Irfan Abu Naveed
(Penulis Buku “Jahiliyyah Menyikapi Musibah”)
K
|
ebenaran senantiasa berhadap-hadapan dengan kebatilan, kondisi ini menuntut
para pengemban kebenaran dari masa ke masa; teguh menghadapi berbagai rintangan
dari mereka yang terpedaya dunia, menjadikan kekuasaan semu sebagai tujun hidup
mereka; Rasulullah ﷺ dan para sahabat misalnya, menghadapi berbagai rintangan verbal
dan fisik; penolakan, pelarangan, stigma negatif, cacian, pemboikotan,
penyiksaan hingga serangan ilmu hitam. Bagaimana sikap mereka? Tetap teguh
menunaikan perintah-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا {١٠٣}
“Dan berpegangteguhlah
kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Âli Imrân [4]: 103)
Ungkapan habluLlâh (tali Allah) merupakan kiasan (al-isti’ârah) dari Din Allah, diksi ini menguatkan pengaruh dalam benak kaum Muslim,
bahwa Din Allah adalah sesuatu yang wajib dipegang teguh, tak boleh dilepaskan
barang sejenak, karena tali inilah yang menuntun manusia keluar dari berbagai
kegelapan menuju satu cahaya Allah (lihat: QS. Ibrâhîm [14]: 1). Tatkala
dilepaskan, maka ia akan terhempas ke dalam jurang kegelapan.
Menariknya, ditegaskan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam
tafsir al-Munîr (IV/32): salah satu bentuk berpegang teguh kepada Din
Allah dalam ayat di atas, ditunjukkan ayat selanjutnya (QS. Âli Imrân [3]: 104)
yakni: mendakwahkan Din Islam, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Keteguhan memperjuangkan
kebenaran seperti inilah yang menjadi syarat turunnya pertolongan Allah,
hingga Allah berjanji
meneguhkan kedudukan mereka yang menolong Din-Nya (QS. Muhammad
[47]: 7), dan menganugerahkan mereka Kekhilafahan (QS. Al-Nûr [24]: 55). Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {٧}
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong
(Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad
[47]: 7)
Istimewanya,
dalam kalimat ini Allah menisbatkan pertolongan hamba-hamba-Nya kepada-Nya, padahal Allah SWT Maha Kuasa atas segala
perkara, tak membutuhkan pertolongan makhluk-Nya. Menurut Abu Ja’far al-Nahhas
(w. 338 H) dalam I’rab al-Qur’an (IV/119), ungkapan tersebut merupakan
kiasan (majâz); yang disebutkan Allah namun maksudnya menolong
Rasul-Nya, Dîn-Nya, syari’at-Nya, dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh),
hal ini ditegaskan Al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib (VIII/42).
Menolong dînuLlâh dan teguh
di atas jalan ini pun merupakan wasiat para nabi dan rasul, Syaikh ’Atha
bin Khalil dalam Al-Taisîr fî Ushûl al-Tafsîr (hlm. 163-164) menjelaskan
bahwa Nabi Ya’qub a.s. berwasiat pada anak-anaknya, agar mereka
senantiasa berpegang teguh terhadap agama mereka, yang Allah pilihkan untuk
mereka, dan agar mereka senantiasa berada dalam agama ini hingga diwafatkan
Allah, serta dalam keadaan tunduk dan ta’at kepada-Nya, tak pernah berpaling
dari keta’atan kepada Allah, tunduk dan menegakkan Islam, karena mereka tak mengetahui
kapan tibanya kematian.
Apa buah dari menolong Din-Nya? Terjawab dalam kalimat “yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum” (maka
Allah menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian). Imam al-Sam’ani menafsirkan makna al-nashr minaLlâh (pertolongan
dari Allah) yakni al-hifzh (pemeliharaan dan penjagaan dari
segala keburukan) dan al-hidâyah (bimbingan petunjuk untuk senantiasa
berada di atas kebenaran), dan ia termasuk janji Allah bagi orang yang menolong Din-Nya (QS. Al-Hajj [22]: 40).
Ungkapan agung yutsabbit aqdâmakum (Dia
akan meneguhkan kaki-kaki kalian), merupakan bentuk kiasan (majâz mursal),
yang dimaksud adalah keseluruhan diri orang yang Allah teguhkan (ithlâq
al-juz’i wa irâdat al-kulli). Hal ini menguatkan rasa, menggambarkan
keteguhan, yakni teguh dalam membela Islam, serta teguh dalam menghadapi
berbagai tantangan, sebagaimana dialami para nabi dan rasul –’alaihim
al-salâm-.
Berpegang Teguh pada Sunnah Imâmah dalam Islam
Salah satu ajaran Islam bahkan termasuk ’ural Islam (ikatan-ikatan
Islam) yang wajib dipegang teguh oleh kaum Muslim adalah sunnah dalam persoalan
al-imâmah (kepemimpinan Khilafah) yang telah digariskan Rasulullah ﷺ dan Khulafa’
Rasyidun, dimana ia menjadi ikatan Islam yang pertama kali terurai, dari Abu Umamah
al-Bahili r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً
عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي
تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ»
“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu per satu, setiap
kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya.
Yang pertama kali terburai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang
terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim)
Mengomentari hadits ini,
ulama pakar ushul fikih dan ilmu syari’ah, Dr. Abdul Karim Zaidan dalam Ushûl
al-Da’wah (hlm. 205) menegaskan:
“Yang dimaksud al-hukm
di sini adalah kekuasaan yang berjalan di atas landasan Islam. Terkandung di
dalamnya dengan sejelas-jelasnya, eksistensi Khalifah yang menegakkan kekuasaan
tersebut, sedangkan yang dimaksud naqdhuhu yakni
kekosongan dan ketiadaan konsistensi padanya, Rasulullah ﷺ telah menyandingkan hilangnya institusi kekuasaan ini dengan
hilangnya ikatan shalat padahal shalat itu wajib, menunjukkan bahwa kekuasaan
ini hukumnya wajib.”
Dan di masa kini tatkala
kaum Muslim dihadapkan pada berbagai syubhat, berpegang teguh padanya adalah
kewajiban, dari al-’Irbadh bin Sariyah r.a. ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku,
dan sunnah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (para khalifah yang
mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang
kuat.” (HR.
Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Rasulullah ﷺ meminjam ungkapan (al-isti’ârah
al-tamtsîliyyah) ’adhdhû ’alaihâ bi al-nawâjidz (gigitlah dengan
gigi geraham yang kuat) untuk menggambarkan konsistensi berpegang teguh
terhadap sunnah, yakni jalan hidupnya Rasulullah ﷺ dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn (Ibn
Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (II/126)). Lafal sunnah yang
ditautkan (idhâfah) pada diksi al-khulafâ’, menunjukkan sunnah
tersebut mencakup kepemimpinan politik. Prof. Dr. Abdullah
al-Dumaiji dalam Al-Imâmah al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (hlm.
51-52) menjelaskan:
“Ini merupakan sunnah
mereka –radhiyaLlâhu ’anhum- dalam menegakkan kekhilafahan, dan tidak ada sikap
mengabaikan pengangkatan Khalifah, maka wajib hukumnya meniti jalan mereka
dalam perkara tersebut, berdasarkan perintah Nabi ﷺ.”
Apa sebabnya? Umar
bin al-Khaththab r.a menggambarkan:
إِنَّمَا تُنْقَضُ عُرَى
الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً إِذَا نَشَأَ فِي الْإِسْلَامِ مَنْ لَمْ يَعْرِفِ
الْجَاهِلِيَّةَ
Sesungguhnya ikatan Islam hanyalah terurai satu per satu
apabila di dalam Islam tumbuh orang yang tidak mengetahui perkara jahiliyah.
Berapa banyak orang yang terkungkung keyakinan dan
pemahaman jahiliyyah dalam persoalan imâmah dan siyâsah? Maka sudah
seharusnya kaum Muslim yang sadar, teguh merajut kembali ikatan Islam meskipun
sulit bagaikan menggenggam bara api, dari Anas bin Malik
r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ
فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ»
“Kelak akan datang suatu masa kepada manusia, dimana orang-orang
yang bersabar (berpegang teguh) dengan agamanya di tengah-tengah mereka
bagaikan orang yang menggenggam bara api.” (HR. Al-Tirmidzi)
Khatimah
رَبَّنَا لَا تُزِغْ
قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ
إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
(Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati
kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan
karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah
Maha Pemberi (karunia).” (QS. Âli Imrân [4]: 8)
Comments
Post a Comment