
Dalam catatan fikih, keabsahan "putera mahkota" ditentukan oleh adanya bai'at bukan statusnya sebagai "putera mahkota", istilah bai'at ini disinggung dalam banyak hadits nabawi dan ditegaskan dalam kutub fiqh bahasan atau bab al imamah, terlepas apakah istikhlaf tersebut berlanjut kepada apa yang disebutnya "putera mahkota" atau kepada orang lain, itu soal lain terkait bakal calonnya, dimana pada prinsipnya setiap muslim selama memenuhi syarat pengangkatan maka berhak mencalonkan diri sebagai khalifah, termasuk "putera mahkota" yang bisa jadi punya pengalaman di bidang politik karena terkondisikan lingkungan politik keluarganya.
Salah
satu dalil keabsahan Khalifah dengan bai'at: hadits dari Abu Sa’id al-Khudri
r.a. ia berkata: ”Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فَاقْتُلُوا
الْآخَرَ مِنْهُمَا»
”Jika
dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir di antara keduanya.”
(HR. Muslim dalam Shahih-nya, Abu ’Awanah al-Isfaraini dalam Musnad-nya,
al-Baihaqi Al-Sunan al-Kubrâ’)
Hadits
ini secara sharîh menggunakan lafal ”khalifah”, dan kata kerja pasif
"buyi'a" maka jelas bahwa hadits ini menjadi salah satu dasar yang
mendasari adanya dasar keabsahan khalifah dan istilah khalifah dengan konotasi
syar’i. Konotasi tersebut bisa kita ketahui dari indikasi: ”jika dibai’at...
maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
Adanya
bai’at menunjukkan bahwa ia bukan sembarang pemimpin, melainkan pemimpin umat
yang dibai’at untuk menegakkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah. Di sisi lain,
konsekuensi hukuman mati bagi pemecah belah kesatuan kaum Muslim dalam hadits
ini bukan perkara sepele, menunjukkan khalifah bukan sembarang pemimpin,
melainkan pemimpin yang telah ditetapkan syarat, karakteristik dan tupoksinya
oleh Islam. Karakteristik istimewa ini
yang membedakannya dengan istilah-istilah penguasa dalam sistem pemerintahan
lain selain Islam, seperti raja dalam sistem monarki konstitusional, presiden
dalam sistem republik, dan lain sebagainya.
Yang
menjadi masalah itu jika lantas asumsi adanya "putera mahkota"
langsung ditarik untuk membangun kesimpulan prematur "dinasti umayyah s.d.
utsmaniyyah menganut sistem monarki konstitusional". Padahal ukuran sistem
monarki tak lantas ditentukan oleh adanya pengangkatan "putera mahkota".
Korut pun diwariskan dari bapak ke anak, tapi tak lantas diklaim menganut
sistem monarki, tetap republik komunis.
Masalahnya, ada oknum tokoh yang menggiring opini bahwa sistem monarki konstitusional
itu sah sah saja (tak mesti khilafah) dengan asumsinya (bil ma'na):
======
Masa
dinasti umayyah, abbasiyyah dan utsmaniyyah menganut sistem "putera
mahkota", artinya menganut sistem monarki, kalau sistem monarki tidak
syar'i berarti logikanya masa dinasti umayyah s.d. utsmaniyyah pun tidak
syar'i, dan ini tidak benar karena para ulama dari masa umayyah dan utsmaniyyah
mengakui keabsahannya. Artinya sistem monarki adalah sistem yang syar'i.
======
Tanggapan Saya:
Kerangka
berpikir seperti ini tidak kokoh untuk menggambarkan kerangka berpikir ushuli.
Karena khilafah berbeda dengan monarki. Adanya istikhlaf dari bapak ke anak tak
menjadi ukuran utama sistem monarki. Sistem monarki dibangun di atas asas
"kedaulatan di tangan raja" sedangkan kekhilafahan "kedaulatan
di tangan al-Syâri'" (السيادة
للشارع).
Kekhilafahan
Ali bin Abi Thalib r.a. saja kemudian digantikan oleh al-Hasan bin Ali r.a.
meskipun hanya berjalan sekitar 6 bulan, apakah manhaj kekhilafahan Ali dan
al-Hasan bin Ali ini lantas bisa diasumsikan bersistemkan monarki
konstitusional? Tentu saja tidak, karena para ulama mutabar pun menegaskan masa
khilafah mereka menggenapkan masa 30 tahun sistem khilafah ala minhaj
al-nubuwwah fase pertama, bukan sistem monarki konstitusional.
Begitu
pula asumsi para ulama dari masa ke masa, mereka mengakui keabsahan masa
umayyah, abbasiyyah dan utsmaniyyah karena memang sah secara syar'i memenuhi
syarat-syarat syar'i pengangkatan khalifah. Hingga al-Hafizh al-Suyuthi pun
menuliskan kitab berjudul "Târîkh al-Khulafâ'.
Hal
ini memperjelas pemahaman terhadap hadits dari Abu Hurairah r.a., Nabi ﷺ bersabda:
«كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah
bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat,
digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan
ada para Khalîfah yang banyak.” (HR.
Muttafaqun ’alayh)
Kalimat
فيكثرون (banyak) dalam tradisi kalam arab
menunjukkan jumlah banyak, bukan jumlah yang masih bisa dihitung oleh jari.
Artinya hadits ini pun mengabarkan eksistensi para Khalifah setelah masa
khalifah yang empat (al-khulafa' al-rasyidun), bukan para raja. Maka sisi ini
memperjelas duduk persoalan.
والله أعلم بالصواب
Irfan
Abu Naveed
Dosen
Fikih & Bahasa Arab-Balaghah
Comments
Post a Comment