
Di antara konsep agung
Islam adalah ajaran untuk berdakwah. Hal itu diperjelas manakala al-Qur'an dan
al-Sunnah memperingatkan keras mereka yang mengabaikan dakwah, terlebih bagi
mereka yang bukan lagi mengabaikan tapi bahkan menjegal dakwah!
Jika dakwah diabaikan,
apalagi jika dijegal maka hukuman dari Allah akan melingkupi baik orang yang
bermaksiat maupun orang yang diam atas kemaksiatan tersebut, padahal ia mengetahuinya.
Dipertegas hadits dari Hudzaifah Ibn al-Yaman r.a., dari Nabi ﷺ bersabda:
«وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ
أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ
تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ»
“Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma'ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya
Allâh akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya
kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun do'a kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR.
Al-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi)
Hadits ini, diungkapkan
dengan banyak penegasan (taukîd). Salah satunya di balik qasam (sumpah) kepada
Allah dalam kalimat وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ dan lam serta nûn
al-taukîd al-tsaqîlah. Mengapa kalimat " وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ" merupakan sumpah kepada Allah? Karena ia merupakan
kinayah dari sumpah kepada Allah "واللهِ".
Dimana kalimat tersebut
mempertegas kebenaran informasi dalam hadits, menekankan pentingnya perbuatan menyuruh
kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, dengan tuntutan wajib
berdasarkan keberadaan peringatan keras bagi siapa saja yang mengabaikan
kewajiban ini, yakni kalimat (أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا
مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ), yakni ancaman dalam
dua bentuk: Pertama, Datangnya azab yang tak pandang bulu, Kedua, Tidak akan
dikabulkannya do’a.
Diperjelas dalam hadits
lainnya, dimana Rasulullah ﷺ mengumpamakan dakwah,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar sebagai bagian dari
sikap simpatik menjaga diri dan orang lain dari kebinasaan. Dalam hadits dari
al-Nu'man bin Basyir r.a., dari Nabi ﷺ bersabda:
«مَثَلُ
الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللهِ تَعَالَى وَالرَّاتِعِ فِيهَا وَالْمُدَّهِنِ
فِيهَا مَثَلُ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ
أَعْلَاهَا وَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا وَأَوْعَرَهَا وَإِذَا الَّذِينَ
أَسْفَلَهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى أَصْحَابِهِمْ
فَآذَوْهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا
فَاسْتَقَيْنَا مِنْهُ وَلَمْ نَمُرَّ عَلَى أَصْحَابِنَا فَنُؤْذِيَهُمْ فَإِنْ
تَرَكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا
جَمِيعًا»
“Perumpamaan orang-orang
yang teguh dalam menjalankan hukum-hukum Allâh dan orang-orang yang terjerumus
di dalam perkara yang haram, adalah seperti sekelompok orang yang membagi
tempat di atas perahu. Sebagian dari mereka ada yang mendapat tempat di atas,
dan sebagian lain ada yang memperoleh tempat di bawah dan berbahaya. Jika
orang-orang yang berada di bahwa membutuhkan air minum, maka mereka harus naik
ke atas melewati sahabat-sahabatnya yang berada di atas hingga membuat mereka
susah. Maka mereka orang-orang yang berada di bawah berkata, 'Lebih baik kami
melubangi tempat di bagian kita ini, hingga kita tidak melewati dan mengganggu
kawan-kawan di atas.' Maka jika mereka yang berada di atas membiarkan
kawan-kawan mereka yang di bawah dan apa yang mereka inginkan, pasti mereka
semua akan binasa, jika mereka mencegahnya maka semuanya akan selamat.” (HR. Al-Bukhari, al-Tirmidzi, Ahmad, al-Bazzar dan Ibn
Hibban)[1]
Hadits yang agung ini,
dinukil pula oleh al-'Allamah al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H) dalam
kitab Nizham al-Islam, ketika menguraikan kedudukan Islam yang menjaga individu
dan masyarakat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, yakni dengan adanya
kewajiban menyuruh kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang mungkar.
Hadits ini mengandung
perumpamaan agung (tasybih) yang menggambarkan pentingnya mencegah kemungkaran,
dan bahaya mengabaikan perbuatan penting ini yang dianalogikan sebagai kebinasaan
bagi seluruh orang yang mengabaikan. Hadits ini berbicara mengenai topik
pentingnya mencegah terjadinya kemungkaran (al-nahy ‘an al-munkar), karena
makna al-qâ’im ‘alâ hudûdiLlâh menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 975
H) yakni orang yang mencegah kemungkaran dan berbagai perkara keharaman,[2] hal
senada diutarakan oleh Imam Badruddin al-’Aini (w. 855 H)[3], karena frasa
hudûduLlâh berkonotasi batasan dari apa-apa yang dilarang atau
diharamkannya.[4]
Silahkan nikmati sajian
berikutnya dalam buku "Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah".
Irfan Abu Naveed
al-Atsari
Peneliti Kajian Balaghah
al-Qur'an & Hadits Nabawi
Penulis "Menggugah
Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah"
📋 Catatan Kaki:
[1] HR. Al-Bukhari dalam
Shahîh-nya (no. 2361); al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2173), Abu Isa
mengomentari: “Hadits hasan shahîh.”; Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18387),
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya shahîh sesuai syarat
syaikhain (al-Bukhari dan Muslim).”; al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 3298); Ibn
Hibban dalam Shahîh-nya (no. 297).
[2] Ibn Rajab al-Hanbali,
Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1422 H/2001, cet.
VII, juz II, hlm. 162.
[3] Mahmud bin Ahmad
Badruddin al-‘Aini, ‘Umdat al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-‘Arabi, t.t., juz XIII, hlm. 56.
[4] Ibid. Lihat pula
pembahasan para ulama ketika menjelaskan makna hudûduLlâh QS. Al-Baqarah [2]:
187.
Comments
Post a Comment