Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bag. IV): Kritik Atas Nadirsyah: Hadits Khilafah 30 Tahun
Irfan Abu Naveed
[Dosen Fikih Siyasah, Manthiq
& Bahasa Arab, Narasumber Kajian Tafsir & Balaghah, Penulis Buku Konsep
Baku Khilafah Islamiyyah]
![]() |
SC Tulisan Nadirsyah Soal Hadits Khilafah 30 Tahun |
Nadirsyah mengklaim:
Sebagian kitab Tafsir mengatakan
janji ini telah tuntas dipenuhi Allah pada masa Nabi Muhammad dan al-Khulafa
ar-Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Lihat Ibn Katsir (6/77), Bahrul
Ulum (2/52), al-Baghawi (3/426), al-Kasyaf (3/521), al-Baydhawi (4/112),
an-Nasafi (2/515), Dar al-Mansur(6/215). Alasan mereka adalah adanya Hadits
Sahih dimana Nabi mengatakan kekhilafahan itu hanya berlansung selama 30
tahun. Dan itu terpenuhi dalam periode al-Khulafa ar-Rasyidun.
Qultu:
Pertama, Hadits yang menyebutkan Khilafah 30
tahun yakni hadits berikut ini: Dari Safinah r.a. ia
berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«الْخِلَافَةُ فِي
أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً، ثُمَّ مُلْكًا بَعْدَ ذَلِكَ»
“Kekhilafahan dalam umatku tiga puluh
tahun, kemudian setelahnya masa mulk[un].” (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi)
HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 21928), al-Hafizh Ibn
Rajab al-Hanbali menyebutkan dalam al-Jami’ (II/775): ”Sungguh Imam
Ahmad telah men-shahih-kannya”, Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari:
“Isnad-nya hasan”; Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2226), Abu Isa
mengomentari: “Ini hadits hasan”.
Hadits ini, secara jelas menyebutkan
lafal al-khilâfah, artinya sudah wajib diakui bahwa istilah (ism)
Khilafah itu secara qauli disebutkan dalam lisan salafunâ al-shâlih, untuk
menggambarkan konsep (musamma) dari kepemimpinan negara yang sifatnya baku dan
khas, kebakuan ini jelas ditunjukkan baik oleh nas-nas syar’iyyah dari
al-Qur’an dan al-Sunnah yang sifatnya qauliyyah maupun fi’liyyah dalam sunnah
baginda Rasulullah ﷺ, ditegaskan
oleh sunnah para khulafa’ rasyidun.
Kedua, Para ulama sepakat bahwa periode Khilafah Rasyidah adalah
periode Khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian, yakni periode:
Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, Khalifah Umar bin al-Khaththab, Khalifah ’Utsman
bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhum-, sebagian
ulama -salah satunya Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam
al-Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh (hlm. 38)- menambahkan masa kekhilafahan
Khalifah al-Hasan bin Ali r.a. yang berjalan selama enam bulan, termasuk masa khilafah
yang mengikuti manhaj kenabian, sehingga hitungannya genap menjadi tiga puluh
tahun. Al-Mulla Ali al-Qari ketika menjelaskan hadits khilafah ’ala minhaj
al-nubuwwah pun menukil hadits dari Safinah r.a. ini, menguatkan pembuktian
bahwa para ulama mu’tabar menafsirkan hadits 30 tahun, maksudnya adalah
khilafah di atas manhaj kenabian periode pertama, yakni kekhilafahan khulafa’
rasyidun.
Ketiga, Benarkah maknanya membatasi khilafah itu secara mutlak hanya
30 tahun dan tidak akan tegak lagi kekuasaan kaum Muslim?
Qultu:
Itu adalah
kesimpulan prematur, yang menyalahi ilmunya para ulama rabbani.
a.
Perspektif Ilmu Bahasa Arab
Hadits ini, dalam perspektif
cabang ilmu yang sangat mapan, ilmu balaghah (khususnya ilmu al-ma’ani), sama
sekali tak mengandung petunjuk pembatasan, dalam bahasa yang lebih normatif,
secara redaksional tak mengandung qarâ’in (indikasi-indikasi) dari qashr (pembatasan), yakni
tidak ada petunjuk dalam redaksinya, bahwa khilafah hanya tiga puluh
tahun. Artinya, mereka yang menerjemahkan: “kekhilafahan dalam
umatku hanya tiga puluh tahun”, bisa dikatakan
gegabah karena kelalaiannya, atau bisa jadi karena ketidakpahamannya pada ilmu
bahasa arab, atau bahkan tahu ilmunya tapi sengaja menambahkan apa yang
sebenarnya tidak ada, dan jika disengaja maka termasuk kedustaan mengatasnamakan
baginda Rasulullah ﷺ. Hendaknya ingat dengan sabda yang mulia baginda Rasulullah ﷺ:
«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ»
“Siapa saja yang berdusta atas nama
diriku, maka hendaknya ia mengambil tempatnya di neraka.” (HR.
Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)
Dalam redaksi
hadits khilafah 30 tahun, sama sekali tidak ada misalnya lafal innamâ, atau
bentuk nafi yang diikuti dengan istitsna, itupun jika ada bisa jadi qashr-nya
tidak mutlak, dalam ilmu balaghah diistilahkan qashr idhafi. Bagaimana
jadinya jika tak ada sama sekali redaksi qashr-nya? Lebih fatal lagi
jika kesalahan penerjemahan ini, dijadikan dalih untuk anti pada perjuangan
penegakkan Khilafah. Menariknya, kesalahan penerjemahan ini semakin jelas,
tatkala kita mengembalikan hadits ini kepada ilmunya para ulama mu’tabar, yang
membuktikan lagi bahwa Nadirsyah tampak gagal memahami tafsiran para ulama soal
QS. Al-Nûr [24]: 55 yang menafsirkannya pada masa Khulafa Rasyidun.
b.
Perspektif Ilmu Ushul Fikih
Lafal khilafah
dalam hadits “khilafah 30 tahun” ini merupakan lafal muthlaq yang di-taqyîd
(dibatasi) oleh hadits hudzaifah “khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah”,
berdasarkan kaidah ushul:
الْمُطلق يجْرِي على إِطْلَاقه مَا لم يقم دَلِيل التَّقْيِيد
نصا أَو دلَالَة
Lafal muthlaq tetap dalam
kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya, baik dalil berupa nas
maupun dilâlah.
Kaidah ini, banyak
disebutkan para ulama ushul, salah satunya Syakh Ahmad
al-Zarqa, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah (hlm. 323). Artinya, kehilafahan yang berjalan selama tiga puluh tahun
adalah khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah, adapun era pemerintahan
setelahnya tetap dinilai para ulama mengadopsi sistem khilafah, namun bukan khilâfah
yang ideal berjalan di atas manhaj kenabian (‘alâ minhâj al-nubuwwah), hingga
datang masa mulk[an] jabriyyat[an] yakni periode adanya para penguasa
diktator yang menyalahi syari’ah pasca runtuhnya Khilafah ’Utsmaniyyah pada
tahun 1924 M.
c.
Penjelasan Mapan Para Ulama Mu’tabar
Al-Hafizh Ibn Rajab
al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (II/122),
menjelaskan bahwa Imam Ahmad berhujjah dengan hadits ini, atas kekhilafahan
para khalifah yang empat. Meski lafal hadits ini menyebutkan bahwa kekhilafahan
setelah Rasulullah ﷺ tiga puluh tahun, namun tidak berarti bahwa setelah itu tidak
ada kekhilafahan sama sekali. Dibuktikan dengan hadirnya Khalifah Umar bin
Abdul Aziz yang bahkan digolongkan para ulama ke dalam golongan al-khulafâ’
al-râsyidîn karena keadilannya, sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibn Rajab
al-Hanbali (w. 795 H) dalam al-Jâmi’, ini pula yang menjadi pandangan
Syaikh al-Masyayikh al-’Allamah Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Sullam
al-Munâjât Syarh Safînat al-Shalâh.
Bahkan al-Hafizh
Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (XII/696),
menyebutkan bahwa para ulama sepakat bahwa ia (Khalifah Umar bin Abdul Aziz),
termasuk jajaran imam yang adil, termasuk al-khulafâ’ al-râsyidîn dan
imam yang berdiri di atas petunjuk. Ibn Katsir lalu menggolongkannya ke dalam
jajaran khalifah yang disebutkan baginda Rasulullah ﷺ, dari Jabir bin Samurah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَا يَزَالُ
الدِّينُ قَائِمًا، حَتَّى يَكُونَ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً مِنْ قُرَيْشٍ»
“Urusan Din ini
senantiasa tegak, hingga ada dua belas khalifah, seluruhnya dari keturunan
Quraysyi.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Ahmad)
HR. Muslim dalam Shahih-nya;
Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4281); Ahmad dalam Musnad-nya (no.
20805), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hadits shahih, ini
isnadnya hasan, al-Muhajir bin Mismar shaduq husn al-hadits, para perawi
selainnya perawi isnad tsiqat, perawi shahih.” Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika
menukil hadits tentang ini pun mengomentarinya sebagai hadits shahih.
Hadits 12 khalifah di atas memperjelas kesalahan
pembatasan kekhilafahan hanya 30 tahun saja, bahkan ulama besar, al-Hafizh
Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya, Târîkh al-Khulafâ’ (Sejarah
Para Khalifah), ketika menjelaskan hadits 12 orang khalifah ini mencirikan khilafah
yang unggul dengan keadilannya, al-Suyuthi menyebutkan perincian: 4 orang Khulafa' Rasyidun, al-Hasan bin Ali,
Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Ibn Zubayr, Umar bin Abdil Aziz, diduga juga termasuk:
Al-Muhtadi dan Al-Zhahir, seluruhnya ada sepuluh, sisa dua khalifah lagi
menurut beliau masih sedang dalam penantian (وبقي الاثنان المنتظران), di mana salah satunya adalah al Mahdi. Terjemahan tepatnya:
Aku (al-Hafizh
al-Suyuthi) berkata: Berdasarkan hal tersebut (berlakunya hadits 12 Khalifah
hingga Hari Kiamat) maka, telah dijumpai dari dua belas Khalifah tersebut
adalah: Para khalifah yang empat (al-Khulafa` al-Rasyidun), al-Hasan,
Mu'awiyah, Ibn al-Zubayr, dan 'Umar bin 'Abdil 'Aziz; mereka sudah berjumlah
delapan. Boleh jadi juga termasuk ke dalamnya adalah: al-Muhtadi dari kalangan
Bani 'Abbasiyyah, karena beliau di kalangan mereka bagaikan 'Umar bin 'Abdil
'Aziz di kalangan Bani Umayyah; dan juga: al-Zhahir, dikarenakan sifat adilnya.
Tersisalah dua orang Khalifah lagi yang sedang dalam penantian; salah satunya
adalah al-Mahdi, karena ia dari keluarga Muhammad ﷺ.
Dalam referensi
lainnya, kekhilafahan sahabat Mu’awiyyah r.a. yang mengawali era Khilafah
Umayyah pun ditegaskan oleh ulama besar madzhab Maliki, al-Qadhi Abu Bakar Ibn
al-Arabi al-Maliki (w. 543 H) dan ulama besar madzhab Hanbali, al-Qadhi Abu
Ya’la al-Hanbali (w. 458 H) sebagai KHILAFAH yang sah secara syar’i. Imam Abu
Ya’la misalnya dalam Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Dîn (hlm. 239) menegaskan:
وأما خلافته فثابتة ومدتها تسع عشرة
سنة وشهورًا
Adapun kekhilafahan
Mu’awiyyah r.a. maka telah tetap (sah) dan tempo waktunya selama sembilan belas
tahun beberapa bulan.
Meskipun estafeta kepemimpinan periode ini berada dalam
daur kekerabatan (’Umayyah, ’Abbasiyyah dan ’Utsmaniyyah), keabsahan setiap
khalifah pada periode ini tetap kembali pada bai’at syar’i umat atas mereka,
dimana para ulama pun menegaskan bai’at sebagai metode syar’i pengangkatan
khalifah. Sehingga status mereka bukan raja dengan sistem khas monarki
konstitusional, melainkan khalifah dengan sistem khilafah, ini merupakan
realitas yang disepakati para ulama. Ulama mujtahid yang menguasai banyak
disiplin ilmu syar’i, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dalam pengantar
kitabnya, Târîkh al-Khulafâ’ (Sejarah Para Khalifah) (hlm. 11)
menegaskan:
إنما ذكرت الخليفة المتفق على
صحة إمامته و عقد بيعته
“Aku hanya menyebutkan khalifah yang telah disepakati
keabsahan imâmah-nya dan keabsahan akad bai’atnya.”
Bahkan sebelumnya, al-Hafizh
al-Suyuthi (w. 911 H) (hlm. 12) menyifati mereka (secara umum) dengan julukan al-khulafâ’
umarâ’ al-mu’minîn (para khalifah yang menjadi pemimpin orang-orang
beriman):
فهذا تاريخ لطيف ترجمت فيه الخلفاء أمراء المؤمنين القائمين بأمر الأمة من
عهد أبي بكر الصديق رضي الله عنه إلى عهدنا هذا على ترتيب زمانهم الأول فالأول
Ini merupakan sejarah yang
mulia, aku uraikan didalamnya biografi al-khulafâ’ umarâ’ al-mu’minîn
(para khalifah yang merupakan para pemimpin orang-orang beriman), yang
memelihara urusan umat ini, dari semenjak masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq
r.a. sampai dengan masa khalifah di masa ini (di masa al-Suyuthi masih hidup),
secara berurutan pada setiap masa mereka, yang pertama maka diurutkan pertama
(demikian seterusnya).
Al-Hafizh al-Suyuthi itu
sendiri, hidup sekitar periode terakhir pemerintahan era Khilafah ‘Abbasiyyah,
yakni hidup di antara tahun 849-911 H/ 1445-1505.
No
|
Nama Khalifah
|
Masa Pemerintahan
|
1
|
Al-Mustakfi Billah II
|
845-854 H/1446-1455 M
|
2
|
Al-Qa’im Biamrillah
|
754-859 H/1455-1460 M
|
3
|
Al-Mustanjid Billah
|
859-884 H/1460-1485 M
|
4
|
Al-Mutawakkil ‘AlaLlah
|
884-893 H/1485-1494 M
|
5
|
Al-Mutamassik Billah
|
893-914 H/1494-1515 M
|
Maka jelas secara faktual,
Khilafah terus berlanjut sampai diruntuhkan oleh penjajah Barat tahun 1924 M.
Meskipun diakui bahwa selama rentang waktu tersebut terjadi penyimpangan dan
keburukan penerapan Islam di sana-sini. Jadi, periode tersebut adalah periode
pemerintahan dan kekuasaan yang di dalamnya terjadi kazhaliman, yaitu
peyimpangan dan keburukan penerapan sistem dalam beberapa sektor.
Artinya, klaim
bahwa kekhilafahan hanya 30 tahun adalah klaim prematur yang sama sekali tak
ilmiah. Dengan demikian, hadits yang mengabarkan masa tiga puluh tahun
kekhilafahan di atas, sama sekali tak bisa digunakan sebagai dalil untuk menegasikan
tegaknya kembali sistem khilafah, diperkuat penjelasan dalam perspektif ilmu
bahasa arab dan ilmu ushul fikih di atas. Dan semakin terang benderang tatkala
dijamak dengan hadits-hadits lainnya yang mengabarkan tegaknya kekhilafahan di
akhir zaman.
Kesimpulan
Dari keseluruh penjelasan bagian I s.d. IV, mencakup: Bag
I Kritik Atas Asumsi Dasar Nadirsyah Hossen; Bag II Koreksi Atas Narasi
Nadirsyah Soal Tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55; Bag III Koreksi Atas Narasi
Nadirsyah Soal Hadits Khilafah di Atas Manhaj Kenabian; Bag IV Koreksi Atas
Narasi Nadirsyah Soal Bisyarah Khilafah [Hadits Khilafah 30 Tahun]. Dapat
disimpulkan bahwa al-Khilâfah ’alâ Minhâj al-Nubuwwah merupakan bisyarah
nabawiyyah yang akan tegak kembali di akhir zaman, yang sekaligus menunjukkan
kesalahan Nadirsyah Hossen membangun kesimpulan menegasikan tegaknya kembali
khilafah di akhir zaman, dan terbukti salah atas tuduhannya terhadap perjuang
Khilafah dalam persoalan ini, silahkan ditela’ah, wa biLlâhi al-taufîq.
[]
والله أعلم
بالصواب
Comments
Post a Comment