![]() |
Tampilan Tulisan Nadirsyah Hosen Menyoal Hadits Bisyarah Khilafah |
=======
"Riwayat Khilafah
‘ala Minhajin Nubuwwah Tidak Dibahas dalam Kitab Utama Bidang Aqidah, Tafsir,
Hadits, Tarikh & Fiqh"
=======
Di awal dan akhir
paragrafnya pun ia mengklaim pandangan cukup kontroversial:
=======
"Hizbut Tahrir masih
saja koar-koar soal akan datangnya kembali khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah
berdasarkan riwayat yang tercantum dalam kitab Musnad Ahmad. Saya sudah pernah
bahas problematika riwayat tersebut dari sudut sanad dan matan, sekarang kita
lihat apakah riwayat ini dianggap penting atau setidaknya dibahas dalam
al-kutub al-mu’tabarah (kitab yang dijadikan rujukan utama)?"
"Jadi hadits riwayat
khilafah ‘ala minhajin nubuwwah tidak dianggap penting untuk dibahas dalam
referensi utama yang otoritatif dalam tradisi keilmuan Islam."
=======
TANGGAPAN
PERTAMA, Takhrij Hadits
Bisyarah Khilafah
Intisari penilaian para
ulama besar muhaddits soal tashhih hadits bisyarah Khilafah, sudah selesai kami
uraikan di sini:
Catatan Singkat Saya: Link Hadits Bisyarah Khilafah
Catatan Singkat Ust Yuana
Ryan T, M.Ag.: Takhrij Hadits Bisyarah Khilafah
Lengkapnya, bisa antum
simak dalam booklet Kado Untuk Nadirsyah di sini: Link Download Pdf Booklet
Seluruh penjelasan di
atas, cukup telak mempreteli tadh'if hadits bisyarah Khilafah versi
Nadirsyah, yang kami nilai cukup gegabah. Sampai di sini, Nadirsyah tampak jelas tak mampu membantah balik
argumentasi tashhih hadits bisyarah Khilafah, tak ada bantahan kecuali hanya
komentar pendek yang mengalihkan topik diskusi dan klaim sepihak, sama sekali
tak ada bantahan argumentatif balik yang berbobot ilmiah.
Komentarnya di atas dengan tulisan terbarunya yang hendak mempersoalkan hadits bisyarah Khilafah dengan
ukuran penting dan tidak penting, malah menimbulkan perdebatan baru.
KEDUA, Kritik Atas
Paradigma Nadirsyah Soal Penting Tidaknya Khilafah
Kalimatnya ini,
"sekarang kita lihat apakah riwayat ini dianggap penting atau setidaknya
dibahas dalam al-kutub al-mu’tabarah (kitab yang dijadikan rujukan
utama)?"
Sangat kentara
menunjukkan kesalahan paradigmatik dan metodologis-nya dalam mengkaji satu bab
dari bab ilmu, dalam hal ini hadits bisyarah Khilafah. Yakni menjadikan
ketiadaan "teks" dalil ini dalam kitab yang ia pilih versinya sebagai
dasar penting tidaknya hadits bisyarah KHILAFAH, seakan-akan ia mengadopsi
kaidah:
عدم العلم بالدليل دليل على عدم الدليل
"Ketiadaan ilmu atas
dalil (petunjuk) menjadi dalil atas ketiadaan dalil."
Paradigma berbahaya ini
asal usulnya justru dari kalangan filosof sesat, yang lalu dibantah para ulama,
hingga melatarbelakangi lahirnya kaidah:
عدم العلم ليس علماً بالعدم
“Ketiadaan ilmu bukan lah
bukti ilmu atas ketiadaan sesuatu.”
Kaidah ini disebutkan
para ulama semisal Syaikh Ibn Taimiyyah ketika mengkritisi filosof dan
filsafat, ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak dalam
Al-Risâlah al-Tadammuriyyah dan kumpulan ulama di bawah bimbingan Syaikh Alawi
bin Abdul Qadir al-Segaf dalam Al-Mausû’ah al-‘Aqdiyyah. Atau dalam bahasa
lebih familiar:
عدم العلم بالدليل ليس دليلا على عدم الدليل
“Ketiadaan ilmu terhadap
dalil, bukanlah dalil atas ketiadaan dalil”
Bahkan dalam tulisannya,
Nadirsyah mendadak tampak tekstualis membangun kesimpulan besar, semata-mata pada ada
tidaknya hadits tersebut dalam teks-teks kitab pilihannya, untuk membangun
framing “Dalil bisyarah Khilafah itu tidak penting”. Kesimpulan yang sangat mungkin
menimpa mereka yang menyederhanakan pembahasan, semata-mata fokus pada satu dan
dua dalil, sangat riskan.
Sejak kapan pembahasan
ilmiah, bisa diukur dari ada tidak adanya teks dalam kitab-kitab?
Dari segi metodologis
pun, cara seperti ini jelas kecacatannya, bahkan berbahaya. Tidak bisa diterima
bahkan untuk penelitian skripsi selevel S1 sekalipun. Padahal yang dibicarakan
adalah hadits nabawi dan pandangan para ulama atasnya, jelas persoalan besar, mengingat jumlah kitab yang ia nukil pun tak bisa mewakili jumlah puluhan atau bahkan ratusan juta kitab yang diwariskan ulama Islam dari masa ke masa semenjak risalah Islam turun ke dunia hingga detik ini.
Maka pada prinsipnya,
asumsi Nadirsyah Hosen soal hadits bisyarah khilafah tak penting adalah batal, tak bisa diterima dari asasnya:
كل ما بني على باطل فهو باطل
“Segala hal yang dibangun
di atas asas yang batil maka ia pun batil.”
Kaidah ini, disebutkan
Prof. Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili dalam Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmi
(juz I, hlm. 264), dan Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah al-Zamil dalam Syarh
al-Qawâ’id al-Sa’diyyah (hlm. 343).
Maka siapapun hendaknya menahan
diri untuk tidak berbicara kecuali dengan ilmu yang benar, mencakup benarnya
paradigma dan metodologi pengkajiannya, kalau tidak maka berlaku kaidah:
من تكلم في غير فنّه أتى بالعجائب
“Siapa saja yang
berbicara dalam hal yang tak dikuasainya, maka ia akan mendatangkan
perkara-perkara kontroversial.”
Kaidah ini disebutkan
oleh para ulama, sebutlah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 1379 H) dalam
Fath al-Bârî (III/584), Syaikh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
dalam Tuhfat al-Ahwadzi (I/24), Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri (w. 1353
H) dalam Faidh al-Bârî (IV/39).
Kata al-‘ajâ’ib dalam
maqalah ini maksudnya adalah hal-hal aneh, kontroversial. Menyebut hadits
bisyarah khilafah tidak penting semata-mata didasarkan pada kecacatan paradigma
dan metodologi jelas kontroversial!
KETIGA, Kedudukan
Khilafah dalam Islam
Banyak dalil besarnya
kedudukan Khilafah dalam Islam. Dari Abu Umamah al-Bahili r.a., ia berkata:
Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً
عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا،
فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ»
“Ikatan-ikatan Islam akan
terburai satu per satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang
bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah al-hukm
(kekuasaan/pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.”
(HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim)
Mengomentari hadits ini,
salah seorang ulama ahlus sunnah Irak, pakar ilmu ushul fikih dan ilmu
syari’ah, Syaikh Dr. Abdul Karim Zaydan, beliau menjelaskan: “Yang dimaksud
al-hukm di sini adalah kekuasaan yang berjalan di atas landasan Islam. Terkandung
di dalamnya dengan sejelas-jelasnya, eksistensi Khalifah yang menegakkan
kekuasaan tersebut, sedangkan yang dimaksud naqdhuhu yakni kekosongan dan
ketiadaan konsistensi padanya, Rasulullah ﷺ
telah menyandingkan hilangnya institusi kekuasaan ini dengan hilangnya ikatan
shalat padahal shalat itu wajib, menunjukkan bahwa kekuasaan ini hukumnya
wajib.
Shalat adalah rukun di
antara rukun Islam yang agung yang status hukumnya fardhu, ketika pemerintahan
disandingkan dengan urusan shalat, menunjukkan bahwa pemerintahan yang dimaksud
termasuk perkara yang fardhu untuk ditegakkan sebagaimana ibadah shalat.
Pernyataan ilmiah Dr.
Abdul Karim Zaydan di atas, dinukil pula oleh Syaikh Dr. Abdullah al-Dumaiji
dalam risâlah-nya ketika menguraikan dalil-dalil al-sunnah wajibnya
kekhilafahan.
Ungkapan ’urâ al-Islâm,
termasuk di antaranya shalat, Menunjukkan bahwa yang dimaksud ’urâ al-Islâm
adalah perkara yang sangat penting, terlebih ikatan tersebut ditautkan
(al-idhâfah) kepada Din Islam, sehingga menunjukkan bahwa perkara pemerintahan
ini merupakan perkara fondasi di antara fondasi-fondasi penyokong Islam.
Maka tidak mengherankan
jika seorang ulama besar ahli fikih dan tafsir sekelas al-Hafizh al-Qurthubi
lalu menegaskan:
وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين، والحمد لله
رب العالمين
Dan bahwa ia (al-Imâmah)
merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini dimana dengannya tegak fondasi
kaum Muslim, dan segala puji bagi Allah.
Yakni rukun din atau
pilar penegak Din Islam. Istilah rukn[un] dalam kamus bahasa ahli fikih (Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’) didefinisikan sebagai pilar, yakni sisi yang kokoh dari
sesuatu, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menuturkan:
الركن: ج أركان وأركن، الجانب الاقوى من الشئ (pillar) أركان
الكعبة: ملتقى كل جدارين فيها
Al-Rukn: jamaknya adalah
arkân dan arkan, yakni sisi yang kokoh dari sesuatu (pilar atau fondasi).
Misalnya arkân al-ka’bah: yakni tempat
pertemuan antara dua dinding di dalamnya (yakni fondasinya).
Hal ini senada
digambarkan para ulama, yang juga menegaskan kekhilafahan sebagai Tâj al-Furûdh
(mahkota kefardhuan) dalam Islam, manakala di bawahnya dinaungi banyak
penegakkan ajaran-ajaran Islam secara sempurna (kâffah), dimana takkan sempurna
penegakkan Islam dalam kehidupan kecuali dengannya, semisal penegakkan sistem
persanksian dalam Islam (nizhâm al-’uqûbât) dan lain sebagainya.
Hingga relevan jika para
ulama berijma atas wajibnya menegakkan Khilafah didasarkan pada dalil
al-Qur'an, al-Sunnah dan ijma' sahabat. Ringkasannya silahkan cek di sini: Khilafah dalam Perspektif Islam
Selengkapnya menyoal
dalil-dalil Khilafah, disajikan dengan ilmu ushul fikih dan bahasa arab
(balaghah) bisa tela’ah di buku kami: Konsep Baku Khilafah Islamiyyah: Link Informasi Buku
Kedudukan Khalifah
Berdasarkan Penjelasan Ulama Mu’tabar (Kajian Hadits & Balaghah): Link Kajian Balaghah Hadits Khilafah
Tantangan Diskusi
Setelah itu semua,
bagaimana kalau diadakan diskusi terbuka untuk mempertanggungjawabkan pandangan
masing-masing di meja diskusi terhormat?
والله أعلم بالصواب
Irfan Abu Naveed
Dosen & Penulis
Comments
Post a Comment