Kritik
Ushuli, Manthiqi & Lughawi
Oleh:
Irfan Abu Naveed
Pengasuh
Ponpes-STIQ & Majelis Ta’lim KH. Sholeh Madani di Kota Santri Cianjur
Dosen
Fikih, Manthiq & Bahasa Arab
Syubhat I:
Bendera yang dibakar adalah bendera hti,
bukan bendera tauhid!
Bantahan:
Salah satu dalih yang didengungkan berulang
kali untuk menjustifikasi pembakaran bendera tauhid adalah:
“Bendera yang dibakar adalah bendera HTI, bukan
bendera tauhid!”
Benarkah pernyataan tersebut logis?
Saya tegaskan, ini adalah pernyataan absurd
yang dibangun dari logika yang rusak, sesuai dengan kaidah shahihah yang
disebutkan para ulama:
كل ما
بني على باطل فهو باطل
“Segala hal yang dibangun di atas asas yang
batil maka ia pun batil.”[1]
كل ما بني
على فاسد فهو فاسد
“Segala hal yang dibangun di atas asas yang
rusak maka ia pun rusak.”
Hal itu terbukti dengan mengkritisi dalih
mereka ini secara manthiqiyyah. Dalih ini bisa dikatakan dalih khayali,
berangkat dari pemikiran yang salah sedari awal, dalam ilmu manthiq bisa
diistilahkan merupakan tashdhiqi nazhari yang salah, bahwa bendera yang
dibakar adalah bendera HTI. Padahal kenyataannya -jelas tampak terlihat (bisa
terindera) pada video yang viral-, bendera yang dibakar adalah bendera berwarna
hitam dan bertuliskan kalimat tauhid yakni syahadatayn, tanpa ada
tulisan “Hizbut Tahrir Indonesia”.
Dengan kata lain, fakta yang tak terbantahkan
ini (jelas terindera), dalam ilmu manthiq menggambarkan wujud tashawwuri yang
dharuri (badihi: terang benderang) dari “bendera tauhid”; gambaran
fisik dari objek terindera yang tak terbantahkan, bahwa objek yang dibakar
adalah bendera tauhid (bendera bertuliskan kalimat tauhid), fakta ini
maklum sudah diketahui oleh kaum Muslim, termasuk orang awam sekalipun, tak
perlu menjadi ulama untuk mengetahui kalimat yang tertulis pada objek
pembakaran tersebut adalah kalimat tauhid. Jadi tidak logis, bahkan rusak
logika mereka yang merasa boleh membakar bendera tauhid dengan dalih itu adalah
bendera HTI.
Pertanyaannya:
Mana tulisan HTI nya? Tidak ada!
Mana hak patennya? Tidak ada!
Mana bukti AD/ART HTI bahwa
itu adalah “Bendera HTI”? Tidak ada!
Dalam kaidah ilmiah disebutkan, penuduh wajib
menunjukkan bukti, jika tidak ingin mendapat predikat sebagai pendusta. Kenyataannya, bendera dan panji tersebut telah ada jauh sebelum HTI lahir
ratusan tahun lalu, didukung bukti banyaknya riwayat yang menggambarkan
penisbatan panji berwarna hitam bertuliskan kalimat tauhid sebagai panji
Rasulullah ﷺ, yang lantas dinamakan panji Al-Rayah atau panji Al-‘Uqab.
Dari Ibn Abbas r.a.:
«كَانَ
لِوَاءُ -صلى الله عليه وسلم- أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ»
“Bendera (liwâ’) Rasulullah ﷺ
berwarna putih, dan panjinya (râyah) berwarna hitam.” (HR. Al-Hakim, al-Baghawi, al-Tirmidzi. Lafal
al-Hakim)[2]
Dari Jabir bin Abdullah r.a.:
«أَنَّ النبي -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ
دَخَلَ مَكَّةَ أَبْيَضَ»
“Bahwa Nabi ﷺ liwa’-nya pada hari penaklukkan Kota Mekkah berwarna putih.” (HR. Ibn Majah,
Al-Hakim, Ibn Hibban. Lafal al-Hakim)[3]
Dari
Ibn Abbas r.a:
«كَانَتْ
رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ
عَلَيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ»
“Panjinya (râyah) Rasulullah ﷺ berwarna hitam, dan benderanya (liwâ’)
berwarna putih, tertulis di dalamnya: “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”.” (HR. Abu al-Syaikh al-Ashbahani)[4]
Dalil-dalil di atas
adalah sebagian kecil dari dalil-dalil hadits yang secara sharîh menisbatkan
bendera dan panji kepada Rasulullah ﷺ dengan karakteristiknya
yang istimewa. Maka tidak mengherankan jika dalam banyak kutub hadits, tertulis
subbab khusus berkenaan dengan al-liwâ’ dan al-râyah,
diantaranya: dalam Shahih al-Bukhari tertulis subbab (مَا قِيْلَ فِي لِوَاء النَّبِي صلى
الله عليه و سلم), dalam Sunan
Ibn Majah tertulis subbab (باب الرَّايَات
والأَلْوِيَّة), dalam Sunan
al-Tirmidzi tertulis subbab (مَا جَاءَ فِيْ
الرَّايَات), dalam Shahih
Ibn Hibban tertulis subbab (ذِكْرُ وَصْفِ لِوَاءِ
الْمُصْطَفَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ دُخُولِهِ مَكَّةَ يَوْمَ
الْفَتْحِ) dan lainnya,
yang cukup menunjukkan keberadaan bendera dan panji istimewa Rasulullah ﷺ.
Di sisi lain, redaksi rayat
al-nabi ﷺ, dan liwa’uhu (liwa’ al-nabi ﷺ), dalam persepektif lughawi
(bahasa arab) sebagaimana diuraikan dalam teori ilmu nahwu, jelas diungkapkan dalam bentuk redaksi al-idhafah (penautan
kata: mudhaf mudhaf ilaih), menunjukkan makna: rayat li al-nabi ﷺ dan liwa’ li al-nabi ﷺ, yakni rayah dan liwa’ milik Nabi ﷺ. Artinya secara lingustik (lughawi) tak bisa dipungkiri eksistensi
”bendera dan panji” yang dinisbatkan kepada Nabi ﷺ, menjadi hujjah tak
terbantahkan dari apa yang digemakan oleh para aktivis HTI, bahwa apa yang
mereka bawa selama ini (al-liwa’ dan al-Rayah) adalah model dari bendera dan panji
warisan Rasulullah ﷺ, sebagaimana benarnya penyebutan ”bendera tauhid”, untuk
disematkan kepada al-liwa’ dan al-rayah yang memuat kalimat tauhid, didukung
banyaknya hadits terkait.
Sebagai pembuktian lebih mapan, silahkan baca artikel
argumentatif berikut ini:
Maka berhentilah
membuat-buat kedustaan untuk kemudian menjustifikasi kemungkaran pembakaran
bendera tauhid, mengingat penghisabannya kelak sangat berat di hadapan Allah, bersikap
adillah, jangan bela kemungkaran akibat kebencian kepada pihak lain. Ingat, Allah ’Azza
wa Jalla memperingatkan orang-orang beriman untuk senantiasa bersikap adil,
tidak zhalim:
يا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَداءَ بِالْقِسْطِ
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ
أَقْرَبُ لِلتَّقْوى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ
{٨}
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Mâ’idah [5]: 8)
Ayat ini seruan
bagi orang-orang beriman, dimana Allah ’Azza wa Jalla memerintahkan mereka
untuk bersikap adil baik dalam perbuatan maupun ucapan, sebagaimana ditegaskan
oleh Muhyis-Sunnah al-Imam al-Baghawi al-Syafi’i (w. 510 H):
أَمَرَهُمْ بِالْعَدْلِ
وَالصِّدْقِ فِي أَفْعَالِهِمْ وَأَقْوَالِهِمْ
“Allah
memerintahkan mereka bersikap adil dan jujur baik dalam perbuatan-perbuatan
mereka maupun perkataan-perkataannya.”[5]
Makna (عَلى
أَلَّا تَعْدِلُوا) yakni meninggalkan berbuat adil terhadap mereka dikarenakan
permusuhan terhadap mereka.[6] Allah ‘Azza wa
Jalla pun dalam ayat ini menurut al-Baghawi, memerintahkan berbuat adil baik
terhadap kawan maupun lawan[7], dan hal
tersebut merupakan ketakwaan.[8] Sikap adil
ini, diwujudkan dengan nasihat yang baik, tidak mengedepankan vonis buruk,
nasihat yang didasarkan pada tuntutan persaudaraan seakidah. []
[1] Prof. Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajîz fî
Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dar al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz I,
hlm. 264; Abdul Muhsin bin Abdullah al-Zamil, Syarh al-Qawâ’id
al-Sa’diyyah, Riyadh: Dar Athlas al-Khadra’, cet. I, 1422 H, hlm. 343..
[2] HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (2506),
Al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah (2663), al-Tirmidzi dalam Sunan-nya
(1681): “Hadits hasan gharib”.
[3] HR. Ibn Majah dalam Sunan-nya (2817), Al-Hakim
dalam al-Mustadrak (2505): “Hadits shahih memenuhi syarat syaikhayn (al-Bukhari
dan Muslim) meski keduanya tidak meriwayatkannya”, Ibn Hibban dalam Shahîh-nya
(4743) dengan sedikit perbedaan redaksi.
[4] Abu al-Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlaq al-Nabi (424) dengan derajat shahih, maqbul. Periwayatan
hadits dari Jalur Ibn Abbas ini, semua rawinya dapat diterima. Dari rangkaian
perawinya, hanya ada satu perawi saja yang diperdebatkan yakni Hayyan bin
Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’if karena tafarrud (seperti pendapat
Ibn Adi), tetapi Ibn Hibban menempatkan dalam “al-Tsiqqat’, Abu Hatim
mengatakan shaduq, Abu Bakar al-Bazzar mengatakan masyhur dan “laisa bihi
ba’sa”. Tafarrudnya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadharatkan hadits karena
keadaannya tsiqah atau shaduq (lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian
juga ikhtilath nama antara Hayyan bin Ubaidillah (حيان) dan Haban bin Yassar (حبان) sudah dijelaskan oleh para ulama, semisal dalam
Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-Kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal,
dll. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilath Hayyan bin Ubaidillah
bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Kesimpulannya, hadits dari Abu Syaikh
dari jalur Ibn Abbas maqbul (Yuana Ryan Tresna, Pengasuh Ma’had Khadimus
Sunnah).
[5] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi al-Syafi’i, Ma’âlim
al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, cet.
I, 1420 H, juz II, hlm. 28.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
Comments
Post a Comment