
Tahukah antum berapa jumlah kaum Muslim (mujahid)
yang syahid -in sya Allah- dalam perang al-Qadisiyyah melawan pasukan Kisra'
Persia? Sekitar 8.500 jiwa.
Di antara jajaran mujahid yang berperan besar dalam
jihad ini adalah Sa'ad bin Abi Waqqash r.a. dan Al-Qa'qa al-Tamimi r.a..
Perjuangan mereka bukan tanpa alasan, dan bukan tanpa kepemimpinan, berjihad di
bawah naungan panji tauhid, al-Liwa' dan al-Rayah, di bawah kepemimpinan Shahib
al-Laqab, Amir al-Mu'minin al-Khalifah 'Umar bin al-Khaththab -radhiyaLlahu
'anhu-.
Untuk apa? Untuk meninggikan kalimat tauhid hingga
setinggi-tingginya, memenangkan Din Islam, menghancurkan penghalang fisik yang
merintangi dakwah Islam sampai kepada umat manusia, menebarkan rahmatnya.
Jihad agung ini pun membuktikan akhbar nabawi
berkaitan dengan akan ditaklukkannya Persia, Bait al-Abyadh.
Sebagaimana jihad ini pun merefleksikan politik
luar negeri (al-siyasah al-kharijiyyah) dari kepemimpinan agung khalifah kedua
di antara Khulafa' Rasyidun yang menegakkan kekhilafahan di atas manhaj
kenabian. Jelas, visi dakwah wajib
melekat pada aktivitas politik dalam dan luar negeri dalam Islam, sebagaimana
ditegaskan Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini al-Syafi’i (w. 478 H),
bahwa penguasa wajib mengemban dakwah dengan hujjah dan jihad.[1]
Diperjelas argumentasi al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H) ketika
menjelaskan kepemimpinan dalam Islam, bahwa kepemimpinan dalam Islam (Khilafah)
secara syar’i adalah “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia,
untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh penjuru dunia.”[2]
Inilah sebaik-baiknya sistem politik, wajib
diterapkan dan diteladani. Dari Al-’Irbadh bin Sariyah ra ia berkata:
Rasulullah ﷺ bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku,
dan sunnah para khalifah al-rasyidin al-mahdiyyin (khalifah empat yang
mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut) dengan geraham yang
kuat.” (HR. Ahmad, Ibn
Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Visi Ideologis
Di antara momentum agung kaum Muslim dalam jihad
al-Qadisiyyah adalah peristiwa tatkala Rib’i bin Amir r.a., berkata dihadapan
Jenderal Persia, Rustum, dimana ia lantang penuh terhormat berkata:
الله ابتعثنا لنخرج من شاء من عبادة العباد إلى عبادة
الله، ومن ضيق الدنيا إلى سعتها، ومن جور الاديان إلى عدل الاسلام، فأرسلنا بدينه
إلى خلقه لندعوهم إليه، فمن قبل ذلك قبلنا منه ورجعنا عنه، ومن أبى قاتلناه أبدا
حتى نفضي إلى موعود الله.
“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa
saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada
penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dari
kezhaliman agama-agama kepada keadilan Al-Islam. Maka Dia mengutus kami dengan
agama-Nya untuk kami seru mereka kepadanya. Maka barangsiapa yang menerima hal
tersebut, kami akan menerimanya dan pulang meninggalkannya. Tetapi barangsiapa
yang enggan, kami akan memeranginya selama-lamanya hingga kami berhasil
memperoleh apa yang dijanjikan Allah”
Mereka bertanya, “Apa yang dijanjikan Allah (kepada
kalian)?”
Beliau menjawab, “Surga bagi siapa saja yang mati
dalam memerangi orang-orang yang menolak Islam dan kemenangan bagi yang hidup.”
Rustam pun berkata, “Sungguh aku telah mendengar
perkataan-perkataan kalian. Tetapi maukah kalian memberi tangguh perkara ini
sehingga kami mempertimbangkannya dan kalian pun mempertimbangkannya?”
Beliau menjawab, “Ya, berapa lama waktu yang kalian
sukai? Sehari atau dua hari?”
Rustam menjawab, “Tidak, tetapi hingga kami menulis
surat kepada para petinggi kami dan para pemimpin kaum kami.”
Maka beliau pun menjawab, “Nabi kami tidak pernah
mengajarkan kepada kami untuk menangguhkan peperangan semenjak bertemu musuh
lebih dari tiga (hari). Maka pertimbangkanlah perkaramu dan mereka, dan
pilihlah satu dari tiga pilihan apabila masa penangguhan telah berakhir.”
Rustum bertanya, “Apakah kamu pemimpin mereka?”
Beliau menjawab, “Tidak, tetapi kaum Muslimin
ibarat jasad yang satu. Orang yang paling rendah dari mereka dapat memberikan
jaminan keamanan terhadap yang paling tinggi.”
Maka (akhirnya) Rustum mengumpulkan para petinggi
kaumnya kemudian berkata, “Pernahkah kalian melihat (walau sekali) yang lebih
mulia dan lebih benar dari perkataan lelaki ini?”
Mereka menjawab, “Kami minta perlindungan dari
Tuhan (supaya engkau tidak) terpengaruh kepada sesuatu dari (ajakan) ini dan
dari menyeru agamamu kepada (agama) anjing ini. Tidakkah engkau melihat
pakaiannya?”
Rustum menjawab, “Celaka kalian! Janganlah kalian
melihat kepada pakaian. Akan tetapi lihatlah kepada pendapat, perkataan, dan
jalan hidupnya! Sesungguhnya orang ‘Arab menganggap ringan masalah pakaian dan
makanan. Tetapi mereka menjaga harga diri mereka.”
Irfan Abu Naveed Al-Atsari
Penulis Buku "Konsep Baku Khilafah
Islamiyyah"
www.irfanabunaveed.net
[1] Abu al-Ma’ali
al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, juz I, hlm. 22.
[2] Ini merupakan pemahaman
salafunâ al-shâlih, dibuktikan oleh hujjah syar’i ijma’ sahabat, yang
menegaskan pentingnya khilafah dan kewajiban menegakkannya, disamping
dalil-dalil al-sunnah al-nabawiyyah, yang memperhatikan benar persoalan al-imâmah
(kepemimpinan politik) dalam Islam.
Comments
Post a Comment