Catatan Kajian Irfan Abu Naveed
Penulis Buku Konsep Baku Khilafah Islamiyyah
Penulis Buku Konsep Baku Khilafah Islamiyyah
R
|
asulullah ﷺ tegas tidak mengabaikan penegakkan hukum Islam, dengan tidak menjadikan suara terbanyak sebagai pedoman dalam penegakkan hukum Islam,
diantara buktinya adalah sikap tegas Rasulullah ﷺ atas pengajuan
sahabat yang meminta pengampunan atas sanksi had. Dalam hadits shahih dari ‘Aisyah istri Nabi ﷺ, bahwa saat
penaklukan Kota Makkah di masa Rasulullah ﷺ, orang-orang
Quraisy pernah kebingungan menghadapi permasalahan seorang wanita (bangsawan)
yang ketahuan mencuri.
Mereka
berkata: "Siapa kiranya yang berani mengadukan permasalahan ini kepada
Rasulullah ﷺ?" maka sebagian mereka mengusulkan: "Siapa lagi kalau
bukan Usamah bin Zaid, orang yang paling dicintai oleh Rasulullah ﷺ." Lalu
wanita itu dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ dan Usamah bin
Zaid r.a. pun mengadukan permasalahannya kepada beliau ﷺ, tiba-tiba
wajah Rasulullah ﷺ berubah menjadi merah seraya bersabda:
أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ
Maka
Usamah berkata kepada beliau:
اسْتَغْفِرْ لِي يَا رَسُولَ الله
“Mohonkanlah ampunan Allah bagiku wahai Rasulullah ﷺ.”
Maka
pada sore harinya Rasulullah ﷺ berdiri dan berkhutbah (اختطب), setelah memuji Allah dengan pujian yang layak untuk-Nya,
beliau ﷺ bersabda:
«أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّمَا
أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ
تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ
وَإِنِّي وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ
سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»
“Amma Ba'du. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang
sebelum kalian adalah manakala ada orang yang terpandang (terhormat) dari
mereka mencuri, maka merekapun membiarkannya. Namun jika ada orang yang lemah
dan hina di antara mereka ketahuan mencuri, maka dengan segera mereka
melaksanakan hukuman atasnya. Demi Dzat yang jiwaku berada tangan-Nya,
sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan
memotong tangannya.”
Akhirnya
beliau memerintahkan terhadap wanita yang mencuri, lalu dipotonglah tangan
wanita tersebut." Yunus berkata; Ibnu Syihab berkata; Urwah berkata;
'Aisyah berkata: "Setelah peristiwa itu, wanita tersebut bertaubat
sungguh-sungguh dan menikah, hingga pada suatu ketika ia datang kepadaku untuk
meminta tolong mengajukan permintaannya kepada Rasulullah ﷺ, lalu aku
memenuhi permintaannya tersebut." (HR. Muslim. Lihat pula riwayat-riwayat
lainnya dari Imam al-Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah dan
Imam al-Darimi)[2]
Al-Hafizh
Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) ketika menjelaskan hadits serupa di atas (riwayat Imam
al-Bukhari) menuturkan:
وَسَبَبُ
إِعْظَامِهِمْ ذَلِكَ خَشْيَةُ أَنْ تُقْطَعَ يَدُهَا لِعِلْمِهِمْ أَنَّ
النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُرَخِّص فِي الْحُدُود ، وَكَانَ
قَطْع السَّارِق مَعْلُومًا عِنْدهمْ قَبْل الْإِسْلَام ، وَنَزَلَ الْقُرْآنُ
بِقَطْعِ السَّارِق فَاسْتَمَرَّ الْحَال فِيهِ
Dan penyebab kekhawatiran mereka (orang-orang Quraisy)
adalah ketakutan akan dipotongnya tangan wanita ini, karena mereka menyadari
bahwa Nabi ﷺ tidak akan meringankan sanksi
hudud. Dan dahulu, sanksi potong tangan bagi pencuri sudah lumrah di antara
mereka sebelum turunnya Islam, dan turunlah Al-Qur’an yang mensyari’atkan
sanksi potong tangan bagi pencuri, maka sanksi ini tetap berlangsung.[3]
Dalam hadits yang mulia ini, ada beberapa hal yang menguatkan
larangan meminta pengampunan terhadap sanksi ini (termasuk memusyawarahkan
apakah dilaksanakan atau tidak):
Pertama, Usamah
bin Zaid r.a. menyampaikan kasus ini kepada Rasulullah ﷺ untuk meminta
pengampunan. Karena makna kalimat:
(فَقَالُوا مَنْ يُكَلِّم فِيهَا
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
“Siapa
yang berani mengadukan permasalahan ini kepada Rasûlullâh ﷺ?”
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan maknanya:
أَيْ يَشْفَع عِنْده فِيهَا
أَنْ لَا تُقْطَعَ إِمَّا عَفْوًا وَإِمَّا بِفِدَاءٍ
“Yakni
pengampunan dari Rasulullah ﷺ terhadap pencurian ini agar tidak disanksi potong tangan apakah
dimaafkan atau diganti dengan denda.”[4]
Permintaan yang disampaikan Usamah bin Zaid r.a. ini,
membuat merah wajah Rasulullah ﷺ, lantas beliau
ﷺ menjawab:
(فَقَالَ : أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ
مِنْ حُدُود اللَّه)
“Apakah
engkau hendak meminta keringanan terhadap sanksi hudûd Allâh?!”
Dan makna jawaban
Rasulullah ﷺ di atas, meski bernada pertanyaan namun maksudnya adalah
pengingkaran (al-istifhâm
al-inkâri), dalam ilmu balaghah ini termasuk istifhâm balâghi yang
menunjukkan larangan, dan tidak membutuhkan jawaban (istifsâr), sebagaimana
dijelaskan Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani:
بِهَمْزَةِ الِاسْتِفْهَام الْإِنْكَارِيّ لِأَنَّهُ كَانَ سَبَقَ لَهُ مَنْعُ
الشَّفَاعَةِ فِي الْحَدّ قَبْل ذَلِكَ
“Yakni hamzah bernada pertanyaan yang bermakna
pengingkaran, karena telah ditetapkan sebelumnya larangan meminta pengampunan
terhadap sanksi had.”[5]
Kedua, Usamah bin Zaid menyadari bahwa perbuatannya
tersebut keliru, hingga beliau meminta agar Rasulullah ﷺ memintakan ampunan kepada Allah untuknya, ia berkata:
اسْتَغْفِرْ لِي يَا رَسُولَ الله
"Mohonkanlah
ampunan bagiku wahai Rasulullah ﷺ."
Ketiga, setelah
peristiwa tersebut, pada sore harinya Rasulullah ﷺ berdiri dan
berkhutbah dengan khutbah yang sangat kuat dan mendalam, karena makna اختطب dalam hadits di atas adalah:
خَطَبَ وبَالَغَ في الخطبة
“Berkhutbah
namun bukan sembarang khutbah karena kuat dan mendalam dalam khutbah tersebut.”
Keempat, Dalam khutbahnya ini Rasulullah ﷺ mengabarkan
penyebab kehancuran kaum-kaum sebelum kaum muslimin adalah tidak adil dalam
menegakkan hukum mengundang murka dan siksa Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebagaimana dituturkan dalam syarh hadits ini:
سَبَّبَ لهم الهلاك وهو غَضَبُ الله وعقابُه
“Penyebab
kehancuran mereka adalah kemurkaan dan siksa Allah SWT.”
[1] Lihat: Hudud bagi pencuri berdasarkan QS. al-Mâ’idah [5]: 38
& dirinci al-Sunnah. Dalam
penjabarannya, hukuman bagi pencuri itu apakah wajib dipotong tangan atau tidak
(dihukum dengan bentuk hukuman lain), setelah hakim mengkaji ‘illat hukumnya
(alasan si pencuri melakukan pencurian) dan kadar pencuriannya (dipotong tangan
jika ¼ dinar atau lebih = 4 ¼ gram emas murni (hadits Ahmad, al-Nasa’i, Ibn
Majah)).
[2] Lihat pula: ‘Abdul Ghani bin ‘Abdul Wahid
Al-Maqdisi, ‘Umdat al-Ahkâm Min Kalâm Khair Al-Anâm –‘Alaih al-Shalât
wa al-Salâm-, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.II, 1429 H/2008.
[3] Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath
al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1379 H, juz XII, hlm. 88.
Comments
Post a Comment