Bisyarah Tegaknya Khilafah di Akhir Zaman (Bag. II): Kritik Atas Nadirsyah Terkait QS. Al-Nûr [24]: 55
Irfan Abu Naveed
[Narasumber Kajian Tafsir & Balaghah, Penulis Buku
Konsep Baku Khilafah Islamiyyah]
Allah Ta’ala
berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ {٥٥}
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa, mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku, dan
siapa saja yang kufur sesudah (janji) itu, maka mereka itu lah orang-orang yang
fasik.”
(QS. Al-Nûr [24]: 55)
K
|

Stigma buruk Nadirsyah bahwa
pemahaman para pejuang khilafah ini KELIRU BESAR adalah suatu kekeliruan itu
sendiri, bahkan keliru besar bukan hanya pada para pejuang khilafah sebagai
pihak tertuduh, tapi juga terhadap kaum Muslim pada umumnya, dan para ulama
yang ia nukil pendapatnya, hendaknya mawas diri atas kritik yang diungkapkan Imam Taqiyuddin al-Subki (w. 771 H) dalam
Qâ'idah fî al-Jarh wa al-Ta'dîl (hlm. 53) berkata:
فكثيرا ما رأيت من يسمع لفظة فيفهمها على غير وجهها
Aku melihat banyak orang yang mendengar sebuah perkataan
namun memahaminya bukan seperti apa yang dimaksudkan.
Menariknya, apa yang
dijelaskan oleh Nadirsyah justru memperkuat argumentasi adanya Sistem
Khilafah Islamiyyah yang menjadi gambaran model sistem pemerintahan terbaik
dalam kehidupan dalam lisan para ulama mu’tabar. Ironisnya, kesimpulan yang dibangun
Nadirsyah selama ini justru bertolak belakang dengan apa yang ia jelaskan dalam
nukilan, kebingungan yang tampak nyata tatkala pikiran tak sejalan dengan
lisan, menggambarkan kelemahan argumentasi. Menegasikan kebakuan sistem
Khilafah, tapi menukil maqalah para ulama yang menegaskan adanya eksistensi
sistem Khilafah yang terbaik? Kok bisa? Mari kita evaluasi:
Pertama, Evaluasi Atas
Kesimpangsiuran Argumentasi Nadirsyah
Pertama, Nadirsyah
membuat judul yang bertolakbelakang dengan tulisannya sendiri. Dari judulnya
saja sudah aneh, mempertanyakan: “Benarkah Allah Menjanjikan Kembalinya
Khilafah?” Pada saat yang sama, tulisannya justru membangun kesimpulan, “Ya,
menurut para ulama Allah menjanjikan kembali tegaknya Khilafah”, karena kajian
ayat ini sebenarnya sudah cukup menjawab pengingkaran Nadirsyah. Namun untuk
sampai pada pembahasan bahwa janji Allah tersebut mencakup tegaknya Khilafah
‘ala Minhaj al-Nubuwwah di akhir zaman, seorang peneliti harus meluaskan
literasinya, membahas hadits-hadits akhir zaman.
Ini
merupakan kesalahan fatal Nadirsyah yang menyederhanakan pembahasan besar
menyoal khilafah di akhir zaman, berbekal tafsir QS. Al-Nûr [24]: 55 semata,
itu pun penggalian datanya tampak sederhana bertolak pada sejumlah literatur
saja, padahal ia menggunakan metode library research (kajian
kepustakaan), yang membutuhkan banyak referensi dan literatur.
Kedua, Nadirsyah
menuduh para pendukung Khilafah mengelabui publik dengan mengklaim bahwa
“Kembalinya Khilafah sebagai wujud kekuasaan umat Islam merupakan janji Allah
Swt dalam QS An-Nur ayat 55”, pada saat yang sama, ybs justru mengemukakan
pendapat para ulama yang menegaskan tegaknya kembali kekuasaan kaum Muslim,
menguatkan apa yang dijelaskan pada pendukung Khilafah (baca: HT dan umat
Islam) menyoal kembalinya kekuasaan kaum Muslim (Khilafah). Saya, akan fokus
terlebih dahulu membuktikan kebingungan Nadirsyah dengan referensi yang ia
nukil sendiri. Nadirsyah mengklaim:
Ada beberapa kitab tafsir yang
meluaskan lagi kandungan ayat ini, yang tidak hanya terbatas pada masa Nabi
Muhammad dan/atau al-Khulafa ar-Rasyidun, tapi juga pada masa-masa selanjutnya termasuk
masa sekarang dan akan datang. Tafsir Fathul Qadir (4/55) memaknai kekuasaan
sebelum Nabi itu tidak hanya terbatas pada Bani Israil, dan karenanya juga
tidak membatasi makna ayat ini pada masa Nabi di Mekkah dan khalifah yang
empat, tapi menggunakan keumuman ayat. Tafsir al-Qurthubi (12/299) juga
menyetujui keumuman ayat ini.
Setelah jelas menunjukkan adanya
penafsiran: janji Allah tersebut adalah janji tegaknya kekhilafahan dan
kekuasaan kaum Muslim. Nadirsyah malah melakukan framming yang sangat jelas
dipaksakan:
Namun, apa implikasi dari keumuman
ayat ini? Sa’id Hawa dalam Asas at-Tafsir (7/3802) menganggap janji Allah dalam
ayat ini akan terus berlangsung sampai semua akan masuk Islam. Tafsir al-Wasith
(6/1457) karya Majma’ al-Bunuts Islamiyah di al-Azhar Mesir juga mengisyaratkan
bahwa janji Allah ini terwujud ketika Islam tersebar di penjuru dunia timur dan
barat. Jadi tidak dibatasi pada masa lalu saja. Berarti ini masalah dakwah,
bukan soal kekhilafahan.
Dalam
paragraf di atas, Nadirsyah melakukan framming, bahwa yang dimaksud para
ulama ini adalah dakwah bukan khilafah, benarkah? Padahal di muka, Nadirsyah
menukil sabab al-nuzul-nya yang menegaskan bahwa ayat ini menggambarkan janji
Allah berupa kekuasaan, bukan sekedar dakwah!
Ketika
Rasulullah ﷺ bersama para
sahabatnya sampai ke Madinah, dan disambut serta dijamin keperluan hidupnya
oleh kaum Ansar, mereka tidak melepaskan senjatanya siang dan malam, karena
selalu diincar oleh kaum kafir. Mereka berkata kepada Nabi: “Kapan
engkau dapat melihat kami hidup aman dan tenteram tiada takut kecuali kepada
Allah.” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, sebagai jaminan
dari Allah Swt bahwa mereka akan dianugerahi kekuasaan di muka bumi.
Penjelasan di atas, menurut
Nadirsyah dinukil dari Tafsir Munir karya Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili.
Menariknya, al-Zuhaili menuliskan subjudul “Ushûl Daulat al-Îmân” (Prinsip-Prinsip
Pokok Daulah (Negara) Iman (baca: Negara Tauhid). Kalimat ini menegaskan apa
yang dituliskan al-Zuhaili, bahwa janji Allah dalam ayat ini sangat lekat
dengan janji kekuasaan dan kekhilafahan yang menegakkan dakwah, jadi bukan
sekedar dakwah yang mengabaikan adanya eksistensi kekuasaan, fatalnya,
Nadirsyah membenturkan hakikat kekuasaan khilafah dengan amal praktis dakwahnya,
padahal Prof. Wahbah al-Zuhaili sendiri dalam Al-Tafsîr al-Munîr (XVIII/282-283)
menjelaskan:
Ibarah Kitab:
وعد الله سبحانه بتمكين المؤمنين الطائعين في خلافة الأرض،
وتأييدهم بالنصر والإعزاز، وإظهار دينهم على الدين كله، وتبديلهم من بعد خوفهم من
العدو أمنا، فيعبدون الله آمنين لا يشركون به شيئا ولا يخافون.
Yakni bahwa Allah
berjanji kepada orang-orang beriman akan memberikan kepada mereka kekuasaan
kekhilafahan di muka bumi.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ
فِي الْأَرْضِ، كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ أي وعد الله الذين
تحقق فيهم وصفان معا هما الإيمان بالله ورسوله والعمل الصالح الطيب الذي يقرب من
الله تعالى ويرضيه بأن يجعل أمة النبي صلّى الله عليه وسلم خلفاء الأرض، أي
أئمة الناس، والولاة عليهم، وبهم تصلح البلاد، كما استخلف داود وسليمان عليهما
السلام على الأرض، وكما فعل ببني إسرائيل حين أورثهم مصر والشام بعد إهلاك
الجبابرة. وقوله مِنْكُمْ من للبيان كالتي في آخر سورة الفتح: وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً
عَظِيماً [29] .
Bahwa, Allah Swt
berjanji atas orang-orang beriman akan menjadikan mereka para khalifah bumi,
yakni pemimpin bangsa manusia, dan penguasa mereka, dan dengan kedudukan mereka
ini maka negeri-negeri menjadi baik, sebagaimana Allah menjadikan Nabi Dawud
a.s. dan Sulaiman a.s. sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana yang Allah
anugerahkan pada Bani Israil tatkala Allah mewarisi mereka Mesir, dan negeri
Syam setelah hancurnya kekuasaan para rezim.
Sampai poin ini saja,
tampak jelas bahwa Nadirsyah melakukan framming fatal. Nadirsyah sesumbar
mengklaim:
Nah, yang menarik, semua kitab
tafsir di atas, termasuk mereka yang menganggap ayat ini berlaku umum, tidak
satupun menyinggung akan kembalinya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah seperti
yang sering digelorakan oleh kelompok Pro-Khilafah.
Qultu: Ini merupakan framming gegabah,
mengingat asumsi ini bisa dijawab dengan argumentasi mapan:
Pertama, Jika para ulama tak merinci
pembahasan, bukan berarti pembahasan tersebut boleh dinegasikan begitu saja
tanpa dasar ilmu. Benarlah ungkapan ulama dalam kaidah ushuliyyah:
عدم العلم ليس علماً بالعدم
“Ketiadaan ilmu bukan
lah bukti ilmiah atas ketiadaan sesuatu.”
Atau dalam bahasa lebih familiar:
عدم العلم بالدليل ليس
دليلا على عدم الدليل
“Ketiadaan ilmu
terhadap dalil, bukanlah dalil atas ketiadaan dalil”
Artinya, jika para ulama tak merinci
soal khilafah di akhir zaman, bukan berarti para ulama ini mengingkari tegaknya
khilafah di akhir zaman! Mengingat pada saat yang sama, mereka pun hidup di era
kekhilafahan. Sehingga wajar jika para ulama ini tidak merinci pembahasan “akan
tegak kembali kekhilafahan” mengingat mereka sendiri sedang hidup di era
kekhilafahan, maka dudukkan persoalan sebagaimana kaidah balaghiyyah:
لكل مقام
مقال
Untuk setiap kedudukan itu, ada
tutur katanya (yang sesuai)
Yakni untuk setiap keadaan itu ada
penjelasan yang relevan dengannya. Kenyataannya, para ulama muktabar pun tatkala
menjelaskan hadits riwayat Ahmad dan al-Bazzar menyoal hadits khilafah di atas
manhaj kenabian, mereka pun merincinya dalam turats mereka (nanti akan saya
buktikan).
Kedua, Para ulama tatkala menafsirkan ayat
ini, jelas mengaitkannya dengan pembahasan kekuasaan khilafah, dari mulai
kekuasaan politik Rasulullah ﷺ di Madinah, al-khilâfah ‘alâ minhâj
al-nubuwwah pada periode pertama, Khilafah Umawiyyah, Khilafah ‘Abbasiyyah,
hingga Khilafah ‘Utsmaniyyah, sebagaimana ditegaskan Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili dalam tafsirnya.
Dalam hal ini, al-Zuhaili
mencontohkan janji kekuasaan tersebut berkaitan dengan penaklukkan-penaklukkan:
dari mulai masa kekuasaan nubuwwah, Rasulullah ﷺ, Khulafa’
Rasyidun, hingga Khilafah ‘Utsmaniyyah yang dihancurkan oleh Kemal Ataturk.
Silahkan perhatikan detail pernyataan jelas Prof Wahbah al-Zuhaili berikut ini:
Ibarah Kitab:
وبما أن وعد الله صادق ومنجز، كما قال تعالى: وَعْدَ اللَّهِ ۖ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ
الْمِيعَادَ {الزمر: ٢٠} فقد أنجز الله وعده، وأظهر المسلمين على جزيرة العرب، وافتتحوا
بعدئذ بلاد المشرق والمغرب، ومزّقوا ملك الأكاسرة (حكام فارس) وملكوا خزائنهم،
وفتحوا بلاد القياصرة (بلاد الروم) واستولوا على الدنيا، وظلت دولة الإسلام قوية
منيعة في ظل خلافات متعاقبة: الخلافة الراشدية، ثم الخلافة الأموية في الشام
والأندلس، ثم الخلافة العباسية، ثم الخلافة العثمانية إلى انتهاء الربع الأول من
القرن العشرين (1924) حيث ألغى أتاتورك الخلافة.
Begitu pula Prof. Ali al-Shabuni
dalam tafsirnya, Shafwat al-Tafâsîr (II/318), dimana beliau menegaskan
bahwa Allah berjanji atas mereka (orang-orang beriman) mewarisi bumi dan
menjadikan mereka para khalifah yang memakmurkan bumi, sebagaimana Allah
memberikan kekuasaan kepada orang-orang beriman sebelum mereka, hingga mereka
menguasai negeri-negeri kaum kuffar.
Ibarat Kitab:
{لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرض كَمَا استخلف الذين مِن
قَبْلِهِمْ} أي وعدهم بميراث الأرض وأن يجعلهم فيها خلفاء متصرفين فيها تصرف
الملوك في ممالكهم، كما استخلف المؤمنين قبلهم فملكهم ديار الكفار
Kedua, Tafsir Ulama
Mu’tabar: Janji Allah Tegaknya Kekhilafahan Penegak
Din Allah di Muka Bumi
Dalam
ayat yang agung ini, Allah berjanji dengan janji pasti (wa’adaLlâh),
dimana Allah sesungguhnya bersumpah dengan petunjuk adanya jawab sumpah (jawâb
al-qasam) berupa lâm ta’kîd dan nûn ta’kîd al-tsaqîlah pada
frasa: layastakhlifannahum, layumakkinanna lahum dan layubaddilannahum.
Sumpah yang disamarkan ini, termasuk bentuk al-îjâz bi al-hadzf (bentuk
peringkasan kalimat dengan menghilangkan bagian), bisa ditela’ah lanjut
perincian terkait: Ahmad ‘Ubaid al-Da’as dkk, I’râb al-Qur’ân al-Karîm (II/358).
Kalimat
wa’adaLlâh, dipahami oleh para ulama sebagai janji dari Allah, sebagai
kiasan (majaz) dari kalimat sumpah Allah yang disamarkan (al-yamîn
al-mudhmar), karena hakikat maknanya: “Orang-orang yang beriman dan
beramal shalih, Demi Allah, Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi (dan seterusnya)”, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Tsa’labi (w. 427
H), dalam Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân (VII/114).
Kata
wa’ada yang Allah ungkapkan dengan kata kerja lampau (al-fi’il al-mâdhi’)
pun berfaidah menunjukkan kepastian apa yang diinformasikan. Dalam ayat yang agung
ini, Allah SWT berjanji, dengan janji yang pasti ditepati-Nya, karena Allah tak
mungkin menyalahi janji-Nya, sebagaimana ditegaskan-Nya dalam firman-Nya yang
agung:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ
لَا يُوقِنُونَ {٦٠}
“Dan
bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali
janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu
membuatmu khawatir.” (QS. Al-Rûm [30]: 60)
Dari
uraian singkat padat di atas, tak ada yang cerdas yang memungkiri bahwa QS.
Al-Nûr [24]: 55 ini mengandung janji-janji agung dari Allah. Kepada siapa
janji ini ditujukan? Pada prinsipnya jelas, kalimat alladzîna âmanû
minkum wa ’amilû al-shâlihât,
sifatnya umum, mengingat ism al-maushul “alladzîna” dalam ilmu ushul termasuk
shiyagh al-’âm.
Allah
bersumpah akan menganugerahkan kepada orang yang beriman dan beramal shalih
tiga hal agung dalam ungkapan: layastakhlifannahhum, layumakkinanna
lahum, layubaddilannahum. Allah ungkapkan
dengan penegasan-penegasan, yakni lâm taukîd dan nûn taukîd
al-tsaqîlah, yang berfaidah menafikan adanya keraguan dan pengingkaran,
Imam Dhiya’uddin bin al-Atsir al-Katib (w. 637 H) dalam Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa
al-Syâ’ir (II/193) menjelaskan:
إنما جاءت لتحقيق الأمر، وإثباته في نفوس المؤمنين، وأنه
كائن لا محالة
Sesungguhnya
huruf-huruf lâm tersebut, ada untuk menegaskan (terwujudnya) perkara
(yang diinformasikan), dan peneguhan hal tersebut dalam jiwa orang-orang yang
beriman, bahwa hal tersebut akan terwujud, bukan hal yang mustahil.
Keberadaan
huruf nûn taukîd al-tsaqîlah menurut al-Atsir, menguatkan penegasan
huruf lâm yang mengawali informasi (Ibid (II/195)). Menguatkan
keyakinan orang-orang beriman terhadap janji Allah ’Azza wa Jalla bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shalih.
Ungkapan
layastakhlifannahum, bahwa Dia SWT akan menganugerahkan orang-orang yang
beriman dan beramal shalih kekuasaan di Muka Bumi, yakni mewarisi bumi baik
Bangsa Arab maupun Ajam, dimana Dia menjadikan mereka sebagai penguasanya,
pengaturnya (dalam kekuasaan politik) dan penduduknya, sebagaimana diuraikan
Imam al-Tsa’labi dalam tafsirnya (VII/114), dan al-Hafizh al-Thabari dalam
tafsirnya (XIX/208). Karena kata kerja yastakhlifu
dari wazan istaf’ala-yastaf’ilu, menurut Ibn Manzhur dalam Lisân
al-‘Arab (V/197), bermakna menjadikan mereka sebagai khalifah, yakni penguasa
di Muka Bumi, menggantikan pihak lainnya. Yakni kedudukan agung
yang disebutkan Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H) dalam Mafâtîh al-Ghaib
(XXIV/412) yakni:
فَيَجْعَلَهُمُ الْخُلَفَاءَ وَالْغَالِبِينَ وَالْمَالِكِينَ
Maka Dia menjadikan
mereka sebagai khalifah-khalifah (al-khulafâ’), para penakluk (al-ghâlibîn)
dan para penguasanya (al-mâlikîn).
Penafsiran
senada ditegaskan oleh al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam Al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur’ân (I/264), menariknya beliau menukil ayat yang agung ini (QS. Al-Nûr [24]: 55), ketika menjelaskan dalil wajibnya mengangkat Khalifah
ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30.
Pendalilan para ulama
mu’tabar ini, memperjelas bentuk kekuasaan yang Allah anugerahkan pada umat
ini, dimana Allah mengumpamakannya dengan kekuasaan kaum sebelumnya {كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ}, ini
merupakan bentuk tasybîh (penyerupaan) yang menguatkan keyakinan,
sekaligus menjadi khabar gaib mengenai kaum terdahulu (al-umam
al-sâbiqah) yang beriman dan beramal shalih, yang ternyata pernah
dianugerahi kekuasaan.
Dalam hal ini, imâm
al-mufassirîn al-Hafizh al-Thabari dalam tafsirnya (XIX/208) menafsirkan
yakni Bani Isra’il. Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani dalam Tafsîr al-Qur’ân (III/544)
dan Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib (XXIV/412)
menjelaskan: Qatadah r.a merinci yakni sebagaimana Nabi Dawud a.s. dan Nabi Sulaiman
a.s. serta para nabi yang memiliki kekuasaan, yakni kekuasaan riil politis,
sebagaimana diisyaratkan dalam hadits dari
Abu Hurairah r.a., Nabi
Muhammad ﷺ bersabda:
«كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil,
urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh
nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para
Khalîfah yang banyak.” (HR. Al-Bukhari & Muslim. Lafal
al-Bukhârî)
Kekuasaan
yang dimaksud, mencakup kekuasaan politik, ini relevan dengan penjelasan para
ulama memperkuat dalil-dalil khabar lainnya, yang menukil dalil ini sebagai
salah satu khabar akan kembalinya era kekuasaan kaum Muslim yakni kekhilafahan
Islam dengan adanya banyak khalifah dari generasi ke generasi, tegaknya
kekuasaan kaum Muslim yang membentang dari Timur hingga Barat, tegaknya kembali
Khilafah di atas manhaj kenabian, ditaklukkannya Roma, lahirnya pusat Dar
al-Islam di negeri Syam, hadits kekhilafahan Imam al-Mahdi, dan lain
sebagainya, itu semua membuktikan secara argumentatif, bahwa HT memiliki dasar
yang sangat mapan untuk menjadikan QS. Al-Nûr [24]: 55 ini sebagai dalil
tegaknya kembali kekhilafahan di atas manhaj kenabian, wa biLlâhi al-taufîq,
kecuali bagi mereka yang mendustakan ilmunya para ulama dan menganggap
mereka berdusta, wal ’iyâdzu biLlâh, Allâh al-Musta’ân. []
والله أعلم
بالصواب
Comments
Post a Comment