P
|
ublik Indonesia,
kembali ramai dengan kasus viral oknum wanita tak berhijab (baca: non
muslim/kafirah) yang memasuki masjid sembari berteriak marah, mengenakan sandal
dan membawa anjingnya masuk ke dalam ruang utama masjid. Silahkan dibaca pada
link pemberitaan ini: Ketua DKM Bantah Nikahkan Suami Wanita yang BawaAnjing
Perbuatan ini viral
menjadi bahan perbincangan khususnya di media sosial. Bagaimana kaum Muslim harus menyikapi kasus ini? Silahkan disimak!
A. Masjid: Termasuk Syi’ar Islam yang Wajib Dimuliakan
Masjid dalam Islam, jelas memiliki kedudukan
yang sangat agung, mengingat ia menjadi pusat peradaban kaum Muslim; pusat
kajian Islam dan ibadah kaum Muslim. Bertolak dari pandangan ini, jelas ia
termasuk SYI’AR ISLAM, yang wajib dimuliakan dan dijaga kemuliaannya.
Apa dasarnya? Syi’ar dalam bahasa arab
diistilahkan al-sya’irah, jamaknya al-sya’âir, kaitannya dengan
syi’ar Islam, diungkapkan dalam Mu’jam Diwan al-Adab:
الشَّعيرة: واحدَةُ الشَّعائِر، وهي: كُلُّ ما جُعِلَ
عَلَماً لطاعَةِ الله سبحانه
Al-Sya’irah: bentuk tunggal dari al-sya’air: adalah
segala sesuatu yang dijadikan sebagai simbol keta’atan pada Allah.[1]
Pengertian senada disebutkan oleh ulama pakar
fikih kontemporer, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H), dalam kamus
Bahasa Ahli Fikih:
الشعيرة ج شعائر، ما جعل علما لطاعة الله، ومنه شعائر الاسلام، وشعائر الحج
“Al-Sya’irah: jamaknya Sya’air, yakni
apa-apa yang dijadikan simbol keta’atan kepada Allah, di antaranya
simbol-simbol Islam, dan simbol-simbol haji.”[2]
Pengertian di atas, menunjukkan keumuman
maknanya. Masjid, yakni makân al-sujûd, tempat sujud atau tempat ibadah
kaum Muslim, jelas termasuk syi’ar Islam, karena menjadi pusat kajian Islam dan
ibadah kaum Muslim. Maka mengagungkan dan menjunjung tinggi syi’ar Islam,
sesungguhnya bagian dari apa yang Allah firmankan:
ذلِكَ
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ {٣٢}
”Demikianlah (perintah
Allah) dan siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya
itu timbul dari ketakwaan qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)
Yakni sikap yang lahir
dari ketakwaan kepada Allah, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H)
menjelaskan bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang
yang bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni syi’ar-syi’ar Din-Nya.[3]
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i mencontohkan, di antara bentuk syi’ar
tersebut adalah Shafa dan Marwah. Karena menurut Syaikh Nawawi, makna dari sya’âiraLlâh
adalah a’lâm al-dîn (simbol-simbol din). Maka dari itu,
Masjid termasuk syi’ar Islam yang wajib diagungkan dan dimuliakan, serta dijaga
kemuliaannya. Sama halnya dengan ”bendera tauhid”, yakni bendera yang tertulis
padanya kalimat tauhid, silahkan baca di sini: Bendera Tauhid: Syi’ar Islam yang Wajib Dijunjung
Tinggi (Kajian Tsaqafah-Part. I)
B. Agungnya Kedudukan Masjid dalam Islam
Bukti besarnya kedudukan masjid dalam Islam, dan kejelasan statusnya
sebagai salah satu syi’ar agung Islam, didukung oleh banyak sekali nas-nas
al-Qur’an dan al-Sunnah yang menggambarkan keutamaan masjid, pembangunan dan
pemeliharaannya. Allah -Ta’âlâ-
memuji siapa saja yang memakmurkan masjid-masjid-Nya, Dia berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا
اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ {١٨}
“Hanya yang
memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Taubah
[9]: 18)
Di antara
bentuk memakmurkan masjid adalah: pendirian, perbaikan, dan pemeliharaan.
Termasuk pemeliharaan atas kebersian dan kesuciannya, baik kesucian dari najis
maupun penistaan. Di sisi lain, amal perbuatan membangun masjid pun termasuk ke
dalam keumuman sedekah jariyyah, meskipun seseorang berkontribusi mengeluarkan
harta dalam jumlah yang sedikit saja, berdasarkan petunjuk hadits nabawi:
Dari Abu
Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ
بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ
وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ
بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي
صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ»
“Sesungguhnya
yang sampai kepada seorang mukmin dari amalannya dan kebaikannya setelah
meninggal dunia ialah, ilmu yang ia ajarkan dan ia sebarkan, anak shaleh yang
ia tinggalkan, mushaf Al-Qur’an yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah
yang diperuntukkan untuk ibnu sabil yang ia bangun, sungai yang ia alirkan,
sedekah yg ia keluarkan dari hartanya dalam keadaan sehat dan hidup.” (HR. Ibn
Majah, Al-Baihaqi, Khuzaimah)
Dan di antara keutamaan mengeluarkan harta
untuk masjid-masjid dan memakmurkannya, serta berkontribusi aktif dalam
pemeliharaan berkesinambungan dan pembangunannya, adalah apa yang disabdakan
dari Nabi ﷺ,
bahwa beliau ﷺ bersabda:
«مَنْ بَنَى
مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا
فِي الْجَنَّةِ»
“Siapa yang membangun masjid karena Allah
walaupun hanya seukuran lubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka
Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di surga.” (HR. Ibn Majah no. 738. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Imam Al-Sindi
berkata dalam Syarh-nya atas Sunan Ibn Majah:
وقَوْله: كَمَفْحَصِ قَطَاة. هُوَ مَوْضِعهَا الَّذِي
تُخَيِّم فِيهِ وَتَبِيض لِأَنَّهَا تَفْحَص عَنْهُ التُّرَاب، وَهَذَا مَذْكُور
لِإِفَادَةِ الْمُبَالَغَة فِي الصِّغَر وَإِلَّا فَأَقَلّ الْمَسْجِد أَنْ يَكُون
مَوْضِعًا لِصَلَاةِ وَاحِدٍ.
Sabdanya: mafhash qathâh,
adalah suatu tempat (burung) dimana di dalamnya disimpan dan dieramkan telur
(burung), karena ditutupi oleh tanah, dan hal ini disebutkan (dalam hadits)
dengan faidah mubâlaghah (superlatif) menunjukkan kecilnya hal tersebut,
hal itu menunjukkan sekecil-kecilnya ukuran masjid jika cukup digunakan untuk
shalat satu orang.
Dalam kitab Majma’
al-Zawâ’id disebutkan: “Isnâd-nya shahih dan para perawinya perawi
tsiqah. Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) berkata dalam Fath al-Bâri:
وَحَمَلَ أَكْثَر الْعُلَمَاءِ ذَلِكَ عَلَى
الْمُبَالَغَةِ، لِأَنَّ الْمَكَانَ الَّذِي تَفْحَصُ الْقَطَاة عَنْهُ لِتَضَع
فِيهِ بَيْضَهَا وَتَرْقُد عَلَيْهِ لَا يَكْفِي مِقْدَاره لِلصَّلَاةِ فِيهِ...
وَقِيلَ بَلْ هُوَ عَلَى ظَاهِرِهِ, وَالْمَعْنَى أَنْ يَزِيدَ فِي مَسْجِدٍ
قَدْرًا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ تَكُونُ تِلْكَ الزِّيَادَة هَذَا الْقَدْر، أَوْ
يَشْتَرِكُ جَمَاعَة فِي بِنَاءِ مَسْجِدٍ فَتَقَعُ حِصَّة كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ
ذَلِكَ الْقَدْر.
Banyak dari para ulama yang membawa
maknanya kepada makna mubâlaghah (superlatif), karena tempat yang
digunakan burung untuk menyimpan telurnya dan dieramkan di dalamnya, dimana
ukuran tempat ini tidak cukup untuk shalat… Dikatakan: bahkan makna istilah ini
sesuai dengan zhahir teksnya, maknanya: adanya dorongan untuk menambah ukuran
masjid yang memang dibutuhkan meski dengan ukuran tersebut, atau bermakna:
hendaknya sekelompok kaum Muslim bahu membahu membangun masjid, dimana
pihak-pihak yang terlibat berkontribusi dalam pembangunannya meskipun dengan
ukuran tersebut.
Dan dalam Shahîhain, bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
«مَنْ بَنَى
مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي
الْجَنَّةِ»
“Siapa saja yang membangun sebuah masjid demi
meraih wajah Allah, maka Allah pasti akan membangunkan baginya yang semisalnya
di Jannah-Nya.”
Al-Hafizh
al-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan besarnya pahala dari amal perbuatan ini:
يَحْتَمِل قَوْله: مِثْله، أَمْرَيْنِ: أَحَدهمَا: أَنْ
يَكُون مَعْنَاهُ : بَنَى اللَّه تَعَالَى لَهُ مِثْله فِي مُسَمَّى الْبَيْت,
وَأَمَّا صِفَته فِي السَّعَة وَغَيْرهَا فَمَعْلُوم فَضْلهَا أَنَّهَا مِمَّا لَا
عَيْن رَأَتْ وَلَا أُذُن سَمِعْت وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْب بَشَر . الثَّانِي
أَنَّ مَعْنَاهُ : أَنَّ فَضْله عَلَى بُيُوت الْجَنَّة كَفَضْلِ الْمَسْجِد عَلَى
بُيُوت الدُّنْيَا.
Sabda Nabi ﷺ “mitslahu” mengandung
dua sisi pemaknaan: Pertama, Maknanya bahwa Allah Ta’ala akan membangun
untuknya suatu tempat dinamakan al-bait, adapun sifat dari tempat
tersebut berupa ukuran luasnya, dan lain sebagainya, maka sudah diketahui bahwa
keutamaan tempat di jannah, ia tidak bisa terlihat, tidak terdengar, dan tidak
bisa diukur dengan hati manusia. Kedua, Maknanya: keutamaan tempat
tersebut dibandingkan dengan rumah-rumah di Jannah-Nya bagaikan
keutamaan antara masjid dan rumah-rumah di dunia.”
Maka jelas, terang benderang seterang mentari
di siang hari yang tak terhalang barang segumpal awan, bahwa masjid adalah
rumah Allah yang mulia dan wajib dimuliakan, dan dilindungi dari segala bentuk
penistaan. Maka tercela lah penista masjid dan pendukungnya, yakni mereka yang
mencari-cari dalih untuk membenarkan penistaan tersebut. []
Baca Link Selanjutnya: Kasus Penistaan Masjid [Bag. II]: Sikap Islam Menyikapi Penistaan Atas Masjid
[1]
Abu Ibrahim Ishaq bin Ibrahim al-Farabi, Mu’jam Diwan al-Adab, Kairo:
Dar al-Sya’b, 1424 H, juz I, hlm. 429.
[2]
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Beirut:
Dar al-Nafa’is, cet. II, 1408 H, hlm. 263.
[3] Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Tawfîq, Jakarta: Dâr al-Kutub
al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 103.
Comments
Post a Comment