Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bag. III): Kritik Atas Nadirsyah: Hadits Bisyarah Khilafah
![]() |
SC Tulisan Nadirsyah Hosen Soal Khilafah |
Irfan Abu Naveed
[Dosen Fikih Siyasah, Manthiq
& Bahasa Arab, Narasumber Kajian Tafsir & Balaghah, Penulis Buku Konsep
Baku Khilafah Islamiyyah]
Nadirsyah mengklaim:
Para ulama tafsir itu bahkan tidak
mengutip riwayat Musnad Ahmad soal ini, yang amat populer di kalangan HTI,
namun sudah pernah saya jelaskan dengan tuntas dan detil bahwa sanadnya pun
lemah dan bermasalah.
Qultu:
Pertama, Itu kesimpulan prematur yang terlalu
asumtif, sudah saya jelaskan kaidah mendudukkan pembahasan para ulama soal
tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 dan hadits khilafah di atas manhaj kenabian dalam
tulisan sebelumnya.
Kedua, Benarkah hadits berikut ini hadits
dha’if? Dari
Hudzaifah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ
اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ
خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ
اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ
أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ
مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا
إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ»
“Di
tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada.
Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia
berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj
kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan
mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan
yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan
mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang
menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya
akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.”
(HR. Ahmad dalam Musnad-nya
(no. 18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam
Sunan-nya (no. 2796))
Benarkah hadits ini dha’if dan tertolak?
Qultu:
Pertama, Penilaian hadits itu ada konvensinya, dan konvensinya yakni termasuk
shalahiyyat para ulama muhaddits. Tidak sembarang orang boleh mengomentari:
Hadits ini dha’if, hadits ini shahih tanpa ilmunya. Terlebih tidak jika
penilaian hadits tersebut diikuti dengan sikap gegabah, bahwa hadits ini
tertolak, tidak boleh digunakan dalil, tak boleh diamalkan. Jelas itu semua
sikap gegabah, padahal membutuhkan ilmunya para ulama. Pada prinsipnya
penilaian saya dan Nadirsyah tak bisa diterima begitu saja karena sama-sama
bukan ulama muhaddits! Maka wajib dikembalikan kepada penilaian para ulama
ahlinya.
Kedua, Penilaian para ulama terkait hadits khilafah jelas tidak seperti
penilaian Nadirsyah. Hadits ini merupakan
hadits yang maqbul dijadikan sebagai hujjah, al-Hafizh al-‘Iraqi (w. 806
H),dalam kitab Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-‘Arab (hlm. 176) mengomentari: “Hadits ini hadits shahih, Imam Ahmad
meriwayatkannya dalam Musnad-nya.”; Dawud bin Ibrahim tinggal di Bashrah,
Abu Dawud al-Thayalisi dan Ibn Hibban men-tsiqqah-kannya, selebihnya adalah
perawi yang dijadikan hujjah dalam al-shahih.
Setelah menukil
penilaian hadits al-Hafizh al-’Iraqi di atas, Syaikh Abu al-Turab Sayyid bin
Husain al-‘Affani pun dalam A’lâm wa Aqzâm fî Mîzân al-Islâm (I/376)
menegaskan: “Hadits ini merupakan hadits shahih yang menegaskan kembalinya
Khilafah Islamiyyah.” Dalam ta’liq-nya atas Musnad Ahmad, Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad hadits
ini hasan”.
Maka, siapa yang lebih layak dipercaya menyoal penilaian dan penyikapan
atas hadits ini? Semakin aneh, jika pihak yang mempersoalkan hadits ini berasal
dari kelompok yang memang menerima hadits dha’if dalam wilayah fadhâ’il
al-‘amal. Maka intinya jelas: Penilaian
terhadap suatu hadits wajib didasari ilmu, misalnya apakah ia shahih atau
dha’if dan lainnya; jelas ada konvensinya, yang berhak menilai adalah muhaddits,
bukan sembarang orang. Maka tikaman mereka yang tidak jelas keilmuan dan
kepakarannya di bidang hadits, namun tergesa-gesa memvonis dha’if hadits
ini semata-mata berbekal pengetahuannya (yang salah paham) terhadap jarh (kritik)
atas salah seorang perawi, jelas tidak ilmiah padahal duduk persoalannya tak
sesederhana itu. Kondisi oknum ini, menggambarkan apa yang disinggung para
ulama:
إنَّ الرَّجُلَ إذا تكلَّم في غير فَنِّه أتى بالعجائب
Sesungguhnya
seseorang itu jika berbicara di luar disiplin ilmunya pasti mendatangkan
hal-hal kontroversial.
Tak cukup sampai
di sana, yang lebih mengherankan, dari kesalahpahaman ini mereka menafikan
secara mutlak perjuangan penegakkan Khilafah. Apa yang diperingatkan Imam Malik
cukup relevan, dari Ibn Wahb, ia mengatakan telah mendengar Imam Malik
r.a. berkata:
الْعَجَلَةُ فِي الْفَتْوَى نَوْعٌ مِنَ الْجَهْلِ
وَالْخُرْقِ
“Ketergesa-gesaan
dalam berfatwa merupakan jenis kebodohan dan kebingungan.” (Al-Baihaqi, Al-Madkhal
ilâ al-Sunan al-Kubrâ’ (atsar no. 817); Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah
(I/306))
Para ulama pun
menjadikan hadits yang agung di atas sebagai bisyârah tegaknya kembali periode
Khilafah di atas manhaj kenabian, dimana hadits yang agung ini mengandung informasi penting mengenai lima
periode kepemimpinan politik yang akan dialami oleh kaum Muslim sejak masa
kenabian, yakni:
1.
Periode Kenabian (Nubuwwah);
2.
Periode Khilafah yang Tegak di Atas Manhaj Kenabian (Khilâfat[an]
’alâ Minhâj al-Nubuwwah);
3.
Periode Penguasa yang Zhalim (Mulk[an] ‘Âdhdh[an]);
4.
Periode Penguasa yang Diktator (Mulk[an] Jabriyyat[an]);
5.
Periode Khilafah yang Tegak di Atas Manhaj Kenabian (Khilâfat[an]
’alâ Minhâj al-Nubuwwah)
Ketiga, Lalu, bagaimana penjelasan para
ulama soal hadits ini?
Menurut hadits yang
agung ini, periode pertama kekhilafahan pasca masa kepemimpinan politik
nubuwwah adalah periode khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adalah periode
Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian dalam mengatur urusan umat (siyâsah).
Al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam Mirqât
al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh (VIII/3376) menjelaskan bahwa makna ’alâ minhâj al-nubuwwah,
yakni metode kepemimpinan yang sesuai dengan manhaj kenabian; tegak di atas
asas al-Qur’an dan al-Sunnah, serta berpegang teguh padanya dengan menegakkan
keadilan.
Hadits ini pun menunjukkan
secara jelas penggunaan istilah khilafah untuk mewakili sistem pemerintahan
Islam, ia adalah penyebutan (al-ism) yang memiliki landasan nushûsh
syar’iyyah secara jelas (sharîh[an]) dari al-Qur’an dan al-Sunnah,
bukan istilah yang semata-mata digagas oleh para ulama Islam, yang
menggambarkan adanya konsepsi pemerintahan dalam Islam, dalam bahasa para ulama
yakni: Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm.
Para ulama sepakat
bahwa periode Khilafah Rasyidah adalah periode Khilafah yang berjalan di atas manhaj
kenabian, yakni periode: Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, Khalifah Umar bin
al-Khaththab, Khalifah ’Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu
’anhum-, sebagian ulama -salah satunya Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i
(w. 1316 H) dalam Sullam al-Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh (hlm. 38)-
menambahkan masa kekhilafahan Khalifah al-Hasan bin Ali r.a. yang berjalan
selama enam bulan, termasuk masa khilafah yang mengikuti manhaj kenabian,
sehingga hitungannya genap menjadi tiga puluh tahun.
Al-Mulla Ali
al-Qari ketika menjelaskan hadits ini menukil dalil hadits, dari Safinah r.a.
ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً، ثُمَّ مُلْكًا بَعْدَ ذَلِكَ»
“Kekhilafahan dalam
umatku tiga puluh tahun, kemudian setelahnya masa mulk[un].” (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi)
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 21928), al-Hafizh Ibn
Rajab al-Hanbali menyebutkan dalam al-Jami’ (II/775): ”Sungguh Imam Ahmad telah
men-shahih-kannya”, Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad-nya hasan”;
Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2226), Abu Isa mengomentari: “Ini hadits
hasan”.
Hadits ini, dalam
perspektif cabang ilmu yang sangat mapan, ilmu balaghah (khususnya ilmu
al-ma’ani), sama sekali tak mengandung petunjuk pembatasan, dalam bahasa yang
lebih normatif, secara redaksional tak mengandung qarâ’in: qashr (pembatasan),
yakni tidak ada petunjuk dalam redaksinya, bahwa khilafah hanya tiga
puluh tahun. Artinya, mereka yang menerjemahkan: “kekhilafahan dalam
umatku hanya tiga puluh tahun”, bisa dikatakan
gegabah karena ketidakpahamannya pada ilmu bahasa arab, atau tahu tapi jika
disengaja maka termasuk kedustaan mengatasnamakan baginda Rasulullah ﷺ.
Kesalahan
penerjemahan ini semakin jelas, tatkala kita mengembalikan hadits ini kepada
ilmunya para ulama mu’tabar:
Al-Hafizh Ibn Rajab
al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (II/122), menjelaskan
bahwa Imam Ahmad berhujjah dengan hadits ini, atas kekhilafahan para khalifah
yang empat. Meski lafal hadits ini menyebutkan bahwa kekhilafahan setelah
Rasulullah ﷺ tiga puluh
tahun, namun tidak berarti bahwa setelah itu tidak ada kekhilafahan sama sekali.
Dibuktikan dengan hadirnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bahkan digolongkan
para ulama ke dalam golongan al-khulafâ’ al-râsyidîn karena keadilannya,
sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam al-Jâmi’,
ini pula yang menjadi pandangan Syaikh al-Masyayikh al-’Allamah Nawawi
al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam al-Munâjât Syarh Safînat
al-Shalâh.
Bahkan kekhilafahan
sahabat Mu’awiyyah r.a. yang mengawali era Khilafah Umayyah pun ditegaskan oleh
ulama besar madzhab Maliki, Imam
Bahkan al-Hafizh
Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (XII/696), menyebutkan
bahwa para ulama sepakat bahwa ia (Khalifah Umar bin Abdul Aziz), termasuk
jajaran imam yang adil, termasuk al-khulafâ’ al-râsyidîn dan imam yang
berdiri di atas petunjuk. Ibn Katsir lalu menggolongkannya ke dalam jajaran
khalifah yang disebutkan baginda Rasulullah ﷺ, dari Jabir bin Samurah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا يَزَالُ
الدِّينُ قَائِمًا، حَتَّى يَكُونَ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً مِنْ قُرَيْشٍ»
“Urusan Din ini
senantiasa tegak, hingga ada dua belas khalifah, seluruhnya dari keturunan
Quraysyi.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad. Lafal Ahmad)
HR. Muslim dalam Shahih-nya;
Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4281); Ahmad dalam Musnad-nya (no.
20805), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hadits shahih, ini
isnadnya hasan, al-Muhajir bin Mismar shaduq husn al-hadits, para perawi
selainnya perawi isnad tsiqat, perawi shahih.” Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika
menukil hadits tentang ini pun mengomentarinya sebagai hadits shahih.
Dengan kata lain,
hadits yang mengabarkan masa tiga puluh tahun
kekhilafahan di atas, tak lantas menegasikan
kemungkinan tegaknya kembali sistem khilafah. Karena lafal khilafah dalam
hadits “khilafah 30 tahun” ini merupakan lafal muthlaq yang di-taqyîd
(dibatasi) oleh hadits hudzaifah “khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah”,
berdasarkan kaidah ushul:
الْمُطلق يجْرِي على إِطْلَاقه مَا لم يقم دَلِيل التَّقْيِيد
نصا أَو دلَالَة
Lafal muthlaq tetap dalam
kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya, baik dalil berupa nas
maupun dilâlah.
Kaidah ini, banyak
disebutkan para ulama ushul, salah satunya Syakh Ahmad
al-Zarqa, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (hlm. 323). Artinya, kehilafahan yang berjalan selama tiga puluh tahun
adalah khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adapun era pemerintahan setelahnya
tetap dinilai para ulama mengadopsi sistem khilafah, namun bukan khilâfah
yang ideal berjalan di atas manhaj kenabian (‘alâ minhâj al-nubuwwah), hingga
datang masa mulk[an] jabriyyat[an] yakni periode adanya para penguasa
diktator yang menyalahi syari’ah pasca runtuhnya Khilafah ’Utsmaniyyah pada
tahun 1924 M.
Dan periode terakhir
adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ini
merupakan bisyârah (berita gembira) akan tegaknya kembali Khilafah
setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat.
Jika riwayat ini digabung dengan riwayat lain yang semakna, yaitu riwayat akan
masuknya Islam di setiap rumah, hadits al-waraq al-mu’allaq, hadits
Khilafah turun di bumi al-Quds, hadits mengenai Dâr al-Islâm kaum Mukmin
berpusat di Syam, hadits hijrah setelah hijrah, hadits al-ghurabâ’, hadits
al-mahdi, dan hadits akan ditaklukkannya Roma, maka makna tersebut
bahkan bisa sampai pada tingkat mutawatir (Muhammad
al-Syuwaiki, Al-Tharîq ilâ Daulat al-Khilâfah; Hafizh Abdurrahman, Khilafah
Islam dalam Hadist Mutawatir bi al-Ma’na, Bogor: al-Azhar Press, Cet. I,
1424 H/2003).
Di antara para
ulama dan tokoh mu’ashirin yang menegaskan khabar tegaknya
kembali Khilafah di atas manhaj kenabian adalah: Al-Qadhi al-’Allamah
Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani (w. 1397 H), al-’Allamah Abdul Qadim Zallum,
Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Dr.
Thariq Suwaidan, dan lainnya, termasuk para penyusun buku-buku kajian Islam
yang merekam akhbâr akhir zaman, semisal Syaikh Abu al-Asybal Hasan
al-Zuhairi dalam kajian Syarh Shahîh Muslim, yang
menjawab pertanyaan: “Apakah kekhilafahan di atas manhaj kenabian akan muncul
pada era kekhilafahan Imam al-Mahdi atau sebelumnya?” Abu al-Asybal menjawab,
bahwa yang rajih, bumi akan dilingkupi oleh kekhilafahan sebelum
era Imam al-Mahdi dan turunnya Nabi Isa a.s., dalam kajian berbahasa arab yang
disebarkan oleh islamweb.net.
Kalimat
khilâfat[an] ‘alâ minhâj al-nubuwwah mengandung petunjuk adanya manhaj
kenabian dalam mengatur masyarakat. Hal itu ditegaskan para ulama yang
menyifatinya sebagai manhaj siyasi yang tegak di atas fondasi akidah Islam dan
mengatur masyarakat dengan aturan syari'at Islam dalam setiap aspek kehidupan. Menariknya
dalam kajian kebahasaan, kalimat (baca: syibh al-jumlah) “’alâ minhâj
al-nubuwwah” merupakan sifat dari kata khilâfah, sesuai kaidah
bahasa:
الجُمَلُ بَعْدَ النَّكِرَاتِ صِفَاتٌ
“Kalimat-kalimat
setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.” (Ibn Hisyam, Mughnî
al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb (hlm. 560))
Kalimat-kalimat
(al-jumal) yang dimaksud dalam kaidah ini termasuk bentuk “syibh
al-jumlah” seperti ungkapan ’alâ minhâj al-nubuwwah, yang termasuk syibh
al-jumlah karena didahului huruf jarr (‘alâ) diikuti kata
benda yang di-majrur yakni minhaj, di sisi lain kata benda yang
disifatinya adalah kata benda tanpa alif lâm, yakni nakirah berupa
kata khilâfat[an]. Sehingga menunjukkan secara jelas bahwa manhaj
kenabian merupakan manhaj istimewa bagi sistem kekhilafahan yang wajib
ditegakkan, menegaskan adanya kebakuan dan keistimewaan sistem pemerintahan dan
tata kelola kenegaraan dalam Islam.
Apa
makna khilafah ini? Al-Imam al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam
Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh (VIII/3376), menjelaskan:
(على منهاج النبوة) أي: طريقتها الصورية
والمعنوية
“(Di atas manhaj
kenabian) yakni metodenya yang tersurat dan tersirat.”
Yakni salafuna al-shalih
meneladani metode kenabian dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Metode
kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian dalam memelihara urusan Din ini,
dan mengatur urusan dunia dengan akidah Islam sebagai fondasinya, dan syari'at
Islam sebagai aturannya sebagaimana ditegaskan para ulama.
Hadits Pendukung:
Hadits Membentangnya Kekuasaan Kaum Muslim Ke Seluruh Penjuru Dunia
Rasulullah ﷺ bersabda:
Imam al-Khaththabi (w. 388
H) menguraikan bahwa makna kalimat zawâlî al-ardha, yakni menguasainya dan
menyatukannya. Dimana beliau pun meluruskan asumsi keliru sebagian orang yang
memahami frasa minhâ (darinya) dalam hadits di
atas, maknanya bukan bermakna sebagian dari kekuasaan diraih Rasulullah ﷺ tersebut (al-tab’îdh), melainkan keseluruhan
darinya, dari Timur hingga Barat, namun diraih dan ditaklukkan secara bertahap,
juz[an] juz[an] (bagian demi bagian),
hingga menguasai seluruhnya.[1]
Mencakup dua pembendaharaan bumi, dengan bahasa kiasan (majazi): al-ahmar yakni emas, dan al-abyadh yakni perak.[2]
«إِنَّ اللهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ، فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا، وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا، وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ: الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَض»
“Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku darinya, dan aku dianugerahi dua pembendaharaan yakni merah (emas) dan putih (perak).” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi)
Al-Hafizh al-Nawawi al-Syafi’i
(w. 676 H) menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa
kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) sebagian
besarnya dari arah Timur dan Barat, inilah yang telah terjadi. Adapun dari arah Selatan dan Utara maka
itu lebih kecil jika dibandingkan dengan
arah Timur dan Barat.[3] Dalam
hal ini, maksud di balik kalimat “Timur dan Barat” adalah bahasa kiasan dari
keseluruhan penjuru bumi mencakup Timur, Barat, Utara dan Selatan, ini
merupakan penyebutan sebagian (dzikr al-juz’i) namun yang dimaksud adalah keseluruhannya (irâdat
al-kull), dipilih diksi “Timur dan
Barat” karena diksi ini mewakili cakupan keseluruhan penjuru bumi, cakupannya
lebih panjang daripada garis Utara - Selatan.
Kata zuwiya (زُوِيَ) merupakan bentuk kata kerja pasif (mabnî
li al-majhûl) yang berkonotasi jumi’a (جُمِعَ) yakni dikumpulkan[4], oleh
siapa? Yakni oleh Allah untuk Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya, ini menguatkan
keyakinan bahwa kekhilafahan bagi umat ini hakikatnya merupakan nashruLlâh
yakni pertolongan Allah, yang harus dijemput dengan iman dan amal shalih, salah
satunya adalah dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang
mungkar, sesuai dengan metode yang dicontohkan Rasulullah ﷺ. Informasi agung
dan kabar gembira dalam hadits ini, diawali dengan penegasan (taukîd) lafal inna (إِنَّ) yang berfaidah menafikan adanya keraguan atas kebenaran hal
yang diinformasikan.
Ini didukung oleh hadits-hadits lainnya yang menggambarkan
penaklukkan Kota Konstantinopel dan Roma, dimana penaklukkan Konstantinopel
telah terealisasi, hadits pusat Dar al-Islam di negeri Syam, hadits 12 orang
Khalifah dari Quraysyi, dan hadits Imam al-Mahdi dibai’at sebagai khalifah, dan
lain sebagainya. Seluruhnya menunjukkan kesimpulan akan tegak kembali
kekhilafahan kaum Muslim di akhir zaman. Sekaligus meruntuhkan asumsi prematur
dari para penolak Khilafah.
[]
والله أعلم
بالصواب
[1] Abu
Sulaiman al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan: Syarh Sunan Abi Dâwud, juz
IV, hlm. 339.
[2]
Ibid. lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh
Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
[4]
Al-Husain bin Mahmud al-Zaidani al-Muzhhiri, Al-Mafâtîh fî Syarh
al-Mashâbîh, Kuwait: Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1433 H, juz VI,
hlm. 9, lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh
Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
Comments
Post a Comment