Kajian Tsaqafiyyah Menyoal Bendera Islam (Bagian II)
Pengasuh
Ponpes STIQ & Majelis Ta’lim KH. Sholeh Madani di Kota Santri Cianjur
Dosen Fikih
& Bahasa Arab
T
|
elah
jelas nan terang benderang bahwa bendera tauhid merupakan syi’ar Islam,
bukan hanya itu, kedudukannya sebagai bendera dan panji Rasulullah ﷺ pun menunjukkan kedudukannya
sebagai bagian dari sunnah beliau ﷺ, sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Ibn
Bathal, sehingga menyi’arkannya merupakan bagian dari upaya menghidupkan sunnah
Rasulullah ﷺ, dengan perincian argumentasi mapan
berikut ini:
A. Menyi’arkan Panji Tauhid: Menghidupkan Sunnah
Rasulullah ﷺ
Al-liwâ’ dan al-râyah
merupakan nama untuk bendera dan panji Rasulullah ﷺ. Secara
bahasa, keduanya berkonotasi al-’alam (bendera).[1]
Namun secara syar’i, al-liwâ’ (jamak: al-alwiyah) dinamakan pula al-râyah
al-’azhîmah (panji agung)[2],
dikenal sebagai bendera negara atau simbol kedudukan pemimpin,[3] yang tidak dipegang
kecuali oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan brigade pasukan (amîr
al-jaisy) yakni Khalifah itu sendiri[4],
atau orang yang menerima mandat dari Khalifah, sebagai simbol kedudukan
komandan pasukan. Ia memiliki karakteristik berwarna putih, dengan khath berwarna
hitam “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”, berjumlah satu.[5]
Sedangkan al-râyah (jamak:
al-râyât), ia adalah panji (al-’alam) berwarna hitam,
dengan khath berwarna putih “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”,
dinamakan pula al-’uqâb. al-râyah berukuran lebih kecil daripada al-liwâ’,
dan digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen pasukan
(satuan-satuan pasukan (katâ’ib)), tersebar sesuai dengan jumlah
pemimpin detasemen dalam pasukan, sehingga berjumlah lebih dari satu.[6]
Dijelaskan pula oleh pakar hadits dan fikih kontemporer,
Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’ yakni panji pasukan, dikatakan pula bahwa ia adalah
simbol kesatuan seorang Pemimpin Negara, dimana ia berada di sisinya dimanapun
berada. Hal ini relevan, banyak
dalil-dalil al-sunnah dan atsar yang menjelaskan tentang al-liwâ’ dan al-râyah,
diantaranya dari Ibn Abbas r.a.:
«كَانَ
لِوَاءُ -صلى الله عليه وسلم- أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ»
“Bendera (liwâ’) Rasulullah ﷺ
berwarna putih, dan panjinya (râyah) berwarna hitam.” (HR. Al-Hakim, al-Baghawi, al-Tirmidzi. Lafal
al-Hakim)[7]
Dari Ibn Abbas r.a:
«كَانَتْ
رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ
عَلَيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ»
“Panjinya (râyah) Rasulullah ﷺ berwarna hitam, dan benderanya (liwâ’)
berwarna putih, tertulis di dalamnya: “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”.” (HR. Al-Thabrani)[8]
Dari Jabir bin Abdullah r.a.:
«أَنَّ النبي -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ
دَخَلَ مَكَّةَ أَبْيَضَ»
“Bahwa Nabi ﷺ liwa’-nya pada hari penaklukkan Kota Mekkah berwarna putih.” (HR. Ibn Majah,
Al-Hakim, Ibn Hibban. Lafal al-Hakim)[9]
Dari Yunus bin Ubaid mawla’ Muhammad
bin al-Qasim, ia berkata: Muhammad bin al-Qasim mengutusku kepada al-Bara’ bin
‘Azib, aku bertanya tentang râyah Rasulullah ﷺ seperti apa? Al-Bara’ bin ‘Azib
menjawab:
«كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ
نَمِرَةٍ»
”(Al-Râyah) ia berwarna hitam, berbentuk persegi panjang
terbuat dari kain wol.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Baghawi,
al-Nasa’i)[10]
Dari al-Hasan r.a, ia
berkata:
«كَانَتْ
رَايَةُ النَّبِيِّ -صلى
الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ»
Dari Ibn Abbas r.a.:
«كَانَتْ
رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ
عَلَيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ»
“Panjinya (râyah) Rasulullah ﷺ
berwarna hitam, dan benderanya (liwâ’) berwarna putih, tertulis di dalamnya:
“lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”.” (HR. Abu al-Syaikh
al-Ashbahani)[12]
Imam Ali bin Muhammad
Abu al-Hasan Al-Khuza’i (w. 789 H) begitu pula Syaikh Abdul Hayy al-Kattani (w.
1382 H) pun menukil hadits di atas, dalam satu subjudul mâ kâna maktûban fîhâ
(apa yang tertulis pada bendera dan panji Rasulullah ﷺ). Dimana keduanya menegaskan, Ibn Abbas r.a.
menambahkan, tertulis pada benderanya kalimat lâ ilâha illaLlâh.[13] Intinya, dari sejumlah jalur periwayatan
menyoal tulisan yang termaktub pada bendera dan panji Islam ini, riwayat Abu al-Syaikh
dari Ibn ‘Abbas r.a., adalah riwayat maqbul,
bahwa bendera dan panji Rasulullah ﷺ
bertuliskan kalimat tauhid: syahadatain. Sedangkan khath (tulisan)-nya adalah
khath yang masyhur di masa Rasulullah ﷺ,
yakni khath Makkiy (khath Makkah) dan Madaniy (khath Madinah). Ini didasarkan
pada keterangan yang disampaikan oleh Ibn al-Nadim.[14]
Didukung oleh argumentasi bahwa kalimat
tauhid, adalah kalimat yang paling layak menjadi syi’ar pada bendera dan panji kepemimpinan
Islam, sejalan dengan tauhid yang menjadi fondasi Daulah Islamiyyah yang
ditegakkan Rasulullah ﷺ,
dilanjutkan para khalifah setelahnya (khususnya al-khulafa’ al-rasyidun),
sebagaimana ditegaskan para ulama, salah satunya al-’Allamah al-Syaikh
Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani[15], di antaranya berdasarkan hadits dari Abdullah bin ‘Umar
ra., ia menuturkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ»
“Aku diperintah untuk memerangi
manusia hingga mereka mengatakan, “Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah”, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika
mereka melakukan itu, terpeliharalah harta dan darah mereka dariku, kecuali karena
alasan yang haq, dan perhitungan mereka di sisi Allah.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
Begitu pula al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji (w. 1435 H) pun menegaskan kalimat tauhid yang tersurat dalam kalimat adzan
mengandung filosofi asas negara (al-Daulah al-Islâmiyyah) yang dibangun
Rasulullah ﷺ, hal itu ia uraikan secara apik dalam salah satu magnum
opus-nya, kitab Ru’yat[un] Siyâsiyyat[un] li al-Sîrah al-Nabawiyyah.
Maka relevan jika kalimat tauhid ditegaskan sebagai simbol yang termaktub pada
bendera dan panji Rasulullah ﷺ.
Dalil-dalil di atas
secara sharîh menisbatkan bendera dan panji dengan karakteristiknya yang
istimewa kepada Rasulullah ﷺ. Maka tidak
mengherankan jika para ulama hadits bahkan menuliskan satu subbab khusus
berkenaan dengan al-liwâ’ dan al-râyah, diantaranya: Al-Bukhari
dalam Shahih-nya menuliskan subbab
(مَا قِيْلَ فِي لِوَاء النَّبِي صلى الله عليه و سلم), Ibn Majah dalam Sunan-nya
menuliskan subbab (باب الرَّايَات والأَلْوِيَّة), Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya
menuliskan subbab (مَا جَاءَ فِيْ الرَّايَات), Ibn Hibban dalam Shahih-nya
menuliskan subbab (ذِكْرُ وَصْفِ لِوَاءِ الْمُصْطَفَى
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ دُخُولِهِ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ) dan lainnya, yang cukup menunjukkan
keberadaan bendera dan panji istimewa Rasulullah ﷺ.
Bendera dan panji dalam hadits-hadits ini, merupakan
simbol kenegaraan Rasulullah ﷺ, hal ini
menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ pun mengatur
masyarakat Madinah dalam ruang lingkup kenegaraan, dan menetapkan adanya bentuk
bendera dan panji dengan karakteristik istimewa, ketika bendera dan panji
tersebut bertuliskan kalimat tauhid, maka hal tersebut relevan dengan realitas
bahwa Rasulullah ﷺ membangun Daulah Islamiyyah di
Madinah al-Munawwarah di atas fondasi tauhid, akidah Islam.[16]
Diperjelas sabda
Rasulullah ﷺ ketika Perang Khaibar:
«لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ،
يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ»
”Sungguh aku akan
memberikan al-râyah kepada seseorang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua
tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun
mencintainya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)[17]
Imam Ibn Bathal (w. 449 H)[18] ketika
menjelaskan hadits ini bahkan mencirikan panji tauhid al-rayah sebagai sunnah
Rasulullah ﷺ, Ibn Bathal menegaskan:
(لأعطين الراية) فعرفها بالألف
واللام يدل أنها كانت من سنته - (صلى الله عليه وسلم) - فى حروبه فينبغى أن يسار
بسيرته فى ذلك.
“Rasulullah ﷺ bersabda, “
Sungguh aku akan menyerahkan al-Raayah”, kata al-Raayah yang
diungkapkan dalam bentuk ma’rifat (ada alif dan lam) menunjukkan bahwa hal
tersebut merupakan sunnah Rasulullah ﷺ dalam
peperangan, maka sudah seharusnya kaum Muslim meneladani Rasulullah ﷺ dalam hal
tersebut.”[19]
Berangkat dari argumentasi terang benderang di atas, maka
jelas menghidupkan syi’ar panji tauhid termasuk dalam keumuman menghidupkan
sunnah nabi ﷺ, dan menghidupkan sunnah nabi ﷺ adalah syarat
bukti kecintaan padanya, dan kecintaan padanya adalah syarat untuk memasuki
surga-Nya.
B. Menyi’arkan Panji Tauhid: Bukti Cinta Kepada
Rasulullah ﷺ
Menyi’arkan panji tauhid merupakan bentuk menghidupkan
sunnah Nabi ﷺ, dan menghidupkan sunnah Nabi ﷺ adalah bukti
kecintaan padanya ﷺ, berdasarkan dalil hadits dari
Anas bin Malik r.a., Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي،
وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ»
“Barangsiapa
yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja
yang mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR.
Al-Tirmidzi, al-Thabrani)[20]
Kata sunnati, berkonotasi thariqi, yakni
jalan hidupku,[21] mencakup seluruh ajaran-ajaran yang beliau gariskan
untuk umatnya, baik berupa ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi’liyyah)
yang dicontohkan Rasulullah ﷺ bagi umatnya. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H)
menguraikan:
Sunnah asalnya bermakna thariqah (metode) dan sirah (jalan hidup),
dan disebutan secara syar’i, yang dimaksud dengannya adalah apa-apa yang Nabi ﷺ perintahkan,
dan beliau ﷺ larang, serta puji baik berupa
perkataan, maupun perbuatan, selain ungkapan ayat al-Qur’an.[22]
Menghidupkan
sunnah Nabi ﷺ
adalah syarat mencintainya, berdasarkan ungkapan (مَنْ
أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي), dimana informasi (khabar) agung ini pun diungkapkan
Rasulullah ﷺ
dengan penegasan berupa huruf qad di depan kata kerja lampau (al-fi’l
al-madhi), yang berfaidah menafikan adanya keraguan atas kebenaran
informasi tersebut, kebenaran cinta bagi siapa saja yang menghidupkan sunnah
Nabi ﷺ.
Kata kerja ahya dalam ungkapan (مَنْ
أَحْيَا سُنَّتِي), berkonotasi “menghidupkan”, yakni dengan
mengamalkan sunnah tersebut.[23] Dalam ilmu balaghah, kalimat ahya
sunnati merupakan bentuk majazi (kiasan), yakni bentuk isti’arah (peminjaman
istilah), menggambarkan upaya mengimani, mengagungkan, mempelajari,
mengajarkan, serta membela dari segala bentuk penyimpangan dan penistaan
atasnya. Syaikh Abdurrahman al-Mubarakfuri (w. 1353 H) menegaskan, yakni dengan
mengunggulkannya dan menyebarkannya dengan perkataan atau perbuatan.[24]
Namun penjelasan lebih terperinci, diuraikan Imam Izzuddin
al-Shan’ani (w. 1182 H) bahwa menghidupkan sunnah, terwujud dengan mengamalkannya, menyiarkannya, dan menafikan penyimpangan
kaum yang menyimpang atasnya.[25] Imam Izzuddin
al-Shan’ani menguraikan makna (فَقَدْ
أَحَبَّنِي), yakni benar-benar cinta kepada Rasulullah ﷺ, karena sesungguhnya siapa saja yang mencintai seseorang, maka
ia akan bertingkah laku seperti pihak yang dicintainya, maka tanda cinta seseorang
kepada Rasulullah ﷺ
adalah bertingkah laku sesuai sunnahnya, menolong sunnahnya, serta menyeru manusia kepadanya.[26]
Padahal
mencintai Rasulullah ﷺ
merupakan tuntutan keimanan dan sifat yang terpuji. Al-‘Allamah al-Syaikh
Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1314 H) menguraikan bahwa cinta kepada
Rasulullah ﷺ
termasuk sifat yang terpuji, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik r.a., dari
Nabi ﷺ
bersabda:
«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ
اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا»
“Tidak beriman salah
satu di antara kamu, hingga menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai
daripada kepada selain keduanya.” (HR. Ahmad, al-Bazzar)[27]
Frasa (لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) berkonotasi
tidak beriman dengan iman yang sempurna (îmân[an] kâmil[an]), yang
menunjukkan kesempurnaan iman dibuktikan dengan menjadikan cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya di atas segala-galanya, dimana kecintaan terhadap Allah dan
Rasul-Nya, dibuktikan dengan cara ittiba’ terhadap Rasulullah ﷺ:
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ {٣١}
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Âli
Imrân [3]: 31)
Dan kita, sebagaimana sya’ir yang
dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H):
نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي،
وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا
“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami
membangun * Dan
kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[28]
[1] Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Kairo: Dâr
al-Ma’ârif, juz V, hlm. 4109.
[2] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf Al-Nawawi, Syarh
Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turats al-‘Arabi, cet.
II, 1392 H, juz XII, hlm. 43.
[3] Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, juz V, hlm. 4109.
[4] Ibid.
[5] Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar.
[6] Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar.
[7] HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (2506),
Al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah (2663), al-Tirmidzi dalam Sunan-nya
(1681): “Hadits hasan gharib”.
[8] Abu al-Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlaq al-Nabi (424) adalah riwayat maqbul. Periwayatan
hadits dari Jalur Ibn Abbas ini, semua rawinya dapat diterima. Dari rangkaian
perawinya, hanya ada satu perawi saja yang diperdebatkan yakni Hayyan bin
Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’if karena tafarrud (seperti pendapat
Ibn Adi), tetapi Ibn Hibban menempatkan dalam “al-Tsiqqat’, Abu Hatim
mengatakan shaduq, Abu Bakar al-Bazzar mengatakan masyhur dan “laisa bihi
ba’sa”. Tafarrudnya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadharatkan hadits karena
keadaannya tsiqah atau shaduq (lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian
juga ikhtilath nama antara Hayyan bin Ubaidillah (حيان) dan Haban bin
Yassar (حبان)
sudah dijelaskan oleh para ulama, semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib
al-Kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal, dll. Penjelasan terkait
dengan tafarrud dan ikhtilath Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam
tulisan khusus. Kesimpulannya, hadits dari Abu Syaikh dari jalur Ibn Abbas
maqbul (Yuana Ryan Tresna, Pengasuh Ma’had Khadimus Sunnah).
[9] HR. Ibn Majah dalam Sunan-nya (2817), Al-Hakim
dalam al-Mustadrak (2505): “Hadits shahih memenuhi syarat syaikhayn (al-Bukhari
dan Muslim) meski keduanya tidak meriwayatkannya”, Ibn Hibban dalam Shahîh-nya
(4743) dengan sedikit perbedaan redaksi.
[10] HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (1680): “Hadits
hasan gharib.”, Al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah (2663),
al-Nasa’i dalam Sunan-nya (8552).
[11] HR. Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (33604).
[12] HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (219).
[13] Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Khuza’i, Takhrij
al-Dilalat al-Sam’iyyah ’ala Ma Kana fi ’Ahd Rasulillah ﷺ, Ed: Dr. Ihsan Abbas, Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, cet. II, 1419 H, hlm.
366.
Muhammad Abdul Hayy al-Kattani, Al-Taraatiib
al-Idaariyyah, Beirut: Dar al-Arqam, cet. II, juz I, hlm. 266.
[14] Muhammad bin Ishaq Ibn Al-Nadim, Al-Fihrist, Beirut:
Dar al-Ma’rifah, cet. II, 1417 H, hlm. 16.
[16] Hal ini sekaligus menguatkan sekian banyak bantahan yang
meruntuhkan tuduhan bahwa Rasulullah ﷺ
bukan kepala negara dan tidak mengatur urusan kenegaraan.
[17] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(2847), Muslim dalam Shahîh-nya (6299), Ahmad dalam Musnad-nya
(1608), Ibn Majah dalam Sunan-nya (121), lafal al-Bukhari.
[18] Abu al-Hasan
Ali bin Khalaf Ibn Bathal, Syarh Shahiih al-Bukhaari, Riyadh: Maktabat
al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V, hlm. 141.
[19] Ibid.
[20] HR.
Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2678, bab بَابُ
مَا جَاءَ فِي الأَخْذِ بِالسُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ البِدَعِ), ia berkata: “Hadits
ini hasan gharib dari jalur ini.”; Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath
(no. 9439).
[21] Ubaidullah
al-Rahmani al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, India: Idarat
al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1404 H, hlm. 281.
[22] Majduddin
Abu al-Sa’adat Al-Mubarak Ibn al-Atsir, Al-Nihâyah fi Gharib al-Hadîts, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399 H, juz II, hlm. 409.
[23] Ubaidullah
al-Rahmani al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, India: Idarat
al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1404 H, hlm. 281.
[24] Abdurrahman
al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzi, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz VII, hlm. 371.
[25] Muhammad bin
Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh:
Maktabah Dar al-Salam, cet. I, 1432 H, juz X, hlm. 55.
[26] Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwir
Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz X, hlm. 55.
[27] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 13151) Syaikh
Syu’aib al-Arna’uth mengomentari “Sanadnya shahih sesuai syarat Syaikhain
(Al-Bukhari dan Muslim)”; Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 7540).
[28] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb
al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, cet.
III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi,
Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb
al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24;
Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo:
Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.
Comments
Post a Comment