Ada sebagian orang
yang berpendapat (berdasarkan wahm) bahwa fase pemerintahan Umayyah, Abbasiyyah
dan Utsmaniyyah adalah era monarki konstitusional. Klaim ini berbahaya, karena
memalingkan umat dari sejarah kekhilafahan dan esensi kewajiban menegakkan Khilafah
dalam Islam, dengan dalih para ulama terdahulu setuju dengan konsepsi monarki
(kerajaan). Maka wajib kita
evaluasi: Lantas yang menjadi ciri khas monarki itu apa? Pewarisan? Itu
menyederhanakan masalah, mereka yang mempelajari ilmu politik terkait kekhasan
bentuk bentuk pemerintahan, dan memahami sejarah kekhilafahan, tidak akan
sembarangan memvonis pemerintahan mereka sebagai pemerintahan berbentuk monarki
konstitusional, dengan ciri khas berdiri di atas asas kedaulatan raja dan
hukum-hukumnya, bukan kedaulatan di tangan al-Syari' (Allah) dan
hukum-hukum-Nya.
Meskipun estafeta kepemimpinan periode ini berada dalam daur kekerabatan (’Umayyah, ’Abbasiyyah dan ’Utsmaniyyah), keabsahan setiap khalifah pada periode ini tetap kembali pada bai’at syar’i umat atas mereka, dimana para ulama pun menegaskan bai’at sebagai metode syar’i pengangkatan khalifah. Sehingga status mereka bukan raja dengan sistem khas monarki konstitusional, melainkan khalifah dengan sistem khilafah, ini merupakan realitas yang disepakati para ulama.
Meskipun estafeta kepemimpinan periode ini berada dalam daur kekerabatan (’Umayyah, ’Abbasiyyah dan ’Utsmaniyyah), keabsahan setiap khalifah pada periode ini tetap kembali pada bai’at syar’i umat atas mereka, dimana para ulama pun menegaskan bai’at sebagai metode syar’i pengangkatan khalifah. Sehingga status mereka bukan raja dengan sistem khas monarki konstitusional, melainkan khalifah dengan sistem khilafah, ini merupakan realitas yang disepakati para ulama.
Ulama mujtahid
yang menguasai banyak disiplin ilmu syar’i, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi (w.
911 H) dalam pengantar kitabnya, Târîkh al-Khulafâ’ (Sejarah Para Khalifah)
menegaskan:
إنما ذكرت الخليفة
المتفق على صحة إمامته و عقد بيعته
“Aku hanya
menyebutkan khalifah yang telah disepakati keabsahan imâmah-nya dan
keabsahan akad bai’atnya.”[1]
Bahkan sebelumnya, al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) menyifati mereka
(secara umum) dengan julukan al-khulafâ’ umarâ’ al-mu’minîn (para
khalifah yang menjadi pemimpin orang-orang beriman):
فهذا تاريخ لطيف ترجمت فيه الخلفاء أمراء
المؤمنين القائمين بأمر الأمة من عهد أبي بكر الصديق رضي الله عنه إلى عهدنا هذا
على ترتيب زمانهم الأول فالأول
Ini merupakan sejarah yang mulia sifatnya, aku uraikan didalamnya
biografi al-khulafâ’ umarâ’ al-mu’minîn (para khalifah yang merupakan
para pemimpin orang-orang beriman), yang memelihara urusan umat ini, dari
semenjak masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. sampai dengan masa khalifah di
masa ini (di masa al-Suyuthi masih hidup), secara berurutan pada setiap masa
mereka, yang pertama maka diurutkan pertama (demikian seterusnya).[2]
Al-Hafizh al-Suyuthi itu sendiri, hidup sekitar periode terakhir
pemerintahan era Khilafah ‘Abbasiyyah, yakni hidup di antara tahun 849-911 H/
1445-1505, yakni pada masa kekhilafahan:
No
|
Nama Khalifah
|
Masa Pemerintahan
|
1
|
Al-Mustakfi Billah II
|
845-854 H/1446-1455 M
|
2
|
Al-Qa’im
Biamrillah
|
754-859 H/1455-1460 M
|
3
|
Al-Mustanjid Billah
|
859-884 H/1460-1485 M
|
4
|
Al-Mutawakkil
‘AlaLlah
|
884-893 H/1485-1494 M
|
5
|
Al-Mutamassik Billah
|
893-914 H/1494-1515 M
|
[1] Abdurrahman Jalaluddin Al-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’,
Ed: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Mesir: Mathba’at al-Sa’adah, cet. I, 1371
H, hlm. 11.
Comments
Post a Comment