Jawaban Atas Kebingungan Memaknai Lafal "Al-Imarah" Dalam Bahasa Imam Al-Ghazali (Bukan Republik, Melainkan Khilafah)
Irfan Abu Naveed
Dosen Fikih Siyasah, Bahasa Arab
Dosen Fikih Siyasah, Bahasa Arab

A
|
da segelintir orang penganut bias konsep khilafah dalam diskusi, yang tampak gusar tak mampu membantah kejelasan hujjah mengenai kebakuan khilafah, lalu tiba-tiba menuduh saya melakukan pencatutan maqalah Imam Abu Hamid al-Ghazali hanya karena menukil sepotong pernyataannya, yang saya nukil hanya lafal "الخلافة" dan meninggalkan lafal "الإمارة". Padahal nukilan tersebut sama sekali tak mengubah hakikat dari maksud maqalah Imam al-Ghazali, sesuai konteksnya dinukil ringkas: "li kulli maqam[in] maqal[un].
Hal
itu karena mereka seakan mendapatkan angin segar dengan menakwilkan lafal
"الإمارة"
maknanya BUKAN KHILAFAH, yang tampak hendak mereka biaskan pada sistem
pemerintahan di luar Islam, semisal republik untuk menjustifikasi adanya bias
konsep sistem pemerintahan dalam Islam.
===========
Fulan
menuduh: "Saya hanya kritik pencatutan antum tadi yg sudah jelas2 berdusta
dengan qoul imam ghozali dengan memotong teks arabnya"
===========
Qultu:
Ana
nukil sepotong kata "الخلافة"
bukan "الخلافة والإمارة",
karena konteksnya cukup kalimat ringkasnya saja, sesuai dengan konteks yang
dibicarakan dalam perdebatan. Karena pada dasarnya kalimat lengkap dari maqalah
Imam al-Ghazali tersebut memperjelas apa yang ana tegaskan soal kebakuan
Khilafah, sebaliknya bahkan semakin menunjukkan kesalahan mereka yang
membiaskan konsepsi khilafah.
===========
Fulan
menuduh: "Urusan Imarah/Khilafah. Tanda ini "/" anda maknai
"dan" atau "atau"?"
===========
Qultu:
Teksnya
menyebutkan "الخلافة والإمارة"
bukan garis miring, garis miring dalam ilmu al-imla' termasuk 'alamat al-tarqim
(tanda baca) diistilahkan "al-khath al-ma'il", dalam teks tidak ada
garis miring melainkan huruf waw.
Kedua
kata ini dihubungkan dengan huruf waw, baik di kitab al-Ihya'-nya Imam
al-Ghazali maupun di kitab Faidh al-Qadir-nya Imam al-Munawi.
Huruf
waw itu huruf apa dalam ilmu bahasa arab? Ia termasuk huruf al-ma'any,
ghalib-nya satu huruf memiliki fungsi lebih dari satu.
Apa fungsi huruf waw dalam maqalah Imam al-Ghazali? Untuk memahaminya, bagi awam cukup merujuk kepada penjelasan ilmiah para ulama, tak perlu membebani diri dengan belajar khusus ma'any al-huruf, untuk memahami makna huruf "و" dalam teks di atas, jadi jangan pakai ilmu terjemah bahasa indonesia saja, nah untuk mendudukkan maksud dari Imam al-Ghazali di atas, pahami pakai ilmu ma'any al-huruf berikut qara'in di balik kalimat tersebut menurut qa'ilnya. Berkaitan dengan huruf al-ma'any, bisa dirujuk kitab induk seperti kitab "Mughni al-Labib 'An Kitab al-A'arib" karya Imam Ibn Hisyam (w. 761 H) atau kitab "Ma'ani al-Huruf" karya Ali bin Isa Abu al-Hasan al-Mu'tazili (w. 384 H).
Hanya
saja di sini saya takkan merinci masalah lughawiyyah seperti ini. Intinya,
lantas apa makna kalimat al-Ghazali di atas? Makna al-imarah dalam teks
al-Ghazali bukan "REPUBLIK", bukan "MONARKI", dsb yang
digagas oleh manusia. Melainkan Khilafah itu sendiri. Perhatikan maqalah Imam
al-Ghazali berikut ini dalam nukilan Imam al-Munawi dalam kitab Faydh al-Qadir:
ثلاثة لا ترد دعوتهم الإمام العادل
تنبيه: قال الغزالي : فيه أن الإمارة
والخلافة من أفضل العبادات إذا كانتا مع العدل والإخلاص ولم يزل المتقون يحترزون
منها ويهربون من تقلدها لما فيها من عظيم الخطر إذ تتحرك به الصفات الباطنة ويغلب
على النفس حب الجاه والاستيلاء ونفاذ الأمر وهو أعظم ملاذ الدنيا.
Pahami
di mulai dari lafal al-imam dalam hadits yakni al-imam al-'adil itu maknanya
makrifat, yakni al-khalifah, karena adil menjadi syarat khalifah, bukan syarat
pemimpin negara dalam konsepsi pemerintahan di luar Islam semisal presiden.
Sebutkan syarat presiden dalam sistem politik? Adakah syarat adil? Tidak ada!
Adil
itu maknanya kebalikan zhalim, salah satu kezhaliman: mengganti hukum Islam
semisal hudud dan qishash dengan hukum yang menyalahinya. Lihat petunjuk QS.
Al-Ma'idah [5]: 45.
Maka
konteks pembicaraan para ulama, baik dibalik istilah Khilafah atau Imarah itu
adalah KEPEMIMPINAN ISLAM. Karena baik IMARAH, dengan personnya diistilahkan
"Amir" jamaknya "Umara'" adalah mutaradif (sinonim) dari
KHILAFAH dalam bahasa arab personnya diistilahkan "Khalifah" jamaknya
"Khulafa'".
Jelas
dengan berbagai qara'innya, tak bisa sembarang ditakwilkan. Di sisi lain,
al-Ghazali sendiri hidup di era kekhilafahan, konteksnya jelas beliau sedang
berbicara tentang KHILAFAH, bukan REPUBLIK dan yang semisalnya dari
sistem-sistem gagasan barat.
Imam
Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Ihyâ menegaskan eksistensi kekhilafahan:
أحكام الخلافة والقضاء والسياسات بل أكثر أحكام الفقه مقصودها حفظ مصالح الدنيا ليتم بها مصالح الدين
“Hukum
- hukum mengenai Khilafah, peradilan dan politik bahkan kebanyakan hukum -
hukum fiqih itu tujuannya ialah menjaga berbagai kemashlahatan dunia untuk menyempurnakan
dengannya berbagai kemashlahat ad-Din”
(al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, 2/108)
Imam Abu Hamid al-Ghazali pun berkata:
أما الخلافة والإمارة فهي من أفضل العبادات إذا كان ذلك مع العدل والإخلاص وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ليوم من إمام عادل خير من عبادة الرجل وحده ستين عاما
“Adapun
Khilafah dan Imarah maka termasuk ibadah yang paling utama apabila disertai
keadilan dan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
satu hari dari Imam yang adil lebih baik dari ibadah seorang laki - laki selama
60 (enam puluh) tahun”.
(Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, 3/324)
Jelas
bukan, konteksnya adalah KHILAFAH itu sendiri. Seharusnya hati-hati, bahasa
fuqaha adalah bahasa fikih, wajib dipahami kembali kepada tradisi fuqaha itu
sendiri. Contoh salah satu dalil ilmiah mengapa IMARAH adalah mutaradif dari
KHILAFAH dalam maqalah para ulama adalah ini:
Menurut
Al-Anbari, khalifah pun dijuluki Amîr al-Mu’minîn, karena khalifah berhak
memerintah mereka, hingga mereka mendengar perintahnya dan sejalan dengan
perkataannya. Dan yang pertama kali dijuluki Amîr al-Mu’minîn adalah ‘Umar bin
al-Khaththab r.a, Al-Khawarizmi (w. 387 H) pun menegaskan hal tersebut.[1] Hal
itu sebagaimana ditegaskan dalam banyak riwayat.
Hal ini sejalan dengan penjelasan para ulama, bahwa Khilafah, Imarah, dan Imamah adalah mutaradifah (sinonim).
Imam Al-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dan Imarah dalam kitab Mukhtâr al-Shihâh hlm. 186:
الخلافة أو الإمامة العظمى، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين
"Khilafah, Imamah al-‘Uzhma, atau Imarah al-Mukminin semuanya memberikan makna yang satu (sama) dan menunjukkan tugas yang juga satu (sama), yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum Muslim."[3]
Hal ini sejalan dengan penjelasan para ulama, bahwa Khilafah, Imarah, dan Imamah adalah mutaradifah (sinonim).
Imam Al-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dan Imarah dalam kitab Mukhtâr al-Shihâh hlm. 186:
الخلافة أو الإمامة العظمى، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين
"Khilafah, Imamah al-‘Uzhma, atau Imarah al-Mukminin semuanya memberikan makna yang satu (sama) dan menunjukkan tugas yang juga satu (sama), yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum Muslim."[3]
Syaikh Dhiyauddin al-Rais dalam kitabnya, Al-Nazhariyât al-Siyâsiyah al-Islâmiyyah hlm. 92 juga mengatakan:
يلاحظ أن الخلافة والإمامة الكبرى وإمارة المؤمنين ألفاظ مترادفة بمعنى واحد
"Patut diperhatikan bahwa Khilafah, Imamah al-Kubra, dan Imarah al-Mu’minin adalah istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama." [4]Personnya, diistilahkan Khalifah, Imam dan Amir al-Mu'minin, seluruhnya pun sinonim! Al-Hafizh al-Nawawi dalam Raudhah al-Thâlibîn (X/49) menegaskan hal yang sama:
يجوز أن يقال للإمام :الخليفة، والإمام، وأمير المؤمنين
"Boleh saja Imam itu disebut dengan Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin."[5]
NASIHAT
Imam
Tajuddin al-Subki (w. 771 H):
فكثيرا ما رأيت من يسمع لفظة فيفهمها
على غير وجهها
Aku
melihat banyak orang yang mendengar sebuah perkataan, namun memahaminya bukan
seperti apa yang dimaksudkan.[2]
Catatan Kaki:
[1]
Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Mafâtîh al-‘Ulûm, Ed:
Ibrahim al-Abyari, Dâr al-Kutub al-‘Arabi, cet. II, t.t., juz I, hlm. 126.
[2]
Tajuddin Abdul Wahhab bin Taqiyuddin al-Subki, Qâ'idah fi al-Jarh wa
al-Ta'dil, Beirut: Dâr al-Basyâ'ir, cet. V, 1410 H, hlm. 53.
[3] Muslim al-Yusuf, Daulah al-Khilâfah al-Râsyidah wa al-‘Alaqât al-Dawliyah, hlm 23; Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, VIII/270.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, VIII/465.
[5] Prof. Dr. Sulaiman al-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ, hlm. 34.
[3] Muslim al-Yusuf, Daulah al-Khilâfah al-Râsyidah wa al-‘Alaqât al-Dawliyah, hlm 23; Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, VIII/270.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, VIII/465.
[5] Prof. Dr. Sulaiman al-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ, hlm. 34.
Comments
Post a Comment