Rasulullah
ﷺ bersabda:
«أَلَا
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي
عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ»
“Ketahuilah
setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat
banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya, setiap kepala
keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai
pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga
rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap mereka.” (HR.
Al-Bukhârî, Muslim)[1]
Pesan
agung dalam hadits yang mulia ini, diawali dengan huruf tanbih, alâ, yang
berfaidah menarik perhatian pendengar untuk menyimak perkataan sekaligus
menegaskannya (taukid). Diungkapkan dengan gaya pengungkapan majazi (kiasan),
dalam bentuk al-isti’ârah, yang menyerupakan pengurusan rakyat dengan
penggembalaan.[2]
Imam
al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan makna al-râ’i dalam hadits ini yakni
pemelihara yang dipercaya atas apa yang ada padanya, Nabi ﷺ memerintahkan mereka dengan menasihati apa-apa yang menjadi
tanggung jawabnya, dan memperingatkan mereka dari mengkhianatinya dengan
pemberitahuannya bahwa mereka adalah orang yang akan dimintai
pertanggungjawaban atasnya. Maka al-ri’âyah: adalah memelihara sesuatu dan
baiknya pengurusan.
Imam
al-Baghawi pun ketika menjelaskan hadits ini merinci tugas seorang pemimpin
(khalifah) dalam Sistem Politik Islam:
فَرِعَايَةُ الإِمَامِ
وِلايَةُ أُمُورِ الرَّعِيَّةِ، وَالْحِيَاطَةُ مِنْ وَرَائِهِمْ، وَإِقَامَةُ
الْحُدُودِ وَالأَحْكَامِ فِيهِمْ
“Maka
pemeliharaan seorang al-Imam (khalifah) adalah wilayah urusan-urusan rakyatnya,
dan melindungi mereka, menegakkan sanksi-sanksi had, dan hukum-hukum bagi
mereka.”[3]
Dengan
kata lain, hadits yang mulia ini menegaskan besarnya kedudukan khalifah, namun
tak hanya khalifah, hadits ini pun menegaskan besarnya kedudukan institusi
keluarga; suami dan istri atas keluarganya.
Dimana
Rasulullah ﷺ secara khusus menyebutkan kedudukan kepala
negara (khalifah), lalu kepala keluarga (suami) dan ibu rumah tangga atas
keluarganya, disamping manusia secara umum (كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ), dalam ilmu balaghah menunjukkan bentuk al-ithnab
(dzikr al-khash ba'da al-'am), yakni penyebutan kalimat yang khusus
setelah lafal umum, untuk menunjukkan betapa pentingnya perkara yang khusus
tersebut (li al-tanbih 'ala fadhl al-khash). Artinya menunjukkan
pentingnya kedudukan kepala negara (khalifah) sebagai penanggungjawab institusi
negara dan kepala keluarga sebagai penanggungjawab institusi keluarga dalam
memelihara masyarakat dari berbagai keburukan.
Dengan
kata lain, hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan
besarnya kedudukan institusi negara dan keluarga dalam menjaga masyarakat dari
berbagai penyimpangan dari Islam.
Silahkan
ikuti kajian rutin ilmu balaghah yang kami selenggarakan di Cianjur, dan daurah
singkat ilmu balaghah yang diselenggarakan di kota-kota antum.
Irfan
Abu Naveed Al-Atsari
Footnotes:
[1]
HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim dalam Shahih-nya
(VI/7, hadits 4751); Abu Dawud dalam Sunan-nya (III/91, hadits 2930); Ibn
Hibban dalam Shahih-nya (X/342, hadits 4490).
[2]
Cantiknya ungkapan hadits ini dalam persepektif ilmu balaghah (yakni ilmu
al-bayan), mengandung ungkapan majazi (kiasan), jenis al-isti'arah (gaya
pengungkapan dengan meminjam istilah (al-musta'ar minhu) untuk mewakili istilah
lain (al-musta'ar lahu), kata kuncinya pada kata راع, yang menyerupakan bentuk pengurusan dan pemeliharaan urusan
rakyat dengan penggembalaan.
[3]
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, juz X,
hlm. 61.
Comments
Post a Comment