syibh
al-jumlah karena didahului huruf jarr (‘alâ) diikuti kata
benda yang di-majrur yakni minhaj, di sisi lain kata benda yang
disifatinya adalah kata benda tanpa alif lâm, yakni nakirah
berupa kata khilâfat[an]. Sehingga menunjukkan secara jelas bahwa manhaj
kenabian merupakan manhaj istimewa bagi sistem kekhilafahan yang wajib
ditegakkan, menegaskan adanya kebakuan dan keistimewaan sistem pemerintahan dan
tata kelola kenegaraan dalam Islam.
Apa makna
Khilâfah 'alâ Minhâj al-Nubuwwah? Al-Imam al-Mulla Ali al-Qari
(w. 1014 H) menjelaskan:
(على منهاج النبوة) أي:
طريقتها الصورية والمعنوية
“(Di atas manhaj kenabian)
yakni metodenya yang tersurat dan tersirat.”[16]
Yakni
metode sunnah salafuna al-shalih mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara
dengan akidah Islam sebagai fondasinya, dan syari'at Islam sebagai pedoman konstitusinya.
Di antara penguat bukti adanya
sunnah kepemimpinan dalam Islam yang bersifat baku adalah apa yang ditegaskan
Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, yang disebut-sebut disepakati para ulama
sebagai jajaran Khalifah dari Khilafah Rasyidah, sebagaimana ditegaskan
al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam al-Jâmi’, ini pula yang
menjadi pandangan Syaikh al-Masyayikh al-’Allamah Nawawi al-Bantani al-Syafi’i
(w. 1316 H) dalam Sullam al-Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh. Bahkan
al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Al-Bidâyah wa al-Nihâyah
(XII/696), menyebutkan bahwa para ulama sepakat bahwa ia (Khalifah Umar bin
Abdul Aziz), termasuk jajaran imam yang adil, termasuk al-khulafâ’ al-râsyidîn
dan imam yang berdiri di atas petunjuk.
Dalam qaul yang disebutkan
Imam al-Ajurri (w. 360 H), dan al-Hafizh Ibn Abdul Barr al-Andalusi (w. 463 H),
Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz menegaskan:
«سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوُلَاةُ الْأَمْرِ مِنْ بَعْدِهِ سُنَنًا، الْأَخْذُ بِهَا
اتِّبَاعٌ لِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَاسْتِكْمَالٌ لِطَاعَةِ اللَّهِ
تَعَالَى، وَقُوَّةٌ عَلَى دِينِ اللَّهِ، لَيْسَ لِأَحَدٍ مِنَ الْخَلْقِ
تَغْيِيرُهَا , وَلَا تَبْدِيلُهَا، وَلَا النَّظَرُ فِي شَيْءٍ خَالَفَهَا، مَنِ
اهْتَدَى بِهَا فَهُوَ مُهْتَدٍ، وَمَنِ اسْتَنْصَرَ بِهَا فَهُوَ مَنْصُورٌ،
وَمَنْ تَرَكَهَا اتَّبَعَ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ، وَوَلَّاهُ اللَّهُ مَا
تَوَلَّى، وَأَصْلَاهُ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا»
Rasulullah ﷺ dan para ulil amri setelahnya (khulafa' rasyidun) telah
menggariskan adanya sunnah, yakni sikap berpegang teguh pada Kitabullah, dan
menyempurnakan keta'atan kepada Allah, menegakkan kekuatan (fondasi kehidupan)
di atas Din Allah, tidak boleh ada seorang pun dari makhluk-Nya yang boleh
mengubahnya, tidak boleh pula menggantikannya (dengan sunnah selainnya), dan
tidak dilihat sedikit pun apapun yang menyelisihi sunnah tersebut, siapa saja
yang mengambil petunjuk darinya maka ia menjadi orang yang tertunjuki, siapa
saja yang mencari kemenangan dengannya maka ia akan diberikan kemenangan, dan
siapa saja yang meninggalkannya dengan mengikuti selain jalan orang-orang
beriman, maka Allah akan menyerahkan dirinya pada apa ia jadikan tempat
bergantung (selain Allah), dan menyeretnya ke dalam Jahannam, dan ia adalah
seburuk-buruknya tempat kembali.[17]
Seluruh penjelasan di atas,
terang benderang menunjukkan adanya sistem pemerintahan dalam Islam yang
bersifat baku, khas.
وبالله التوفيق
[1] Penulis Buku “Konsep Baku Khilafah Islamiyyah”, Dosen yang
aktif mengajar mata kuliah Fikih Siyasah/Bahasa Arab/Manthiq, dan aktif dalam
kajian-kajian tafsir-balaghah al-Qur’an & Hadits-Hadits Nabawiyyah. Website: www.irfanabunaveed.net e-mail: irfanabunaveed@gmail.com
[2] Zainuddin Abu al-Fadhl Abdurrahim bin al-Husain al-‘Iraqi, Mahajjat
al-Qurab ila Mahabbat al-‘Arab, Ed: Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah, Dar
al-‘Ashimah, cet. I, 1420 H, hlm. 176; Dawud bin Ibrahim tinggal di Bashrah,
Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibn Hibban men-tsiqqah-kannya, selebihnya
adalah perawi yang dijadikan hujjah dalam al-shahih.
[3] Abu
al-Turab Sayyid bin Husain al-‘Affani, A’lâm wa Aqzâm fî Mîzân al-Islâm, Jeddah:
Dar Majid ‘Asiri, cet. I, 1424 H, juz I, hlm. 376.
[4] Tim Ulama, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait:
Dar al-Salasil, cet. II, 1427 H, juz VI, hlm. 196.
[5]
Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb al-‘Ain, juz IV, hlm. 268
[6]
Ahmad bin Ali al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’alim al-Khilâfah,
Kuwait: Mathba’at Hukumat al-Kuwait, cet. II, 1985, juz I, hlm. 8
[7]
Ibid.
[8] Abu
al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Kairo: Dâr
al-Hadîts, t.t., juz I, hlm. 15
[9]
Abdurrahman bin Ahmad al-Iji, Al-Mawâqif, Ed: Dr. Abdurrahman ‘Amirah,
Beirut: Dar al-Jail, cet. I, 1417 H/1997, juz III, hlm. 574.
[10] Abu
al-Ma’ali Abdul Malik al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat Imâm al-Haramain, cet. II, 1401 H, juz I, hlm.
22
[11] Tim Ulama, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz
VI, hlm. 196.
[12] Maqalah ini termaktub dalam Muqaddimah Ibn Khaldûn, dinukil
pula oleh Dr. Mahmud Abdurrahman, Mu’jam al-Mushthalahât wa al-Alfâzh
al-Fiqhiyyah, Dar al-Fadhilah, juz II, hlm. 45.
[13] Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah, juz II.
[14] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 88.
[15] Jamaluddin bin Hisyam, Mughnî al-Labîb ‘an Kutub
al-A’ârîb, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. VI, 1985, hlm. 560.
[16] Nuruddin al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mirqât
al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VIII, hlm. 3376.
[17] Abu Bakar Muhammad bin al-Husain al-Ajurri al-Baghdadi, Al-Syarî’ah,
Riyadh: Dar al-Wathan, cet. II, 1420 H, juz I, hlm. 407; Yusuf bin Abdullah
Ibn Abdul Barr al-Andalusi, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlihi, KSA:
Dar Ibn al-Jauzi, cet. I, 1414 H, juz II, hlm. 1176.
Comments
Post a Comment