
Oleh:
Irfan Abu Naveed
Pengasuh
Ponpes-STIQ & Majelis Ta’lim KH. Sholeh Madani di Kota Santri Cianjur
Dosen
Fikih & Bahasa Arab
P
|
ublik
Indonesia kembali dibuat gaduh, dengan aksi provokatif (jahiliyyah) pembakaran
bendera tauhid yang dilakukan sekelompok orang, oknum Banser di Garut, Prov. Jawa
Barat. Aksi mungkar ini kemudian viral di media sosial, hingga menjadi berita
nasional, bahkan internasional. Hingga disambut beragam kecaman dari berbagai
pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) (link berita), dan berbagai Ormas Islam,
lembaga pondok pesantren, baik kalangan tokoh ulama maupun simpatisannya.
Muhammadiyyah Garut pun angkat suara
mengecam aksi pembakaran bendera tauhid tersebut, termasuk Juru Bicara Ormas
HTI, Ustadz Ir. H. Isma’il Yusanto, MM. Bahkan kaum Muslim di negeri Syam pun
tak tinggal diam, banyak pihak menyayangkan aksi provokatif oknum Banser hingga
menuntut Banser meminta maaf atas kelakukan oknumnya di Garut, yang juga
dinilai mencoreng peringatan Hari Santri dengan hal yang menyalahi tradisi
santri: menjaga dan memuliakan syi’ar-syi’ar Islam.
Sayang beribu-ribu sayang, meskipun
terang benderang melakukan kemungkaran, ada sejumlah kalangan yang mencoba
berdalih dengan dalih yang dibuat-buat (tidak ada satupun yang ilmiah), untuk menjustifikasi
aksi pembakaran bendera tauhid. Itu semua menjadi syubhat yang wajib dibantah. Bagaimana
kita mendudukkan persoalan ini dengan ilmunya? Perlu dipahami benar poin-poin
ilmiah berikut ini:
Kedudukan Bendera Bertuliskan Kalimat Tauhid:
Syi’ar Islam yang Wajib Dijunjung Tinggi
Kalimat tauhid, jelas merupakan syi’ar Islam yang
terang benderang (dharuri/badihi) bagian dari kalimat teragung dalam
Islam. Keagungannya sejalan dengan keagungan di balik makna kalimat tauhid tersebut,
keberadaan lafzh al-jalalah dan nama sayyid al-mursalin. Maka keagungan kalimat tauhid jelas merupakan
perkara yang ma’lum, bahkan ia merupakan kalimat yang diajarkan langsung oleh
Allah dan Rasul-Nya. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
اللَّهُ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ {٢٦}
“Allah tiada sesembahan selain-Nya Rabb Arsyi yang agung.” (QS. Al-Naml
[27]: 26)
Allah SWT pun mengajari
manusia dalam Kalam-Nya kalimat syahadah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ
إِلَّا اللَّهُ {١٩}
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia,
tiada sesembahan selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Pengajaran
kalimat tauhid dalam ayat di atas, ditandai oleh kata kerja fa’lam (dan
ketahuilah olehmu), yang menunjukkan secara jelas bahwa Allah mengajari manusia
dalam Kalam-Nya kalimat tauhid, menunjukkan keagungan kalimat ini di
atas, di atas kalimat manusia pada umumnya. Begitu
pula dalam ayat lainnya yang mengajarkan kalimat syahadatayn:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ ۖ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ {١٥٨}
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit
dan bumi; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia, yang
menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya,
nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah ia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’râf [7]: 158)
Abdullah bin ‘Umar ra. menuturkan bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pernah bersabda:
«أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ»
“Aku diperintah untuk memerangi
manusia hingga mereka mengatakan, “Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah”, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika
mereka melakukan itu, terpeliharalah harta dan darah mereka dariku, kecuali
karena alasan yang haq, dan perhitungan mereka di sisi Allah.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Kalimat tauhid pun
digambarkan oleh Allah dalam al-Qur’an dalam ungkapan majazi yakni bentuk tasybih (penyerupaan), diserupakan
dengan pohon yang baik:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ
مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي
السَّمَاءِ {٢٤}
"Tidakkah kamu perhatikan bagaimana
Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik bagaikan pohon yang baik,
akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit." (QS. Ibrahim
[14]: 24)
Para ulama tafsir dalam kitab tafsir,
termasuk Tafsir al-Jalalain menafsirkan kalimat[an] thayyibat[an] dalam
ayat ini yakni kalimat tauhid. Seluruh dalil-dalil mapan di atas sudah cukup
menunjukkan bahwa kalimat tauhid adalah kalimat syi’ar dalam Islam.
Syi’ar dalam bahasa arab diistilahkan al-sya’irah,
jamaknya al-sya’âir, kaitannya dengan syi’ar Islam, diungkapkan
dalam Mu’jam Diwan al-Adab:
الشَّعيرة:
واحدَةُ الشَّعائِر، وهي: كُلُّ ما جُعِلَ عَلَماً لطاعَةِ الله سبحانه
Al-Sya’irah: bentuk tunggal dari al-sya’air: adalah
segala sesuatu yang dijadikan sebagai simbol keta’atan pada Allah.[1]
Pengertian senada disebutkan oleh ulama pakar
fikih kontemporer, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H), dalam kamus
Bahasa Ahli Fikih:
الشعيرة ج
شعائر، ما جعل علما لطاعة الله، ومنه شعائر الاسلام، وشعائر الحج
“Al-Sya’irah: jamaknya Sya’air, yakni
apa-apa yang dijadikan simbol keta’atan kepada Allah, di antaranya
simbol-simbol Islam, dan simbol-simbol haji.”[2]
Pengertian di atas, menunjukkan keumuman
maknanya. Kalimat tauhid yang dituliskan dalam bendera dan panji, jelas
termasuk syi’ar Islam, karena mengantarkan seseorang untuk dzikruLlah, ingat
terhadap Allah. Mengagungkan
dan menjunjung tinggi syi’ar Islam, sesungguhnya bagian dari apa yang Allah
firmankan:
ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ
اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ {٣٢}
”Demikianlah (perintah
Allah) dan siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya
itu timbul dari ketakwaan qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)
Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah,
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) menjelaskan bahwa di antara
sifat terpuji yang melekat
pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni
syi’ar-syi’ar Din-Nya.[3] Syaikh
Nawawi mencontohkan, di antara bentuk syi’ar tersebut adalah Shafa dan Marwah. Karena
menurut Syaikh Nawawi, makna dari sya’airaLlah adalah a’lam al-din (simbol-simbol
din).
Jika Shafa dan Marwah yang merupakan tempat saja termasuk
syi’ar Islam, maka kalimat tauhid yang merupakan kalimat pertama seseorang
memasuki gerbang Islam, lebih utama kedudukannya sebagai syi’ar Islam. Sifat
takwa mengagungkan panji tauhid sebagai pengagungan terhadap syi’ar Islam pun,
ditunjukkan oleh sikap para sahabat, dari Anas bin Malik r.a., bahwa Rasulullah
–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ
أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَ اِبْنُ رَوَاحَةٍ فَأُصِيْبَ»
“Zaid mengambil al-Râyah lalu ia gugur, kemudian Ja’far mengambil
(al-Râyah) lalu ia gugur, kemudian Ibn Rawahah mengambil (al-Râyah) lalu ia
gugur.” (HR. Al-Bukhari & Ahmad)[4]
Argumentasi singkat
padat di atas, sudah cukup menunjukkan bukti kokoh bahwa kalimat tauhid
termasuk kalimat Islam, dan atribut yang memuat tulisan kalimat tauhid sudah
cukup dinilai sebagai syi’ar Islam. Tak ada yang bisa mengingkari hal ini kecuali mereka yang
lupa diri tenggelam oleh hawa nafsu atau kejahilan.
Ketika jelas kedudukan kalimat tauhid sebagai
kalimat syi’ar, maka jelas kedudukan bendera dan panji tauhid sebagai syi’ar
Islam. Menyi’arkannya bagian dari amal shalih menyi’arkan Islam, dan sebaliknya
membakarnya adalah tindakan mungkar yang wajib dikenai sanksi hukuman. Maka
tidak ada alasan apapun yang bisa membenarkan tindakan jahiliyyah: pembakaran
bendera tauhid, tidak akal sehat, tidak apalagi dalil-dalil syari’at!
Adapun tuduhan prematur bahwa ia adalah
bendera milik HTI, maka tuduhan tersebut dibangun di atas asas khayali: prasangka
buruk belaka dan tuduhan tak berdasar (khurafat), mana bukti bahwa bendera dan
panji tersebut adalah bendera khusus milik HTI? Mana bukti hak paten dan bukti AD/ART-nya?
Mana tulisan HTI-nya? Tidak ada! Padahal kaidah ilmiah syar’iyyah menuntut
penuduh wajib menunjukkan bukti.
Di sisi lain coba
renungkan dan evaluasi dalih prematur pihak-pihak terkait, yang menjustifikasi
aksi pembakaran bendera tauhid oleh oknum Banser dengan dalih ”bendera itu
adalah bendera HTI”; Kalau benar
sekalipun ia adalah bendera dan panji milik HTI, yakni hasil ijtihad para ulama
HT, maka tetap wajib dimuliakan karena mengandung kalimat syahadatayn, dan
wajib dihormati sebagai sikap beradab terhadap produk ilmiah para ulama, tak
boleh dipersekusi, tidak apalagi jika sampai diprovokasi dengan aksi pembakaran
yang jelas-jelas intoleransi, mempertontonkan pelecehan terhadap
identitas pihak lain, dan memprovokasi permusuhan yang jelas-jelas diharamkan
Islam (namimah).
Tidak, apalagi jika identitas
yang tertulis dalam bendera tersebut adalah kalimat tauhid, syahadatayn. Sebagaimana pihak lain pun tak boleh memprovokasi
permusuhan dengan membakar bendera organisasi pihak lain, semisal bendera NU
yang harus dihormati. Ini jika bendera tersebut adalah bendera milik HTI,
kenyataannya bendera dan panji tauhid tersebut merupakan warisan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
dan milik kaum Muslim, yang kembali disyi’arkan salah satunya oleh HT kepada
khayalak kaum Muslim, sebagai bagian dari menghidupkan sunnah yang mulia
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-.
Maka jelas bendera dan
panji ini tak boleh dipersekusi, dilarang-larang dan dinistakan, mengingat
kontennya sedikit pun tak mengandung kemungkaran, tidak menyi’arkan kalimat
kufur atau simbol-simbol kekufuran, justru menyi’arkan kalimat tauhid yang
merupakan simbol Islam. Pemikiran
seperti apa yang bisa menjustifikasi aksi jahil pembakaran bendera berkalimat
tauhid?! Tidak ada! Tidak akal sehat, tidak apalagi dalil syari’at! Afala
ya’qilun?
Perhatian HTI menyi’arkan bendera dan panji
tersebut, merupakan bagian dari syi’ar dakwah yang justru wajib diapresiasi dan
diikuti oleh kaum Muslim lainnya, mengingat kalimat tauhid adalah kalimat
Islam, identitas Islam, tak boleh lantas dibatasi milik kelompok tertentu. Ketika
HT mengagungkan syi’ar Islam, maka seharusnya diapresiasi dengan didukung
dengan bersama-sama mengibarkannya kembali, bukan malah di tuduh dengan beragam
tuduhan zhalim dan dinistakan. Di sisi lain, menyi’arkan kembali bendera dan
panji tauhid ini bagian dari menghidupkan sunnah Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-,
termasuk dalam keumuman pesan agung yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-:
«مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي،
وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ»
“Barangsiapa
yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja
yang mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR.
Al-Tirmidzi, al-Thabrani)[5]
Dan kita, sebagaimana sya’ir yang
dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H):
نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي،
وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا
“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami
membangun * Dan
kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[6]
[1] Abu Ibrahim
Ishaq bin Ibrahim al-Farabi, Mu’jam Diwan al-Adab, Kairo: Dar al-Sya’b,
1424 H, juz I, hlm. 429.
[2] Prof. Dr.
Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Beirut: Dar
al-Nafa’is, cet. II, 1408 H, hlm. 263.
[3] Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Tawfîq, Jakarta: Dâr al-Kutub
al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 103.
[5] HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2678, bab بَابُ
مَا جَاءَ فِي الأَخْذِ بِالسُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ البِدَعِ), ia berkata: “Hadits ini hasan
gharib dari jalur ini.”; Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath (no.
9439).
[6] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb
al-Syar’iyyah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, cet.
III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi,
Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb
al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24;
Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo:
Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.
Comments
Post a Comment