(Bantahan Atas Berbagai Penyesatan Soal
Khilafah)
Oleh Irfan Abu Naveed | Peneliti &
Penulis Kajian Balaghah Dan Hadits Nabawi
Dari Abu Umamah al-Bahili r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
«لَتُنْقَضَنَّ
عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ
النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ»
“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu per satu, setiap kali satu
ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama
kali terburai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang terakhir adalah
shalat.” (HR. Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim)
a. Ungkapan ’Urâ Al-Islâm Yakni Ikatan-Ikatan Islam: Al-Hukm wa
Al-Shalât
Ungkapan ’urâ al-Islâm, termasuk di antaranya shalat, Menunjukkan bahwa
yang dimaksud ’urâ al-Islâm adalah perkara yang sangat penting, terlebih ikatan
tersebut ditautkan (al-idhâfah) kepada Din Islam, sehingga menunjukkan bahwa
perkara pemerintahan ini merupakan perkara fondasi di antara fondasi-fondasi
penyokong Islam.
Maka tidak mengherankan jika seorang ulama besar ahli fikih dan tafsir
sekelas al-Hafizh al-Qurthubi lalu menegaskan:
وأنها ركن من أركان
الدين الذي به قوام المسلمين، والحمد لله رب العالمين
Dan bahwa ia (al-Imâmah) merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama
ini dimana dengannya tegak fondasi kaum Muslim, dan segala puji bagi Allah.
Istilah rukn[un] dalam kamus bahasa ahli fikih (Mu’jam Lughat
al-Fuqahâ’) didefinisikan sebagai pilar, yakni sisi yang kokoh dari sesuatu,
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menuturkan:
الركن: ج أركان
وأركن، الجانب الاقوى من الشئ
(pillar) أركان
الكعبة: ملتقى كل جدارين فيها
Al-Rukn: jamaknya adalah arkân dan arkan, yakni sisi yang kokoh dari sesuatu
(pilar atau fondasi). Misalnya arkân al-ka’bah:
yakni tempat pertemuan antara dua dinding di dalamnya (yakni
fondasinya).
Hal ini senada digambarkan para ulama, yang juga menegaskan kekhilafahan
sebagai Tâj al-Furûdh (mahkota kefardhuan) dalam Islam, manakala di bawahnya
dinaungi banyak penegakkan ajaran-ajaran Islam secara sempurna (kâffah), dimana
takkan sempurna penegakkan Islam dalam kehidupan kecuali dengannya, semisal
penegakkan sistem persanksian dalam Islam (nizhâm al-’uqûbât) dan lain sebagainya.
b. Penyandingan Ikatan Al-Hukm dengan Al-Shalât
Shalat adalah rukun di antara rukun Islam yang agung yang status
hukumnya fardhu, ketika pemerintahan disandingkan dengan urusan shalat,
menunjukkan bahwa pemerintahan yang dimaksud termasuk perkara yang fardhu untuk
ditegakkan sebagaimana ibadah shalat.
Menguatkan pendalilan di atas, Syaikh Abdullah al-Dumaiji lalu
menguatkannya dengan hadits yang mengandung perintah berpegang teguh pada
sunnah Rasulullah ﷺ dan al-khulafâ’ al-râsyidîn, dari
Al-’Irbadh bin Sariyah r.a. ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
«عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah
al-râsyidîn al-mahdiyyîn (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah
oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Pesan mendalam yang mulia Rasulullah ﷺ
dalam hadits yang agung ini, digambarkan dalam bentuk kalimat balaghiyyah:
al-isti’ârah al-tamtsîliyyah, dimana Rasulullah ﷺ
meminjam ungkapan “عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ”,
gigitlah dengan gigi geraham yang kuat, untuk menggambarkan konsistensi
berpegang teguh terhadap sunnah, yakni jalan hidupnya Rasulullah ﷺ
dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn, sebagaimana digambarkan oleh Al-Hafizh Ibn Rajab
al-Hanbali (w. 795 H).
Lafal al-khulafâ’ adalah jamak dari kata khalifah, menunjukkan cakupan
sunnah dalam membangun kehidupan umat di atas landasan Islam (al-Qur’an dan
al-Sunnah). Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali menguraikan:
إنما وصف الخلفاء
بـ “الراشدين”؛ لأنهم عرفوا الحقّ، وقَضَوا به، فالراشد ضد الغاوي، والغاوي من عرف
الحق وعمل بخلافه، وقوله: “المهديين” يعني أن الله يَهديهم للحق، ولا يُضلهم عنه
Penyifatan al-khulafâ’ dengan sifat al-râsyidîn, karena mereka
mengetahui kebenaran, dan menghukumi manusia dengannya, karena lafal al-rasyid
adalah antonim dari al-ghâwi. Istilah al-ghâwi yakni orang yang mengetahui
kebenaran namun amal perbuatannya bertolak belakang dengannya. Sabda baginda ﷺ
al-mahdiyyîn, yakni bahwa Allah Swt menunjuki mereka pada jalan kebenaran,
tidak tersesat darinya.
Dalam hal ini, Ibn Rajab, mencirikan kaum yang disebut al-rasyidin
adalah mereka yang mendapatkan petunjuk dan mampu mengamalkannya -wa biLlâhi
al-taufîq-. Salah satu sunnah (jalan)
para al-khulafâ’ al-râsyidûn, digambarkan oleh Syaikh Abdullah al-Dumaiji:
Telah diriwayatkan secara mutawatir dari sikap para sahabat, bahwa mereka
membai’at Abu Bakar r.a. memegang kekhilafahan setelah baginda Rasulullah ﷺ
kembali keharibaan-Nya, kemudian Abu Bakar mengangkat Umar bin al-Khaththab
r.a. sebagai penggantinya, kemudian ’Umar mengangkat penggantinya satu dari
enam orang yang terpilih (menjadi bakal calon khalifah) yakni ’Utsman bin
’Affan r.a., kemudian pasca syahidnya ’Utsman r.a., para sahabat membai’at ’Ali
r.a. pemegang tampuk kekhilafahan. Ini merupakan sunnah mereka –radhiyaLlâhu
’anhum- dalam menegakkan kekhilafahan, dan tidak ada (dari mereka) sikap
mengabaikan pengangkatan Khalifah, maka wajib hukumnya meniti jalan mereka
dalam perkara tersebut, berdasarkan perintah Nabi ﷺ.
Diperjelas hadits-hadits lainnya yang menunjukkan wajibnya keta’atan
kepada penguasa dalam perkara yang tidak ada kemaksiatan di dalamnya;
hadits-hadits bai’at berikut perintah Rasulullah ﷺ
untuk mencukupkan diri dengan bai’at pertama dan pertama; keharaman memisahkan
diri dari para penguasa Muslim; dan anjuran untuk memenggal kepada orang yang
datang menyelisihi Imam yang haq (sah secara syar’i). Seluruh hadits-hadits
ini, berkonsekuensi pada wajibnya keberadaan penguasa muslim, hal ini
menunjukkan pada kewajiban mengangkat Khalifah, waLlâhu a’lam bi al-shawâb.[]
Comments
Post a Comment