P
|
ara ulama mu’tabar menegaskan dalam
banyak keterangan, bahwa khilafah adalah kefardhuan yang didasarkan pada
dalil-dalil sam’iyyah (al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ sahabat), bukan dalil-dalil
’aqliyyah. Hal ini sejalan dengan kaidah ilmiyyah yang mereka tetapkan dalam
penggalian hukum syari’ah; wajib didasarkan pada ushûl al-syarî’ah:
al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ sahabat dan qiyas syar’i, sebagaimana ditegaskan
para ulama ushul dan fikih.[1] Berkaitan dengan ini
Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w. 204 H) menegaskan:
أَنَّ لَيْسَ لاَحَدٍ أَبَدًا أَنْ يَقُوْلَ
فِي شَئْ حلّ وَ لاَ حَرَم إِلاَّ مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةُ الْعِلْمِ
الخَبَرُ فِي الْكِتَابِ أَوْ السُّنَةِ أَوْ الإِجْمَاعِ أَوْ الْقِيَاسِ
Seseorang
tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali
didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab
(al-Quran), al-Sunnah, Ijma’ atau Qiyas.[2]
Senada
dengan itu, Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) juga menyatakan:
وَجُمْلَةُ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ
تَرْجِعُ إلَى أَلْفَاظِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ
وَالِاسْتِنْبَاطِ
Keseluruhan
dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam al-Kitâb
(al-Qur’an), al-Sunnah (al-Hadits), Ijma’ dan Istinbâth (Qiyas).[3]
Pernyataan para imam di atas, juga dinukil oleh Dr. Daud Rasyid dalam makalah yang ia presentasikan dalam pembelaannya terhadap ajaran Khilafah, dimana
ia pun menegaskan: “Semua ulama’ kaum Muslim sepanjang zaman
sepakat, bahwa adanya Khilafah ini adalah wajib. Jika Khilafah tidak ada, hukum
menegakkannya bagi seluruh kaum Muslim adalah wajib. Dasar kewajibannya tidak
didasarkan pada akal atau kesepakatan manusia, tetapi wahyu.” Ditegaskan para ulama
dari berbagai madzhab kaum Muslim, didasarkan pada al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’
sahabat, didukung oleh kaidah syar’iyyah.
Kewajiban mengangkat al-khalifah dan menegakkan sistemnya, yakni al-khilafah, mencakup karakteristik
agungnya, merupakan perkara yang ma’lûm disepakati ulama ahl
al-sunnah wa al-jamâ’ah, bahkan disebut-sebut
sebagai salah satu kefardhuan agama tersebar (min a’zhâm al-wâjibât)
[1] Diantaranya al-’Allamah al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H),
al-’Alim Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) (lihat misalnya: Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughat
al-Fuqahâ’, hlm. 72.
[2] Abu
Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risâlah, Ed: Rif’at Fauzi, Mesir: Dar al-Wafa’, cet. I, 1422 H/2001, hlm. 16.
[3] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, Ed: Muhammad bin Sulaiman
al-Asyqar, Beirut: Mu’assasat al-Risalah, cet. I, 1417 H/1997, juz II, hlm.
298.
Comments
Post a Comment