Oleh: Irfan Abu Naveed
D
|
alam tulisan
sebelumnya, telah kami uraikan penjelasan mapan menyoal kedudukan masjid
sebagai syi’ar Islam yang mulia dan wajib dimuliakan, dan bagaimana sikap
Islami menyikapi penistaan atas masjid, berikut standar menilai perbuatan
tersebut di sini: Kasus Penistaan Masjid [Bag. I]: Masjid: Syi’ar Islam yang Mulia & Wajib Dimuliakan dan bagian lanjutannya di sini: Kasus Penistaan Masjid [Bag. II]: Sikap Islam Menyikapi Penistaan Atas Masjid
Kejelasan kasus ini,
sayangnya disikapi salah oleh sebagian oknum, yang secara disadari atau tidak, secara
langsung atau tidak, ikut mengaburkan persoalan penistaan oknum yang menistakan
masjid ini dengan meng-qiyas-kanya pada perbuatan Arab Badui muslim yang
mengencingi masjid di masa baginda Nabi ﷺ, bagaimana mendudukkan kisah
arab badui yang kencing di masjid ini pada tempatnya? Dan bagaimana menjawab syubhat
tersebut?
A.
Hadits Arab Badui yang Kencing di
Masjid di Masa Rasulullah ﷺ
Abu Hurairah r.a.
berkata: “Seorang arab badui buang air kecil di masjid, maka orang-orang
berdiri untuk mencegahnya”, lalu Nabi ﷺ bersabda:
«دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ، أَوْ
ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ، وَلَمْ تُبْعَثُوا
مُعَسِّرِينَ»
“Biarkanlah dia ! Tuangkan
saja setimba atau seember air. Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah,
bukan untuk mempersulit” (HR. Al-Bukhari, al-Baihaqi)[1]
Riwayat di atas, diperjelas dengan riwayat dari
Anas bin Malik r.a., ia berkata: “Ketika kami berada di dalam masjid bersama
Rasulullah, tiba-tiba datang seorang badui. Lalu, ia (badui itu, Red.) kencing
di dalam masjid. Para sahabat Rasulullah ﷺ
menyeru: “Tahan! Tahan!” Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: “Janganlah kalian ganggu.
Biarkanlah dirinya,” maka para sahabat membiarkannya sampai ia selesai buang
air kecil. Selanjutnya, Rasulullah ﷺ
memanggilnya seraya berkata:
«إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ،
وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ
الْقُرْآنِ»
“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak pantas
dikenai sesuatu dari air kencing, dan tidak pula kotoran. Ia (dibangun) untuk mengingat
Allah, ibadah shalat dan membaca al-Qur’an.” (HR. Muslim, al-Baihaqi)[2]
Secara umum para
ulama menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan perintah baginda Rasulullah ﷺ dalam kalimat da’auhu
(biarkanlah oleh kalian dirinya), merupakan perintah untuk membiarkan arab
badui ini menyelesaikan hajatnya. Apa pelajaran yang bisa diambil dari kisah
agung ini? Apakah relevan dijadikan dalih menjustifikasi penistaan masjid dan penghapusan
sanksi hukuman atas pelakunya?
Para ulama
menguraikan ‘ibrah di balik larangan ini secara umum di antaranya
sebagai berikut:
Pertama, Menggambarkan
kecerdasan (al-fathânah) baginda Nabi ﷺ dengan cepat
mengambil keputusan terbaik (sur’at al-badîhah) dan kelembutannya (al-rifq)
dalam berdakwah, tidak menimbulkan dharar bagi orang arab badui yang
melakukan kesalahan semata-mata karena kebodohannya, baik bodoh dari segi ilmu
(tentang kesucian masjid) maupun adab (kebiasaan yang buruk karena belum
memahami Islam). Mengingat menghentikan paksa aliran air kencing, bisa
menimbulkan dharar atas kesehatan. Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w.
852 H) pun menegaskan bahwa perbuatan mereka membiarkan arab badui ini kencing
di masjid karena jika dicegah, hal tersebut bisa menimbulkan kerusakan (lebih
besar).[3] Dalam
hal ini, sikap baginda Rasulullah ﷺ ini bisa menjadi
dalil atas kaidah syar’iyyah yang dirumuskan para ulama ushul:
دَفْعُ
المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ على جَلْبِ المَصَالِحِ
“Menolak berbagai
kerusakan (kemadharatan) didahulukan daripada mewujudkan berbagai kemaslahatan.”[4]
Karakter baginda Nabi
ﷺ ini menegaskan
kebenaran firman Allah Swt:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ {٤}
“Sungguh, kamu
mempunyai akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4)
Allah Swt pun
berfirman dalam QS. Ali Imran [3]: 159,
dan firman-Nya:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ {١٢٨}
“Sesungguhnya telah
datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat memikirkan
penderitaanmu, sangat menginginkan kamu (beriman dan selamat), amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (QS. Al-Taubah [9]:
128)
Hal ini sebagaimana
petuah baginda Rasulullah ﷺ yang memerintahkan berlaku lembut. Beliau ﷺ bersabda:
«يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَسَكِّنُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا»
“Mudahkanlah
dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat
orang lari” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)[5]
Sebagaimana Allah pun
memerintahkan kaum Muslim berlaku adil, tidak zhalim, di antaranya dengan
menegakkan al-nahy ‘an al-munkar dan tegas menegakkan sanksi hukum Islam
atas pelaku keburukan, sebagaimana dicontohkan yang mulia Rasulullah ﷺ, tergambar dalam kisah ini: Keadilan
& Ketegasan Rasulullah ﷺ dalam Penegakkan Hukum Islam
Kedua, Besarnya perhatian
para sahabat terhadap masalah kesucian, termasuk kesucian tempat ibadah, ini
bagian dari pengagungan mereka terhadap syi’ar Islam, menggambarkan apa yang
Allah firmankan:
ذلِكَ وَمَن
يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ {٣٢}
“Demikianlah (perintah
Allah) dan siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya
itu timbul dari ketakwaan qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)[6]
Di samping menunjukkan
pelajaran, wajibnya membersihkan dan menjaga kesucian masjid, tempat ibadah
dari segala bentuk najis, mengingat dalam kisah ini, Rasulullah ﷺ memerintahkan dan mengajari para
sahabat cara mencuci najis tersebut.
Ketiga, Besarnya perhatian dan
kesigapan para sahabat terhadap al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an
al-munkar, tatkala menyikapi kemungkaran yang jelas-jelas kemungkarannya,
tanpa harus bertanya kepada Rasulullah ﷺ. Dari Abu Sa’id
al-Khudri r.a. ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الإِيمَانِ»
“Barangsiapa di antara kalian
yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu maka
ubahlah dengan lisan, jika tidak mampu maka ubahlah dengan qalbu dan hal itu
adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Hibban)[7]
Ini menunjukkan bahwa dakwah dan
pengembannya sudah seharusnya didukung oleh kaum Muslim, dijaga dan dijunjung tinggi,
bukan malah dipersekusi. Coba dievaluasi, siapa oknum-oknum yang menjadikan
kisah arab badui ini untuk memaafkan (baca: memaklumi) pelaku penistaan atas
masjid? Oknum dari kelompok yang sama, yang terdepan menjadi pendukung rezim mempersekusi
gerakan dakwah yang selama ini aktif berdakwah tanpa kekerasan (dakwah
fikriyyah) mendakwahkan syari’ah dan khilafah di bumi Allah ini.
Keempat, Pentingnya para da’i menguasai
pendekatan dakwah dan metode ta’lim (pengajaran), agar tepat dalam melakukan
pendekatan pada berbagai karakter objek dakwah (mad’u). Sebagaimana
gambaran dalam QS. Al-Nahl [16]: 125.
Dari
seluruh penjelasan di atas, tidak ada satupun sisi yang bisa dijadikan dalih
untuk menjustifikasi penistaan atas masjid, atau mengabaikan penegakkan sanksi
hukuman atas pelaku penistaan atas nama ”maaf memaafkan”.
B.
Bantahan Atas Dalih Justifikasi
Dari uraian singkat padat di atas, maka duduk
persoalannya jelas, kisah di atas tidak bisa dijadikan dalih untuk
menjustifikasi penistaan atas masjid. Dalih tersebut adalah dalih yang
diada-adakan, jelasnya tidak relevan, dalam bahasa ilmu ushul diistilahkan: qiyâs
ma’a al-fâriq. Hal itu jelas jika kita kembalikan pada poin-poin
mendasar sebagai berikut:
Pertama, Mengenal Arab Badui
Untuk memahami
latarbelakang peristiwa di balik kisah ini, dan mengevaluasi penggunaan dalih
ini untuk kasus penistaan masjid, alangkah baiknya dipahami siapa sebenarnya
arab badui itu?[8]
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) menyifati orang arab badui sebagai
orang yang tinggal di pedalaman.[9] Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menjelaskan:
الاعرابي: هو الجاهل من العرب، ج أعراب
Al-A’rabi: orang yang bodoh dari
orang Arab, jamaknya adalah a’râb.[10]
Qal’ah Ji, dalam hal
ini menyifatinya sebagai bangsa nomaden (berpindah-pindah), dan tidak memiliki
ilmu.[11]
Penjelasan senada ditegaskan Syaikh Dr. Khalid bin Utsman al-Sabti dalam khaledalsabt.com
menguraikan:
الأعرابي: من سكن البادية، والأعرابي ليس بمعنى العربي،
فإن العرب جنس من الناس يقابلهم العجم، والأعراب هم سكان البادية
Al-A’rabi adalah orang yang tinggal di
pedalaman, al-a’rabi di sini maksudnya bukan berkonotasi orang arab
(secara umum), karena bangsa Arab itu sendiri adalah satu jenis dari bangsa
manusia, kebalikan dari bangsa ‘Ajam. Al-A’rab adalah mereka yang
tinggal di pedalaman (perkampungan).
Itu artinya, Arab
Badui: adalah orang yang sangat terbelakang, dengan kebodohan baik dari segi
keilmuan maupun adab. Sehingga ‘wajar’, jika arab badui ini buang air kecil di
dalam masjid yang masih berlantaikan tanah (bukan keramik dan karpet sajadah),
mengingat itu menjadi kebiasaan hariannya.
Kedua, Mendudukkan Sikap Rasulullah ﷺ:
Bagi Orang yang Benar-Benar Bodoh, Bukan Keras Kepala
Sikap Rasulullah ﷺ
atas arab badui ini menjadi pelajaran menyikapi orang yang benar-benar bodoh baik
ilmu maupun adab kesucian, namun tidak keras kepala (takabur), hal ini sebagaimana
penjelasan Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) menyimpulkan:
وفيه الرفق بالجاهل وتعليمه ما
يلزمه من غير تعنيف إذا لم يكن ذلك منه عنادا، ولا سيما إن كان ممن يحتاج إلى
استئلافه وفيه رأفة النبي صلى الله عليه وسلم وحسن خلقه
Dalam hadits ini (hadits Anas r.a.) terdapat
pelajaran agar bersikap lembut terhadap orang jahil (yang belum mengetahui
hukum agama) dan mengajarinya hal-hal yang harus diketahui tanpa disertai
celaan terhadapnya, jika kesalahannya tidak muncul karena keras kepala.
Apalagi, jika ia termasuk orang yang masih perlu pendekatan persuasif. Dalam
hadits ini pula, termuat cermin kasih sayang Nabi ﷺ dan keluhuran akhlak beliau ﷺ.[12]
Sekarang, bandingkan
dengan sikap oknum wanita yang masuk ke dalam masjid sembari marah-marah, masuk
ke dalam masjid mengenakan sandal dan membawa anjingnya yang berlarian di dalam
ruang utama masjid. Tatkala diperingatkan oleh pihak DKM dan jama’ah, yang
bersangkutan semakin menjadi-jadi, tampak keras kepala dan takabur dengan
mengaku sebagai wanita non muslimah. Maka perhatikan pola uslub menyikapi objek
dakwah berdasarkan petunjuk dalam ayat ini:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ {١٢٥}
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah
yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.
Al-Nahl [16]: 125)
Memahami
ayat ini, secara garis besar bisa dipahami dari intisari penafsiran para ulama
tafsir berikut ini:
Pertama,
Bi al-hikmah {بِالْحِكْمَةِ} yakni dengan wahyu Allah (al-Qur’an
dan al-Sunnah);
Kedua,
Wa al-mau’izhah al-hasanah {وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ} yakni dengan menyampaikan
pelajaran-pelajaran dengan baik, yang Allah jadikan hujjah dalam Kitab-Nya,
berikut peringatan-peringatan dari-Nya;
Ketiga,
Wa jâdilhum billati hiya ahsan {وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} yakni dengan cara yang lebih baik sesuai dengan syari’at-Nya, ketika
menyikapi permusuhan mereka yang memusuhi dakwah, tidak dengan cara bermaksiat
kepada-Nya (cara zhalim) dalam menegakkan kewajiban menyampaikan risalah dari
Allah SWT.
Dalam perinciannya, uslub pertama bi al-hikmah, terutama
ditujukan pada orang yang mencari kebenaran (thâlib al-haqq),
disampaikan kepadanya seruan agung dakwah, dengan menyertakan hujjah atau dalil
dari ayat-ayat qur’aniyyah atau ayat-ayat kauniyyah. Ayat-ayat qur’aniyyah
ditujukan pada orang yang mengimani wahyu, sedangkan ayat-ayat kauniyyah,
terutama ditujukan pada orang yang belum masuk Islam, sehingga dakwah bertolak
dari tanda-tanda keagungan Allah yang sifatnya mahsûs (bisa terindera),
mencakup ayat-ayat kauniyyah (langit, bumi dan segala macam isinya).
Adapun uslub kedua, yakni al-mau’izhah al-hasanah, maka
direalisasikan dengan menyampaikan nasihat-nasihat, atau kisah-kisah yang
mengandung pelajaran bagi orang-orang pada umumnya. Dalam kasus arab badui,
maka berlaku prinsip uslub dakwah ini, manakala Rasulullah ﷺ memilih memperingatkan arab badui yang bodoh soal ilmu dan adab
kesucian, dengan cara nasihat yang baik. Hingga akhirnya arab badui tersebut -disebutkan
dalam riwayat- digambarkan tersentuh dengan keagungan sikap Rasulullah ﷺ ini.
Berbeda dengan uslub wa jâdilhum billatî hiya ahsan, yang
dipilih sebagai uslub menghadapi orang yang menolak dan mendebat kebenaran,
dengan maksud untuk izhhâr al-haqq, yakni menampakkan kebenaran. Dalam
kasus oknum wanita yang menistakan masjid ini, maka uslub debat dikedepankan
mengingat ybs keras kepala dengan kesalahannya setelah disampaikan peringatan
atasnya. Perincian uslub ini, sesuai untuk setiap kondisi manusia.
لكل مقام مقال
Untuk setiap kedudukan itu ada tutur kata yang pantas
untuknya.
C.
Catatan Penting
Maka dalih kisah arab badui untuk kasus
penistaan masjid ini termasuk dalil yang tidak relevan, dalam istilah ilmu
ushul fikih termasuk: QIYÂS MA’A AL-FÂRIQ, yakni pendalilan dengan
menggunakan contoh nas yang tidak relevan. Maka secara umum, dalih ini batal
dan batil, sesuai kaidah shahihah yang disebutkan para ulama:
كل ما
بني على باطل فهو باطل
“Segala hal yang dibangun di atas asas yang
batil maka ia pun batil.”[13]
Dengan kata lain, ini bukan soal maaf
memaafkan, namun soal sikap yang harus jelas dalam menyikapi suatu keburukan. Penistaan
atas masjid ini jelas keburukannya, tidak samar, maka tidak boleh disamarkan.
Dalam Islam, pelaku penistaan atas masjid wajib dikenai sanksi hukuman, tidak
lantas gugur dengan klaim maaf memaafkan, mengingat sanksi hukuman ditegakkan oleh
ulil amri untuk mewujudkan keadilan, menjaga masyarakat dari perbuatan saling
menzhalimi, dan menjauhkan mereka dari kerusakan baik personal maupun komunal.
Esensi penegakkan hukum Islam ini jelas mengundang keberkahan, mewujudkan kemaslahatan hakiki
sekaligus menolak berbagai kerusakan, sebagaimana
ditunjukkan oleh nas al-Qur’an dan al-Sunnah, salah satunya (QS. Al-A’râf [7]: 96),
diperjelas dalil QS. Al-Baqarah [2]: 216 dan QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107 yang juga menjadi
dalil kaidah syar’iyyah:
حيثما يكن الشرع
تكن المصلحة
“Dimana tegak syari’at maka akan ada kemaslahatan.”
Para ulama Islam memahamkan bahwa sanksi
hukuman (‘uqûbât) berfungsi sebagai zawâjir, yakni mencegah
manusia mengulang kejahatan yang sama, akibat adanya efek jera dari penegakkan
sanksi hukuman. Jika tidak
ditegakkan, maka patut dikhawatirkan jika terjadi kasus-kasus lainnya, sama
seperti kejadian berulang dari sejumlah oknum pelawak, yang menjadikan ajaran
Islam, Rasulullah ﷺ sebagai bahan candaan dalam lawakannya
yang menjijikkan! Itu semua terjadi tatkala pelaku kejahatan penistaan ini dibebaskan
dari sanksi hukuman, hanya dengan dalih “sudah dimaafkan”.
Coba belajar dari keadilan dan ketegasan
Rasulullah ﷺ
menegakkan sanksi hukuman bagi pelaku keburukan di sini: Keadilan & Ketegasan Rasulullah ﷺ dalam Penegakkan Hukum Islam
Dalam tataran praktis
untuk menerapkan dan menjaga Islam, maka relevan dengan salah satu fungsi Imam
(Khalifah) dengan kewenangan di tangannya, yang digambarkan Rasulullah ﷺ, dari Abu Hurairah r.a.,
bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“Sesungguhnya
al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
Ahmad)
Menunjukkan wajibnya dan pentingnya
keberadaan pemimpin, Khalifah, dan institusinya, Khilafah dalam menegakkan
Islam dan menjaganya dalam kehidupan. Berjuanglah! Jangan mundur ke belakang! Allâh
al-Musta’ân. []
[2] HR. Muslim dalam Shahih-nya;
Al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubra’ (no. 4142).
[3] Ahmad bin Ali bin Hajar
al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1379 H, juz I, hlm. 323.
[4] Kaidah ini memang kaidah syar’iyyah, namun penggunaannya wajib terikat pada
kaidah-kaidah dan batasan-batasan yang telah dirumuskan oleh para ulama
ushul, tidak ada kaidah ‘sapu jagad’ yang bisa diterapkan secara serampangan,
batasannya mencakup penetapan mafâsid dan mashâlih itu sendiri.
Jika berkumpul dalam suatu persoalan adanya berbagai kemaslahatan, namun
kemaslahatan tersebut disusul pula dengan kerusakan, maka kerusakan ini menjadi
penghalang, dengan kata lain sebagaimana ditegaskan para ulama:
إذا اجتمعت
مصلحة ومفسدة غلب جانب المفسدة
Jika
berkumpul (dalam suatu persoalan) antara kemaslahatan dan kerusakan, maka
dikuatkan sisi (menjauhi) kerusakannya.
Namun
hal ini dibatasi jika kerusakan dan kemaslahatan berkumpul, dan kerusakannya
lebih besar daripada kemaslahatan, karena jika kemaslahatannya lebih besar
daripada kerusakan, maka mewujudkan kemaslahatan harus diutamakan, contoh untuk
kondisi ini; kebolehan mengucapkan kata-kata kufur karena dipaksa musuh dan
diancam akan dibunuh dengan kalbu yang tetap dalam keimanan, maka mewujudkan
kemaslahatan menjaga nyawa didahulukan daripada kerusakan di balik kata-kata
kufur lisan tersebut, ini seperti kasus Amar bin Yasir r.a di bawah tekanan
kaum Kafir Quraysyi.
Sebaliknya
jika kerusakannya lebih besar daripada kemaslahatan, maka menjauhi kerusakan
didahulukan, hal ini sebagaimana petunjuk yang digambarkan dalam QS. Al-Baqarah
[2]: 219, dimana dalam ayat ini digambarkan khamr dan judi memiliki manfaat,
namun kerusakan dan kemadharatannya lebih besar, Allah Swt pun mengharamkan
keduanya, sebagaimana diutarakan oleh Sulthân al-‘Ulamâ’, Imam al-‘Izz
bin Abdissalam:
حرمهما لأن
مفسدتهما أكبر من منفعتهما
Allah
mengharamkan keduanya, mengingat kerusakan keduanya lebih besar daripada
manfaatnya. (Abu Muhammad ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdus Salam, Qawâ’id
al-Ahkâm, Kairo: Maktabat al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1414 H, juz I, hlm.
98)
Imam
al-Subki (w. 771 H) menjelaskan: Menolak berbagai kerusakan lebih diutamakan
daripada mewujudkan berbagai kemaslahatan, dikecualikan dalam beberapa
permasalahan, hasil akhirnya kembali kepada kondisi bahwa jika kemaslahatan
memiliki kedudukan yang agung, sedangkan kerusakannya lebih ringan, maka
kemaslahatan tersebut didahulukan (Tajuddin ‘Abdul Wahhab bin Taqiyyuddin
Al-Subki, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, juz I, hlm. 105). Ukuran
kemaslahatan dan kerusakan tersebut ditentukan berdasarkan tolak ukur syara’
bukan hawa nafsu.
[5] HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no.
6125); Muslim dalam Shahih-nya; Ahmad dalam Musnad-nya (no. 13198), Syaikh
Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya shahih sesuai syarat
Syaikhain”
[6] Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah, Syaikh Nawawi
al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) menjelaskan bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang
bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni syi’ar-syi’ar
Din-Nya (Nawawi
al-Bantani, Syarh
Sullam al-Tawfîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm.
103). Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i
mencontohkan, di antara bentuk syi’ar tersebut adalah Shafa dan Marwah. Karena
menurut Syaikh Nawawi, makna dari sya’âiraLlâh adalah a’lâm al-dîn (simbol-simbol
din). Maka dari itu, Masjid termasuk syi’ar Islam yang wajib diagungkan
dan dimuliakan, serta dijaga kemuliaannya.
[7] HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no.
49); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 11478, 11532, 11894), Syu’aib
al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya shahih sesuai syarat Syaikhain.”; Ibn
Majah dalam Sunan-nya (no. 4013); Ibn Hibban dalam Shahîh-nya
(no. 307).
[8] Dalam ma’any.com disebutkan: A’rabi: orang pedalaman dari
bangsa arab/ dinisbatkan pada al-a’rab (orang arab), sejarahnya dari
orang arab Suku Hilal, yakni penghuni perkampungan dari Suku Hilal.
[10] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Dar
al-Nafa’is, cet. II, 1408 H, hlm. 77.
[11] Ibid.
[12] Ahmad bin Ali bin Hajar
al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1379 H, juz I, hlm. 325.
[13] Prof.
Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus:
Dar al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz I, hlm. 264; Abdul Muhsin bin Abdullah
al-Zamil, Syarh al-Qawâ’id al-Sa’diyyah, Riyadh: Dar Athlas al-Khadra’,
cet. I, 1422 H, hlm. 343.
Comments
Post a Comment