P
|
ublik Indonesia,
kembali ramai dengan kasus viral oknum wanita tak berhijab (baca: non
muslim/kafirah) yang memasuki masjid sembari berteriak marah, mengenakan sandal
dan membawa anjingnya masuk ke dalam ruang utama masjid. Perbuatan ini viral
menjadi bahan perbincangan khususnya di media sosial. Silahkan baca pemberitaan
ini:
Bahkan pemberitaan
ini pun viral di dunia internasional, diberitakan oleh website dari kantor
berita Internasional Al Jazeera (Arabiyyah), pada link berikut ini,
dengan judul:
Bagaimana menakar perbuatan penistaan atas kesucian masjid dengan sudut pandang Islam? Dan bagaimana menyikapinya? Silahkan disimak!
A.
Menakar Perbuatan
Oknum Wanita Pembawa Anjing ke Dalam Masjid
Bertolak dari agungnya kedudukan masjid
sebagai syi’ar dalam Islam dalam artikel ini: Masjid: Syi’ar Islam yang Mulia & Wajib Dimuliakan. Maka relevan tatkala ditetapkan sejumlah adab
mulia yang sudah diketahui dan disepakati, diantaranya: (a) Tidak boleh
berteriak-teriak marah tidak jelas; (b) Tidak mengenakan alas kaki (sandal atau
sepatu) dari luar masuk ke dalam masjid, sehingga tak ada kotoran yang menempel
pada karpet tempat sujud; (c) Tidak boleh memasukkan binatang seperti anjing,
dimana air liurnya jelas najis, bahkan
dalam fikih termasuk najis mughallazhah (najis berat). Dengan perincian sebagai
berikut:
Pertama, Perbuatan Provokasi Permusuhan &
Mengganggu Ketenangan Masjid
Perbuatan marah lalu berteriak di dalam
masjid, tidak layak dilakukan oleh siapapun, mengingat ia tempat yang mulia dan
dimuliakan, dimana kalimat Allah di dalamnya wajib diagungkan. Maka sudah
selayaknya, wajib dijauhi ucapan-ucapan kotor, termasuk berteriak-teriak
mencari barang hilang (dalam kasus ini mencari suami yang “hilang”, dengan
tuduhan dinikahkan oleh pengurus masjid tersebut), dan ucapan bernada tinggi yang
menunjukkan keangkuhan.
Maka kasus oknum wanita ini, termasuk keharaman
mengganggu ketertiban dan ketenangan masjid dengan pembicaraan yang sia-sia,
disertai provokasi angkuh terhadap jama’ah masjid dengan mengaku sebagai wanita
bukan Islam, mengenakan sandal dan membawa anjing ke dalam ruang utama masjid.
Sikap seperti ini jelas bertentangan dengan nushush syar’iyyah wajibnya
menjauhkan masjid dari segala bentuk perbuatan tersebut.
Imam al-Bukhari menyusun satu bab dalam Shahih-nya,
Bab Raf'u al-Shaut fi al-Masjid (Bab tentang mengeraskan suara di
masjid). Bentuk perbuatan di atas, termasuk ke dalam larangan seperti dalam
riwayat berikut ini: Dari al-Saib bin Yazid, ia berkata; "Aku pernah
berdiri di masjid lalu ada seseorang yang melempar krikil kepadaku. Maka aku melihat.
Ternyata orang itu adalah Umar bin al-Khaththab. Kemudian ia berkata,
'Pergilah, bawa kedua orang itu.”
Aku pun datang kepadanya dengan membawa kedua
orang itu. Ia (Umar) bertanya, “Siapa kamu berdua?” atau “Dari mana kamu
berdua?” Keduanya menjawab, “Dari penduduk Tha’if.” Ia berkata:
«لَوْ كُنْتُمَا
مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
“Kalau
kamu berdua berasal dari penduduk negeri ini, tentu aku mendera kamu berdua;
kamu telah mengeraskan suara di masjid Rasulullah ﷺ.” (HR. Al-Bukhari)
Ancaman Umar yang akan mendera dua orang yang
mengeraskan suaranya di masjid Rasulullah ﷺ, sekiranya
keduanya bukan dari luar Madinah menunjukkan bahwa keduanya melakukan perbuatan
yang menyalahi perbuatan yang sudah disepakati. Yang tidak dilarang dalam hal
ini, jika ada hajat syar’i untuk itu, bukan provokasi keburukan, bukan pula
perkataan sia-sia yang mengganggu ketertiban dan ketenangan masjid. Sebagaimana
ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani tatkala menjamak dua hadits
yang seakan-akan bertentangan menyoal mengeraskan suara di masjid, ia
menyimpulkan: "Dari hadits ini (yang ia komentari) terdapat isyarat bahwa
larangan berlaku dalam hal yang tidak ada faidahnya, dan tidak dilarang jika
ada kebutuhan kepadanya.” (Fathul Baari I/656)
Diperjelas dengan adab mengecilkan suara
lantunan al-Qur’an tatkala ada orang yang shalat di sampingnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ
الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَ لاَ يَجْهَرْ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ»
“Sesungguhnya
orang yang shalat sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia
memperhatikan isi munajatnya dan janganlah satu sama lain mengeraskan bacaan al-Qur’annya.” (HR. Al-Thabarani dari Abu Hurairah dan
Aisyah)
Dari Abu Sa'id al-Khudri r.a., saat Nabi ﷺ beri'tikaf di
masjid beliau mendengar para sahabatnya mengeraskan bacaan Al-Qur'an. Lalu
beliau membuka kain penutup dan bersabda, "Ketauhilah, sesungguhnya
setiap kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Janganlah sebagian kalian mengganggu
sebagian yang lain, jangan pula sebagian kalian meninggikan suara bacaan atas
sebagian yang lain.” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan al-Hakim)
Jika mengeraskan bacaan al-Qur’an saja diatur
sedemikian rupa adab-adabnya, maka lebih utama lagi atas ucapan selainnya, terlebih
tercela bagi ucapan yang mengandung provokasi dan caci maki, mengganggu
jama’ah, baik yang sedang shalat maupun tidak.
Al-Hafizh Al-Nawawi (w. 676 H) dalam Al-Adzkar menguraikan bahwa ada banyak dalil yang
menganjurkan membaca Al-Qur’an dengan suara keras, tapi ada pula dalil-dalil
yang menganjurkan membaca Al-Qur’an dengan suara pelan. Beliau menjelaskan:
جاءت
آثار بفضيلة رفع الصوت بالقراءة، وآثار بفضيلة الإِسرار
“Terdapat sejumlah
riwayat yang menunjukkan keutamaan mengeraskan suara membaca al-Qur’an, dan ada
pula sejumlah riwayat yang menunjukkan keutamaan merendahkan suaranya.”[1]
Lalu bagaimana mendudukkan kedua kelompok
dalil tersebut? Al-Hafizh al-Nawawi memberikan panduan:
قال العلماء والجمع بينهما أن
الإسرار أبعد من الرياء فهو أفضل في حق من يخاف ذلك، فإن لم يخف الرياء فالجهر
أفضل بشرط أن لا يؤذي غيره من مصل أو نائم أو غيرهما
Para ulama berkata, cara mengompromikan dua
dalil tersebut adalah memelancakan bacaan Al-Qur’an bagi orang yang takut riya lebih
utama. Sedangkan bagi orang yang tidak riya, maka mengeraskan suara bacaan Al-Qur’an
lebih diutamakan dengan catatan tidak menganggu orang yang shalat, tidur, atau
selain keduanya.[2]
Jika membaca al-Qur’an saja diatur agar hendaknya
tidak mengganggu orang yang sedang shalat semisal tatkala di masjid, maka
perkaranya lebih ketat lagi bagi ucapan-ucapan sia-sia yang dikeraskan dan
mengganggu jama’ah masjid.
Kedua, Sandal & Anjing Masuk ke Dalam Masjid
Najis (النجسة) secara istilah fiqih, adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak sahnya
ibadah shalat. Dari ketiga kategori najis: yakni najis mukhaffafah
(ringan), najis mutawassithah (pertengahan), dan najis mughallazhah
(berat), maka air liur anjing termasuk kategori yang ketiga. Sebagaimana
ditegaskan para ulama ahli fikih, bahkan sudah ma’lum dalam kajian fikih dasar,
salah satunya al-‘Allamah al-Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitab
fikih, Safînat al-Najâ:
(فصل) النجاسة ثلاثه : مغلظة
ومخففة ومتوسطة . المغلظة : نجاسة الكلب والخنزير وفرع أحدهما . والمخففة: بول
الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين. والمتوسطة : سائر النجاسات.
Pasal pembahasan najis, ada tiga macam: mughallazhah,
mukhaffafah, dan mutawassithah. Najis mughallazhah adalah najisnya
anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah
adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu
dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah
najis-najis lainnya.
Dalam perinciannya, tata cara menyucikan najis
mughallazhah dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di
mana salah satunya dicampur dengan debu, namun sebelum dibasuh dengan air mesti
dihilangkan terebih dulu ‘ainiyah atau wujud najisnya, hal ini sebagaimana
disebutkan dalam kitab fikih, termasuk kitab Safînat al-Najâ:
المغلظة
: تطهر بسبع غسلات بعد إزالة عينها ،إحداهن بتراب
Najis mughallazhah disucikan dengan
tujuh kali basuhan setelah dibersihkan wujud najisnya, disucikan salah satunya dengan
tanah.
Sebagaimana ditegaskan Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi'i (w. 1316 H) dalam Kasyifat al-Saja Syarh Safinat al-Naja (hlm. 162), najis bisa melekat baik pada badan, tempat, maupun pakaian. Maka wajar jika jama’ah masjid sangat cepat merespon masuknya binatang
anjing yang tidak lazim masuk ke dalam ruang utama masjid, dimana di dalamnya dipelihara
kesucian dan kebersihan tempat. Siapapun wajib menjaga adab ini, dan tidak
boleh melanggarnya.
B.
Standar Ukuran “Penistaan”
Bertolak dari adab Islam
terhadap masjid, maka pelanggaran atas kemuliaannya, termasuk dalam ranah
penistaan terhadap kehormatan masjid. Hal ini diperjelas dengan standar penistaan?
Penistaan atau pelecehan, dalam bahasa arab dikenal dalam istilah al-istihzâ’
(الاستهزاء). Istihzâ’ itu sendiri berasal dari kata kerja haza’a-yahza’u,
yang berkonotasi sakhira (melecehkan) [3]. Sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur (w. 711 H) dalam Lisân
al-’Arab [4]: haza’a-yahza’u/ istahza’a bihi: sakhira (merendahkan
atau menistakan).
Dimana perbuatan istihzâ’ ini mengandung
pelecehan atas pihak yang dilecehkan disertai i’tiqad (keyakinan, maksud) atas
pelecehannya (الاستهزاء يَقْتَضِي تحقير المستهزإ
بِهِ واعتقاد تحقيره), sebagaimana ditegaskan oleh Imam Abu Hilal al-’Askari (w. 395
H).[5] Secara istilah, kata al-istihzâ’
pun digunakan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, misalnya:
وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ
بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ {١٠}
“Dan sungguh telah
diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang
yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokkan mereka.” (QS. Al-An’âm [6]: 10)
Lihat pula: QS. Al-Taubah [9]: 65, QS. Al-Baqarah [2]:
15, QS. Al-An’âm [6]: 5, dan lainnya, begitu pula dalam al-Sunnah.[6] Dan jika ditelusuri
maka makna istilah yang dipakai dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah
tidak keluar dari makna bahasanya dalam konotasi “melecehkan” atau “menistakan”.
Bertolak dari penjelasan
di atas, perbuatan oknum wanita yang masuk ke dalam ruang masjid sembari
berteriak marah-marah, mengenakan sandal (menginjak sajadah) dan membawa anjing
yang berlarian di dalamnya, dalam perspektif manthiq dan ushul, jelas menjadi dilalah
sharihah atas penistaan terhadap tempat ibadah (masjid).
Maka sejumlah pakar pun
berbicara: Anton Tabah Digdoyo: Masuki Masjid Bersepatu dan Bawa Anjing Jelas Menista Agama.
Dan Chandra Purna
Irawan, S.H., M.H. (Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI dan Sekjend LBH PELITA
UMAT): Pendapat Hukum Terkait Seorang Wanita Diduga Masuk Masjid Dengan
Mengenakan Alas Kaki Dan Membawa Anjing, sebagaimana dipublikasikan berbagai
media sosial, termasuk metro.sindonews.com [Link I], dan suaramerdeka.id [LinkII]
Memperjelas bahwa perbuatan oknum ini jelas tercela, kelewat batas dan
wajib diperingatkan, serta dikenai sanksi hukuman. Dalam pembahasan ushul dan
manthiq, gambaran keseluruhan perbuatan oknum wanita ini jelas menjadi dilalah
sharihah atas penistaan terhadap tempat ibadah. Dimana seluruh perbuatan
tersebut tampak dilakukan secara sadar, mengingat dalam video terdengar debat
yang ‘nyambung’ antara sejumlah jama’ah masjid dan oknum ini, hingga tatkala
anjingnya kabur pun ia masih sempat mempertanyakan anjingnya yang hilang dan
disebut-sebut mengancam tidak mau pulang sebelum anjing miliknya ditemukan,
dalam pemberitaan:
“Bahar menyebutkan bahwa SM juga sempat marah lantaran
anjing yang diusir oleh jamaah dari dalam masjid hilang dari pandangan. SM pun
mengancam tidak mau pulang sebelum anjing miliknya ditemukan.” Sebagaimana diberitakan di sini: Ketua DKM Bantah Nikahkan Suami Wanita yang Bawa Anjing
C.
Kebutuhan Umat Pada
Khilafah: Penegakkan Sanksi, Penjaga Kemuliaan Islam
Siapa yang berwenang
menegakkan sanksi hukum Islam atas pelaku penistaan? Jawabannya, jelas ulil
amri (al-Imâm (Khalifah) au nâ’ibuhu) yang sah secara syar’i dibai’at
untuk menegakkan hukum-hukum Islam. Jika belum ada? Maka jelas kaum Muslim
wajib bersegera mengadakannya. Sebagaimana dipahami dalam ilmu ushul dengan
mafhum, dilalah iltizam. Sebagaimana diutarakan
oleh
Imam al-Naisaburi al-Syafi’i (w. 850 H):
أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله فَاجْلِدُوا هو الإمام
حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Umat ini (ulama)
bersepakat bahwa yang diseru dari firman-Nya: “Jilidlah” adalah Imam hingga
mereka pun berhujjah dengannya atas kewajiban mengangkat Imam (Khalifah),
karena sesungguhnya hal dimana kewajiban takkan sempurna kecuali dengannya maka
hal tersebut menjadi wajib adanya.[7]
Ketika Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606
H), menafsirkan QS. Al-Mâ’idah
ayat ke-38, beliau menegaskan:
Para ulama ahli kalam ber-hujjah dengan ayat ini
bahwa wajib atas umat, untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk
mereka. Dalilnya adalah bahwa Allah Swt mewajibkan di dalam ayat ini menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang
melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun
dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal. Bahkan
mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas pelaku kriminal yang
merdeka kecuali al-imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya
pasti (jazm), dan tidak mungkin keluar dari taklif ini kecuali dengan keberadaan
al-imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan
sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) al-imam
adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti (qath’i) atas wajibnya
mengangkat al-imam seketika itu pula.[8]
Dalam perinciannya, berbagai kefardhuan menegakkan hukum-hukum Islam takkan sempurna terlaksana
kecuali dengan adanya Khalifah dengan sistemnya, Khilafah, maka menegakkan sistem
Khilafah dan mengangkat Khalifah menjadi wajib adanya, inilah yang diulas para
ulama yang lantas menguatkannya dengan kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) ketika menjelaskan
kaidah ini menuturkan, bahwa jika Allah sudah memerintahkan hamba-Nya untuk
menunaikan suatu perbuatan dan Allah mewajibkannya, di sisi lain apa yang
diperintahkan tersebut takkan tercapai sempurna kecuali dengan hal lainnya;
maka hal tersebut menjadi wajib adanya.[10] Hal ini sebagaimana
diungkapkan Imam al-Qarafi (w. 684 H) yang berkata:
وُجُوْبُ
الوَسَائِل تبِع لِوُجُوْبِ المَقَاصِد
Apa itu wasilah menurut para ulama fikih dan
ushulnya? Imam al-Jurjani al-Syafi’i (w. 816 H), ditegaskan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435
H), mendefinisikan wasîlah yakni:
الوَسِيْلَةُ: هِيَ مَا يُتَقَرَّب بِهِ إِلى الغَيْرِ
Lebih jauh lagi, tegaknya kepemimpinan Khalifah dalam
sistem Khilafah bisa dinyatakan sebagai wasilah tegaknya hukum-hukum
Islam dalam kehidupan. Di sisi lain, mencegah penistaan demi penistaan selama ini, sudah seharusnya mengingatkan
kaum Muslim pada salah satu fungsi dan tanggung jawab penguasa, yang mulia
Rasulullah ﷺ menyifati penguasa (khalifah) sebagai junnah (perisai)
dalam sabdanya:
«إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى
بِه»
“Sesungguhnya
al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari,
Muslim)
Karena sifat junnah
dalam hadits ini tak terbatas dalam peperangan semata,[13]
akan tetapi berkonotasi pula sebagai pelindung dari kezhaliman, penangkal dari
keburukan sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H)[14].
Di sisi lain perlu disadari benar-benar bahwa penistaan demi
penistaan yang terjadi, menunjukkan bahwa mengatasi permasalahan ini menuntut
keberadaan Sistem Islam (al-Khilafah) dan penguasanya (al-Khalifah) yang
menegakkan hukum-hukum Islam kaaffah, menegakkan fungsinya mencakup
fungsi ri’aayah (pemelihara urusan umat) maupun fungsi junnah
(perisai akidah). Karena Islam memandang penting kedudukan penguasa dan
menetapkan kewajiban mengadakannya, hal itu sebagaimana disaksikan oleh
dalil-dalil al-Qur’an, al-Sunnah dan aqwâl para ulama. Hingga al-Hafizh
Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) tak kelu untuk berkata:
لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ،
وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا
مَوَاضِعَهَا
“Harus
ada bagi umat ini seorang Imam yang menegakkan al-Dîn, menolong sunnah,
memberikan hak bagi orang-orang yang dizhalimi, serta menunaikan hak-hak dan
menempatkannya pada tempatnya.”[15]
Bahkan para ulama menyebutkannya sebagai
saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان)[16], dan ia sebagaimana
disebutkan Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) dan lainnya:
الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لَا أس لَهُ فمهدوم
وَمَا لَا حارس لَهُ فضائع
“Al-Din itu
asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia
akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”[17]
Penuturan senada disebutkan pula oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi
al-Syafi’i (w. 450 H)[18], , Imam al-Qal’i
al-Syafi’i (w. 630 H)[19], Imam Ibn al-Azraq
al-Gharnathi (w. 896 H)[20], dan lainnya. Menjaga
kemuliaan Islam dan kaum Muslim, termasuk syi’ar-syi’arnya, bagian dari apa
yang disabdakan Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Ketahuilah setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhârî, Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban)
Imam al-Baghawi
(w. 516 H) menjelaskan makna al-râ’i dalam hadits ini yakni pemelihara
yang dipercaya atas apa yang ada padanya, Nabi ﷺ memerintahkan
mereka dengan menasihati apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya, dan
memperingatkan mereka dari mengkhianatinya dengan pemberitahuannya bahwa mereka
adalah orang yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Maka al-ri’âyah:
adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan.[21] Dimana di antara
bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat dan perlindungan atas
mereka.[22]
Sikap ini yang setidaknya ditunjukkan oleh khalifah di
masa akhir kekhilafahan Islam –meski sedang dalam kondisi terpuruk-, Turki
’Utsmaniyyah, pada abad ke-19 M, ada pertunjukan Drama karya Voltaire berjudul
“Muhammad dan Kefanatikan” yang isinya menghina Nabi Muhammad ﷺ akan digelar
di Paris Perancis. Maka Dubes Khalifah Turki Utsmani di Paris segera memprotes
hal itu kepada penguasa Paris. Semula Penguasa Paris keberatan atas protes
tersebut dan mengatakan bahwa drama itu adalah kebebasan rakyat Perancis untuk
berekspresi.
Apalagi rakyat masih hangat dengan slogan Revolusi
Perancis : Liberty-Egality-Fraternity. Namun karena Dubes Khalifah
mengancamnya, akhirnya memaksa Penguasa Paris akhirnya membatalkan rencana pertunjukkan
Drama tersebut. Kemudian grup Drama itu beralih pindah ke London untuk di
pentaskan. Maka Dubes dari Sultan Abdul Hamid II dari Khilafah Turki Utsmani
yang berada di London pun memprotesnya. Ketika pemerintah London mengatakan
bahwa rakyat London memiliki hak untuk mengekspresikan kebebasan lebih besar
daripada hak rakyat Paris, maka Dubes Khalifah mengancam bahwa umat Islam
sedunia akan melakukan jihad akbar melawan pemerintah Inggris yang telah
menghina Nabi Muhammad ﷺ, maka pemerintah London pun akhirnya membatalkan rencana drama
yang menghina Nabi Muhammad ﷺ tersebut. (suara-islam.com, 03/02/2015)
Kasus penistaan ini, sudah seharusnya semakin mendorong
pada upaya penegakkan al-Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah yang menjadi thariqah
syar’iyyah penegak syari’at Islam kâffah, penjaga kemuliaan Islam
dan kaum Muslim, penegak fungsi junnah (perisai) memelihara akidah umat,
Allâh al-Musta’ân. []
[1]
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Adzkâr, Beirut: Dar
al-Fikr, 1414 H, hlm. 107.
[3] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb
al-Lughah, Ed: Muhammad ’Iwadh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet.
I, 2001, juz VI, hlm. 196; Abu al-Qasim Mahmud bin ’Amru al-Zamakhsyari
Jarullah, Asâs al-Balâghah, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, cet. I,
1419 H, juz II, hlm. 372; Abu Nashr Isma’il bin Hammad al-Jawhari, Al-Shihâh
Tâj al-Lughah wa Shihâh al-’Arabiyyah, Beirut: Dâr al-’Ilm li al-Malâyîn,
cet. IV, 1407 H, juz I, hlm. 82-83; Ahmad bin Faris al-Razi, Mu’jam Maqâyîs
al-Lughah, Dâr al-Fikr, 1399 H, juz VI, hlm. 52.
[4] Abu al-Fadhl Jamaluddin Ibn Manzhur al-Afriqi, Lisân
al-’Arab, Beirut: Dâr Shâdir, cet. III, 1414 H, juz I, hlm. 183.
[5] Abu Hilal al-Hasan bin ‘Abdullah al-‘Askari, Al-Furûq
al-Lughawiyyah, Kairo: Dâr al-‘Ilm wa al-Tsaqâfah, t.t., hlm. 254.
[6] Dalam
al-Sunnah, misalnya dalam hadits riwayat Muslim:
عن عبدالله بن مسعود -رضي الله عنه-: وفيه: فَقَالُوا : مِمَّ
تَضْحَكُ يَا رَسُولَ اللهِ ، قَالَ : مِنْ ضَحِكِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حِينَ
قَالَ : أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّي وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ؟ فَيَقُولُ : إِنِّي
لاَ أَسْتَهْزِئُ مِنْكَ ، وَلَكِنِّي عَلَى مَا أَشَاءُ قَادِرٌ (رواه مسلم)
[7] Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa
Raghâ’ib al-Furqân, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1416 H, juz
V, hlm. 148
[9] Tajuddin ‘Abdul Wahhab al-Subki, Al-Asybâh wa
al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz II, hlm. 88
[10] Ibid.
[11] Abu al-‘Abbas Syihabuddin Ahmad al-Qarafi, Al-Furûq:
Anwâr al-Burûq fî Anwâ’i al-Furûq, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418
H/1998, juz I, hlm. 302.
[12] Ali bin Muhammad al-Sayyid al-Syarif
al-Jurjani, Kitâb al-Ta’rîfât, Ed: Tim Pakar, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1403 H, hlm. 252; Muhammad ‘Amim al-Ihsan, Al-Ta’rîfât
al-Fiqhiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003, hlm. 237;
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqâhâ’, hlm.
503.
[13] Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh
Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[14] Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Maktabat Dâr
al-Bayân, cet. I, 1390 H, juz IV, hlm. 63.
[15] Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarf al-Nawawi, Rawdhat
al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, cet. III,
1412 H, juz X, hlm. 42.
[16] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd
fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[18] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Mawardi
al-Baghdadi, Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafar fî Akhlâq al-Malik, Beirut:
Dâr al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, hlm. 149.
[19] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Ali al-Qal’iy al-Syafi’i, Tahdzîb
al-Riyâsah wa Tartîb al-Siyâsah, Urdun: Maktabah al-Manâr, cet. I, t.t.,
hlm. 95.
[20] Muhammad bin ‘Ali Syamsuddin al-Gharnathiy Ibn al-Azraq,
Badâi’i al-Silk fî Thabâi’i al-Mulk, Irak: Wizârat al-I’lâm, cet. I, t.t., hlm. 109.
[21] Ibn Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Beirut:
Al-Maktab al-Islami, Cet. II, 1403 H, juz X, hlm. 61.
[22] Ibid.
Comments
Post a Comment