Kajian Hadits [1]: Al-Hukm ‘Ura al-Islâm
Oleh: Irfan Abu
Naveed
[Dosen Fikih
Siyasah/Bahasa Arab]
Dari Abu Umamah
al-Bahili r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً
عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي
تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ»
“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu per satu, setiap
kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya.
Yang pertama kali terburai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang
terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim)[1]
Faidah Bag. I: Hadits Khabar yang Mu'akkad
(Ditegaskan) Kebenaran Informasi di Dalamnya
Hadits ini hadits khabar (informasi) yang diungkapkan
dengan kalimat sumpah (qasam):
والله
“Demi Allah”
Atau kinâyah dari waLlâhi (sebagaimana disebutkan
dalam referensi ilmu balaghah) yakni:
والذي نفسي بيده
“Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya”
Namun, ungkapan qasam tersebut dihilangkan (al-îjâz
bi al-hadzf) untuk menekankan pada gagasan inti informasi di dalamnya yang ditandai
dengan huruf lam penanda jawab sumpah (lâm jawâb al-qasam) pada frasa: لتنقضن (latunqadhanna). Lafal "latunqadhanna",
diungkapkan dalam bentuk kata kerja pasif (fi'il mabni li al-majhûl),
yang ditegaskan para ulama nahwu sebagai fi'il:
لِمَا لَمْ يُسَمَّ فاعلُه
“(Kata kerja) yang tidak disebutkan subjeknya”[2]
Yakni terjadi, namun seakan-akan tak disadari dan
dikehendaki kaum Muslim itu sendiri, diikuti dengan huruf nûn bertasydîd (latunqadhanna),
yakni nûn al-taukîd al-tsaqîlah. Dalam ilmu balaghah kedua bentuk huruf
tersebut berfaidah taukîd (penegasan) yang menegaskan kebenaran informasi
hadits ini, bahwa al-hukm termasuk ural Islam yang akan pertama kali
terurai, demikian seterusnya, dimana yang terakhir adalah shalat, sekaligus
menegaskan bahwa perkara al-hukmu adalah bagian dari ural Islam.
Faidah Bag. II: Urâ al-Islâm Bermakna Ajaran Islam
Menariknya, hadits ini diikuti dengan informasi bahwa
al-hukmu adalah ural Islam, sama seperti shalat. Apa yang dimaksud 'urâ al-Islâm?
Lafal 'urâ (عرى), adalah jamak
dari lafal 'urwat (عروة), dijelaskan
Syaikhuna 'Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam kitab tafsirnya, Al-Taysîr
fî Ushûl al-Tafsîr ketika menafsirkan makna al-'urwat al-wutsqâ
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 256, yakni:
ما يعتصم به ويتعلق عليه
"Apa-apa yang seseorang pegang kuat dan bergantungan
padanya."
Dalam ilmu balaghah, lafal ini dipinjam oleh baginda
Rasulullah ﷺ sebagai kiasan
(majâz al-isti'ârah) dari Dîn, ajaran-ajaran Islam, seakan-akan
ditegaskan bahwa ia adalah sesuatu yang sudah seharusnya dipegang kuat, tidak
boleh dilepaskan dari genggaman. Sekalinya dilepaskan maka bisa hilang.
Penisbatan lafal 'urâ ditautkan pada lafal al-Islâm ('urâ
al-Islâm) dalam bentuk penautan (al-idhâfah: mudhâf mudhâf ilayhi),
menunjukkan makna (taqdîr) sebenarnya:
عرى في الإسلام
“Ikatan-ikatan dalam Islam”
Yakni ajaran Islam itu sendiri, maka stigma apa yang
disebut 'urâ sebagai ajaran Islam ini melekat padanya. Hanya orang yang
benar-benar awam pada bahasa arab, yang berani menegasikan dan mengingkarinya,
mengingat kejelasan pembahasan ini.
Apa yang termasuk urâ al-Islâm? Salah satunya
AL-HUKM yakni URUSAN PEMERINTAHAN. Ini menunjukkan bahwa urusan al-hukm
termasuk ajaran Islam, yakni diatur oleh Islam itu sendiri sehingga bisa
tergolong pada 'urâ al-Islâm.
Kalimat "fawwaluhunna naqdh[an] al-hukm",
kata ganti (dhamîr) hunna dalam kalimat ini kembali kepada lafal
'urâ al-Islâm. Menunjukkan secara jelas (manthûq sharîh), bahwa al-hukm
adalah salah satu bagian dari 'urâ al-Islâm. Setelah kejelasan ini, mana
mungkin kita mengklaim urusan al-hukm (pemerintahan) tidak diatur oleh Islam?!
Padahal yang mulia baginda Rasulullah ﷺ sendiri, teladan kita, menegaskan ia termasuk ajaran Islam?!
Faidah Bag. III: Bukti
Lafal 'Urâ al-Islâm dalam Hadits Bermakna Ajaran Islam
Allah 'Azza wa Jalla
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang
beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi
kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]:
208)
Ketika menafsirkan ayat
ini, al-Hafizh Ibn Katsir menafsirkan Islam dengan "'Urâ al-Islâm wa
Syarâi'ihi":
يقول تعالى آمرًا عباده
المؤمنين به المصدّقين برسوله: أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه، والعمل
بجميع أوامره، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك
Allah Ta’ala berfirman
memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin dan membenarkan Rasul-Nya agar
mengambil semua ikatan-ikatan Islam dan syari’atnya, dan mengerjakan seluruh
perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya dengan segenap kemampuan
mereka melakukan yang demikian.[3]
Konsekuensi masuk Islam
secara kaffah adalah menerima seluruh ajaran Islam, mulai ibadah hingga mu’amalah
dan siyasah. Termasuk berkaitan dengan 'urâ al-Islâm dalam hal kepemimpinan dan
pemerintahan. Sistem pemerintahan yang diakui oleh Islam hanyalah sistem
khilafah. Dalil akan kewajiban khilafah ditegaskan dalam al-Qur'an, al-Sunnah
dan ijma shahabat. Bahkan ditegaskan pula oleh para ulama salaf dan khalaf.
Tatkala sebagian pihak
meragukan khilafah sebagai ajaran Islam dan menjauhkannya dari umat, maka sikap
para da'i adalah tetap teguh dan tak mudah goyah dalam dakwah. Allah subhanahu
wa ta'ala berfirman:
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap
lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali 'Imrân [3]: 139)
Maka berbahagialah
mereka yang tetap sabar dalam jalan mulia ini. Dengan demikian bisa disimpulkan
bahwa salah satu bentuk pengamalan masuk ke dalam Islam keseluruhannya adalah,
menegakkan pemerintahan Islam. Tidak boleh tidak, hukumnya fardhu, terlebih
jika ia termasuk TÂJ AL-FURÛDH, dimana hal itu kini terurai, digantikan oleh
ajaran-ajaran di luar Islam.
Faidah Bag. IV: Al-Hukm
Diungkapkan dengan Alif Lam Makrifat & Disandingkan dengan Shalat Termasuk
'Urâ al-Islâm
Dengan logika tasyri'i
(ditopang ushul fikih, bahasa arab, dsb) hadits yang menyebut urusan AL-HUKM
(dengan alif lam ma’rifat) termasuk 'URA AL-ISLAM (IKATAN-IKATAN
ISLAM) bisa saya katakan cukup untuk "mengharuskan" kaum Muslim
menemukan format kekhasan (ma’rifat) dari AL-HUKM (PEMERINTAHAN) dalam
nash hadits tersebut.
Kaidah umumnya sama
seperti penjelasan para ulama menyoal AL-RAYAH (dengan alif lam ma’rifat).
Rasulullah ﷺ bersabda
ketika Perang Khaibar:
«لأُعْطِيَنَّ
الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ،
وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ»
Sungguh aku akan
memberikan al-râyah kepada seseorang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua
tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun
mencintainya.” (HR. Al-Bukhari,
Muslim)
Imam Ibn Bathal (w. 449
H) ketika menjelaskan hadits di atas mencirikan panji tauhid al-rayah sebagai
sunnah Rasulullah ﷺ, Ibn Bathal
menegaskan:
(لأعطين
الراية) فعرفها بالألف واللام يدل أنها كانت من سنته -صلى الله عليه وسلم- فى
حروبه فينبغى أن يسار بسيرته فى ذلك
Sungguh aku akan
menyerahkan al-Raayah”, kata al-Râyah yang diungkapkan dalam bentuk ma’rifat
(ada alif dan lam) menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan sunnah Rasulullah ﷺ dalam peperangan, maka sudah seharusnya kaum Muslim meneladani
Rasulullah ﷺ dalam hal
tersebut.[4]
Lafal al-rayah
dan al-hukm dalam hadits-hadits di atas, sama-sama diungkapkan dalam
bentuk ism ma'rifat, dalam persepektif ilmu balaghah, menunjukkan maksudnya
yang spesifik, tidak bias. Dimana lafal al-hukm di sini berkaitan dengan sistem
pemerintahan, yakni sistem pemerintahan dalam Islam (nizhâm al-hukm fi
al-Islâm).
Mengomentari hadits ini,
salah seorang ulama ahlus sunnah Irak, pakar ilmu ushul fikih dan ilmu
syari’ah, Syaikh Dr. Abdul Karim Zaydan, beliau menjelaskan:
والمقصود بالحكم: الحكم
على المنهج الإسلامي، ويدخل فيه بالضرورة وجود الخليفة الذي يقوم بهذا الحكم،
ونقضه يعني التخلي عنه وعدم الالتزام به، وقد قرن بنقض الصلاة وهي واجبة فدلَّ على
وجوبه
Yang dimaksud al-hukm
di sini adalah kekuasaan yang berjalan di atas landasan Islam. Terkandung
di dalamnya dengan sejelas-jelasnya, pentingnya eksistensi Khalifah yang
menegakkan kekuasaan tersebut, sedangkan yang dimaksud naqdhuhu yakni
kekosongan dan ketiadaan konsistensi padanya, Rasulullah ﷺ telah menyandingkan hilangnya institusi kekuasaan ini dengan
hilangnya ikatan shalat padahal shalat itu wajib, menunjukkan bahwa kekuasaan
ini hukumnya wajib.[5]
Pernyataan ilmiah Dr. Abdul Karim Zaydan di atas, dinukil
pula oleh Syaikh Dr. Abdullah al-Dumaiji dalam risâlah-nya ketika
menguraikan dalil-dalil al-sunnah wajibnya kekhilafahan.[6]
Ada dua dilâlah dalam hadits ini yang menegaskan wajibnya menegakkan sistem
pemerintahan Islam:
a.
Ungkapan ’Urâ
Al-Islâm Yakni Ikatan-Ikatan Islam: Al-Hukm wa Al-Shalât
Ungkapan
’urâ al-Islâm, termasuk di antaranya shalat, menunjukkan bahwa yang
dimaksud ’urâ al-Islâm adalah perkara prinsipil, terlebih ikatan
tersebut ditautkan (al-idhâfah) kepada Din Islam, sehingga menunjukkan
bahwa perkara pemerintahan ini merupakan perkara fondasi di antara fondasi-fondasi
penyokong Islam. Maka tidak mengherankan jika seorang ulama besar ahli
fikih dan tafsir sekelas al-Hafizh al-Qurthubi lalu menegaskan:
وأنها ركن من أركان الدين
الذي به قوام المسلمين، والحمد لله رب العالمين
Dan bahwa ia (al-Imâmah)
merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini dimana dengannya tegak fondasi
kaum Muslim, dan segala puji bagi Allah.[7]
Istilah rukn[un] dalam
kamus bahasa ahli fikih (Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’) didefinisikan sebagai
pilar, yakni sisi yang kokoh dari sesuatu, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji
(w. 1435 H) menuturkan:
الركن: ج أركان وأركن،
الجانب الاقوى من الشئ (pillar) أركان الكعبة:
ملتقى كل جدارين فيها
Al-Rukn: jamaknya adalah arkân dan arkan, yakni
sisi yang kokoh dari sesuatu (pilar atau fondasi). Misalnya arkân
al-ka’bah: yakni tempat pertemuan
antara dua dinding di dalamnya (yakni fondasinya).[8]
Hal ini senada digambarkan para ulama, yang juga
menegaskan kekhilafahan sebagai Tâj al-Furûdh (mahkota kefardhuan) dalam
Islam, manakala di bawahnya dinaungi banyak penegakkan ajaran-ajaran Islam
secara sempurna (kâffah), dimana takkan sempurna penegakkan Islam dalam
kehidupan kecuali dengannya, semisal penegakkan sistem persanksian dalam Islam
(nizhâm al-’uqûbât) dan lain sebagainya.
b.
Penyandingan Ikatan Al-Hukm
dengan Al-Shalât
Shalat adalah rukun di antara rukun Islam yang agung yang
status hukumnya fardhu, ketika pemerintahan disandingkan dengan urusan shalat,
menunjukkan bahwa pemerintahan yang dimaksud termasuk perkara yang fardhu untuk
ditegakkan sebagaimana ibadah shalat.
Menguatkan pendalilan di
atas, Syaikh Prof. Dr. Abdullah al-Dumaiji lalu menguatkannya dengan hadits
yang mengandung perintah berpegang teguh pada sunnah Rasulullah ﷺ dan al-khulafâ’ al-râsyidîn, dari Al-’Irbadh bin Sariyah
r.a. ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku,
dan sunnah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (khalifah empat yang
mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang
kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)[9]
[1] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no.
22160), Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya jayyid”; Ibn Hibban
dalam Shahih-nya (no. 6715); al-Hakim dalam al-Mustadrak, ia
berkata: “Isnad hadits ini seluruhnya shahih, meskipun al-Bukhari dan Muslim
tidak meriwayatkannya”; Al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (no.
7486).
[2] Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibn Malik dalam Alfiyyah-nya,
ditegaskan penerapannya oleh Syaikh Ibn al-‘Utsaimin dalam Syarh Durus
al-Balaghah, ketika ia menjelaskan kata kerja pasif yang ditemukan dalam QS. Al-Jin [72]: 10 {وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ
بِمَنْ فِي الْأَرْض}, lafal urîda
pada kalimat “asyarr[un] urîda biman fî al-ardh” (apakah keburukan yang
dikehendaki bagi orang yang di bumi) berbentuk kalimat pasif (mabni li al-majhûl), “dikehendaki”
sehingga subjeknya tidak dimunculkan jelas, dalam istilah Ibn Malik yakni limâ
lam yusamma fâ’iluhu (yakni untuk subjek yang tidak diberi nama), lihat:
Abdullah bin Abdurrahman Ibn ’Aqil, Syarh Ibn ’Aqil ’ala Alfiyyat Ibn Malik,
Kairo: Dar al-Turats, cet. XX, 1400 H.
[3] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dar Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz I, hlm. 565.
[4] Abu al-Hasan Ali bin Khalaf Ibn Bathal, Syarh Shahîh
al-Bukhâri, Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V, hlm.
141
[5] Dr. Abdul Karim Zaydan, Ushûl al-Da’wah, Beirut:
Mu’assasat al-Risalah, cet. IX, 1421 H, hlm. 205.
[6] Abdullah bin
Umar bin Sulaiman al-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl al-Sunnah wa
al-Jamâ’ah, hlm. 51.
[7] Ibid., hlm. 265.
[9] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no.
17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dan para
perawinya tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh
Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dengan banyak jalan
periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
(no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadits shahih, tidak mengandung
satupun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi
dalam Syu’ab al-Îmân (no. 7516).
masya Allah
ReplyDeleteSemoga Allah SWT memberikan keridloan atas segala yang ustadz curahkan.
mohon ijin mengutup , menyebarkan dan mengcopynya
jazakallah khairan katsiran
Silahkan, sangat dianjurkan untuk disebarkan, semoga menjadi amal jariyyah, in sya Allah
Delete