Irfan Abu Naveed
Narasumber Kajian Fikih Siyasah, Manthiq & Bahasa Arab
Penulis Buku
Konsep Baku Khilafah Islamiyyah
K
|
![]() |
SC Tulisan Nadirsyah Soal Bisyarah Khilafah |
HILAFAH, dijegal
semakin terkenal, dipersekusi semakin unjuk gigi. Hingga detik ini, tak pernah
senyap dari pembicaraan banyak orang di negeri ini, hingga tertulis dalam
sebuah tulisan pendek berjudul “Benarkah Allah Menjanjikan Kembalinya
Khilafah?”, berisi narasi ingkar Nadirsyah yang melontarkan pengingkaran
bernada pertanyaan, dalam ilmu balaghah uslub seperti ini dikenal dalam lisan
arab dengan istilah istifhâm inkâri, mengingat kontennya memperjelas
jawaban dari judulnya tersebut. Menjawab kebingungan penulis, maka saya ajukan
pertanyaan balik: “Benarkah takkan tegak kembali Khilafah di akhir zaman?” Pertanyaan
yang semestinya tuntas di kalangan cendekiawan dan akademisi muslim, menilik
kajian komperhensif atas isyarat al-Qur’an, al-Sunnah dan aqwâl para
ulama ahlus sunnah.
Menariknya, dalam
tulisan Nadirsyah, ia mendadak tampak tekstualis membangun kesimpulan atas
pemahaman sepotongnya pada teks-teks tafsir klasik, untuk membangun framming
“Tidak akan tegak lagi Khilafah di akhir zaman”. Kesimpulan yang sangat mungkin
menimpa mereka yang menyederhanakan pembahasan, semata-mata fokus pada satu dan
dua dalil, sangat riskan. Benarlah ungkapan ulama dalam kaidah ushuliyyah:
عدم العلم ليس علماً بالعدم
“Ketiadaan ilmu bukan
lah bukti ilmu atas ketiadaan sesuatu.”
Kaidah ini disebutkan
para ulama, semisal Ibn Taimiyyah dan para ulama lainnya, ditegaskan oleh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak dalam Al-Risâlah al-Tadammuriyyah
dan kumpulan ulama di bawah bimbingan Syaikh Alawi bin Abdul Qadir al-Segaf
dalam Al-Mausû’ah al-‘Aqdiyyah. Atau dalam bahasa lebih familiar:
عدم العلم بالدليل ليس
دليلا على عدم الدليل
“Ketiadaan ilmu
terhadap dalil, bukanlah dalil atas ketiadaan dalil”
Artinya ketidaktahuan seseorang pada
petunjuk-petunjuk bisyarah tegaknya khilafah di akhir zaman, bukanlah
bukti atas ketiadaan semua petunjuk tersebut. Jangan seperti kaum filosof yang bingung
dengan cara berpikirnya sendiri hingga beranggapan, apa yang tidak diketahui
berarti tidak ada, hingga pemikiran mereka ini dikritik keras oleh para ulama
Islam, karena menggambarkan kesesatan paradigmatik.
Artinya seseorang yang belum mengkaji secara
mapan berbagai petunjuk-petunjuk bisyarah tegaknya kembali khilafah di akhir
zaman, hendaknya menahan diri, kalau tidak maka berlaku kaidah:
من تكلم في غير فنّه
أتى بالعجائب
“Siapa saja yang berbicara dalam hal yang tak dikuasainya, maka
ia akan mendatangkan perkara-perkara kontroversial.”
Kaidah ini disebutkan oleh para ulama, sebutlah
al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 1379 H) dalam Fath al-Bârî
(III/584), Syaikh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri (w. 1353 H) dalam Tuhfat
al-Ahwadzi (I/24), Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri (w. 1353 H) dalam
Faidh al-Bârî (IV/39).
Kata al-‘ajâ’ib dalam maqalah ini
maksudnya adalah hal-hal aneh, kontroversial. Padahal, tegaknya kejayaan dan
kekuasaan kaum Muslim di akhir zaman,
merupakan bisyârah (berita gembira) akan tegaknya kembali Khilafah
setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat.
Jika riwayat ini digabung dengan riwayat lain yang semakna, yaitu riwayat akan
masuknya Islam di setiap rumah, hadits al-waraq al-mu’allaq, hadits
Khilafah turun di bumi al-Quds, hadits mengenai Dâr al-Islâm kaum Mukmin
berpusat di Syam, hadits hijrah setelah hijrah, hadits al-ghurabâ’, hadits
al-mahdi, dan hadits akan ditaklukkannya Roma, maka makna tersebut
bahkan bisa sampai pada tingkat mutawatir, sebagaimana ditegaskan Syaikh
Muhammad al-Syuwaiki dalam Al-Tharîq ilâ Daulat al-Khilâfah, dan Hafizh
Abdurrahman dalam buku Khilafah Islam dalam Hadist Mutawatir bi al-Ma’na.
Kesalahan fatal
Nadirsyah, setidaknya ada pada dua hal kentara nan asasi:
Pertama, Membatasi kajian pada
teks tafsir sebagian ulama, padahal teks-teks tafsir tersebut tidak bisa
dijadikan dalih untuk menegasikan sistem Khilafah di akhir zaman, tidak,
terlebih untuk membangun kesimpulan fatal, tidak ada sistem Khilafah;
Kedua, Mengabaikan
dalil-dalil al-Sunnah yang mengandung akhbar akhir zaman menyoal kembalinya
kekuasaan kaum Muslim, atau menakwilkannya dengan pemahaman yang keliru.
Artinya, kajian Nadirsyah,
tampak sebagai kajian prematur yang terlalu menyederhanakan masalah, sehingga
tak bisa dinilai sebagai tulisan yang memenuhi standar kajian ilmiah. Padahal
untuk sampai pada kesimpulan besar, menyoal eksistensi Khilafah di akhir zaman
terlebih untuk membahas ada tidaknya sistem Khilafah dalam Islam, maka dia
harus menelusuri akhbar terkait akhir zaman, bukan hanya satu ayat saja. Dan
tidak membatasi kajian sekedar kajian tafsir, melainkan harus menelusuri
kitab-kitab ulama mu’tabar yang men-syarah hadits-hadits akhir zaman. Terlebih
untuk sampai pada pembahasan ada tidaknya sistem baku Khilafah dalam Islam,
maka ini membutuhkan perspektif kajian lebih luas, mencakup kajian ushul fikih,
fikih, terutama fikih siyasah. Maka pada prinsipnya, narasi singkat berisi wahm
Nadirsyah Hossen:
كل ما
بني على باطل فهو باطل
“Segala hal yang dibangun di atas asas yang batil maka ia
pun batil.”
Kaidah ini,
disebutkan Prof. Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili dalam Al-Wajîz fî Ushûl
al-Fiqh al-Islâmi (juz I, hlm. 264), dan Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah
al-Zamil dalam Syarh al-Qawâ’id al-Sa’diyyah (hlm. 343).
Sebagai informasi
saja, topik Bisyarah Tegaknya Kembali Khilafah di Akhir Zaman, sebenarnya
telah kami uraikan –bi fadhliLlâhi Ta’âlâ- dalam dua buku ilmiah saya,
dalam satu bab khusus; (1) Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah (2017) dan (2)
Konsep Baku Khilafah Islamiyyah (2019). Di sini fokus kajian saya adalah
mengkritisi tulisan singkat Nadirsyah dan menyajikan hujjah, tegaknya khilafah
di akhir zaman, semuanya diulas secara ringkas padat, in sya Allah. []
والله أعلم
بالصواب
Comments
Post a Comment