I
|
lmu dan pendidikan
menempati kedudukan yang agung dalam Islam, ia adalah asas membina
masyarakat dan sumber kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan di medan
kehidupan. Sehingga al-Qur’an dan
al-Sunnah pun memberikan perhatian besar terhadap ilmu dan pendidikan, hal itu
bisa dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits
nabawiyyah yang mengandung ajaran-ajaran luhur tentang ilmu dan pendidikan,
baik bersifat praktis maupun filosofis. Mendorong umat manusia meraih ilmu yang
bermanfaat untuk dunia dan akhirat.
Hal itu, dibuktikan secara praktis oleh generasi salafunâ
al-shâlih, diwariskan dari generasi ke generasi: ilmu dan pendidikan rabbani,
yang mampu memelihara keberlangsungan tsaqâfah Islâmiyyah yang terpatri
dalam dada generasi umat ini, dan termaktub dalam khazanah buku-buku turats,
sebagaimana ditegaskan dalam buku Usus al-Ta’lîm al-Manhaji:
Pendidikan merupakan cara
untuk memelihara tsaqâfah umat dalam dada
generasinya, dan (termaktub) dalam tulisan buku-bukunya, sama saja apakah
pendidikan formal terorganisir atau pun pendidikan informal.[1]
Prof.
Dr. ’Abdul Karim Bakkar pun menegaskan bahwa pendidikan itu sendiri merupakan
bagian dari sistem kehidupan yang tak berdiri sendiri, baik sisi ideologi,
ekonomi, akhlak, dan lainnya,[2]
dan ia merupakan uslûb (cara) untuk membentuk seorang insan sejak
permulaan masa pertumbuhan,[3]
yang harus diraih setiap insan dengan proses yang benar, bertahap dan dijalani
sepanjang usia, dari semenjak usia dini, muda belia hingga tutup usia, long
life education.
Istimewanya,
al-Qur’an, diperjelas al-Sunnah merinci karakteristik manusia terdidik yang
diwakili istilah ulul albâb, disebutkan tak kurang dari enam belas kali
dalam al-Qur’an, yakni dalam ayat-ayat
berikut:
1.
QS. Al-Baqarah [2]: 269
2.
QS. Al-Baqarah [2]: 197
3.
QS. Al-Baqarah [2]: 179
4.
QS. Âli Imrân [3]: 7
5.
QS. Âli Imrân [3]: 190
6.
QS. Al-Mâ’idah [5]: 100
7.
QS. Al-Ra’du [13]: 19-22
8.
QS. Ibrâhîm [14]: 52
9.
QS. Shâd [38]: 29
10.
QS. Shâd [38]: 43
11.
QS. Al-Zumar [39]: 9
12.
QS. Al-Zumar [39]: 18
13.
QS. Al-Zumar [39]: 21
14.
QS. Ghâfir [40]: 54
15.
QS. Al-Thalaq [65]: 10
16.
QS. Yûsuf [12]: 111
Dimana
konsepsi rabbani ini menunjukkan sistem pendidikan unggul: didasari oleh akidah
Islam dan dicanangkan untuk tujuan yang mulia, yakni membentuk kepribadian
Islam dalam diri setiap insan (al-syakhshiyyah al-Islâmiyyah). Salah
satu karakter tersebut, Allah tunjukkan dalam firman-Nya sebagai golongan yang
berhasil mengambil pelajaran (’ibrah wa tadzkirah) dari al-Qur’an,
hingga mencapai derajat ma’rifatuLlâh:
هَٰذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ
وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ
أُولُو الْأَلْبَابِ {٥٢}
“(Al-Qur’an) ini adalah
penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan
dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Rabb yang Maha
Tunggal dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS. Ibrâhîm [14]: 52)
Ayat
yang agung ini, menunjukkan bahwa salah satu ilmu yang paling mulia menurut
konsepsi rabbani, adalah ilmu-ilmu yang mengantarkan seseorang mengenal Rabb-nya
melalui petunjuk Kalam-nya, yakni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
al-Qur’an al-Karim, di samping al-Sunnah al-Nabawiyyah. Hal itu pun setidaknya
didasari poin-poin mendasar sebagai berikut:
Pertama,
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup manusia, yang menjadi petunjuk untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat, yang shâlih li kulli
zamân[in] wa makân[in] (sesuai pada setiap waktu dan tempat).
Dalam
struktur keilmuan, al-Qur’an merupakan sumber epistemologi utama dalam Islam,
disamping al-Sunnah yang juga diistilahkan al-hikmah dalam al-Qur’an
(lihat: QS. Al-Jumu’ah [62]: 2, dan lainnya). Kedudukan al-Qur’an ini, sebagaimana diinformasikan dalam
banyak nas al-Qur’an dan al-Sunnah, salah satunya diwakili oleh ungkapan hud[an]
li al-nâs:
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى
وَشِفَاءٌ ۖ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي
آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى {٤٤}
‟Katakanlah: ”Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar
bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka
ada sumbatan.” (QS. Fushshilat [41]: 44)
Di samping hud[an], al-Qur’an pun disifati sebagai
tibyân[an] li kulli syai[in] dalam firman Allah Swt:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ {٨٩}
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai
penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Nahl [16]:
89)
Makna kalimat tibyân[an] li kulli syai[in] adalah
apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa,
hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Jarir
Al-Thabari (w. 310 H)[4], Imam al-Tsa’labi (w. 427 H)[5],
Syaikh Abu Bakr al-Jazairi[6]
dan para ulama lainnya. Allah ’Azza
wa Jalla pun berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ {٨٢}
Kata kunci dalam ayat ini yang
menunjukkan al-Qur'an sebagai sumber ilmu adalah kata kerja tadabbara-yatadabbaru,
dimana pokok kata ini mengandung konotasi al-tafakkur yakni berpikir
mengenai sesuatu, dan aktivitas tadabbur al-Qur’ân tidak akan terwujud
kecuali dengan menghadirkan kalbu dan memfokuskan perhatian
terhadapnya.[8]
Menafsirkan ayat yang agung ini, al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H)
menjelaskan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memikirkan
al-Qur’an, dan melarang mereka berpaling darinya.[9] Tuntutan ini semakin jelas dengan memperhatikan permulaan ayat ini yang
diawali dengan tanda tanya (afalâ) yang maksudnya mengingkari (istifhâm
inkâri).[10]
Diperjelas dalil-dalil al-sunnah, dimana tanpanya manusia akan tersesat sejauh-jauhnya
kesesatan. Rasulullah ﷺ bersabda dalam khutbah Haji Wada’:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
“Wahai umat
manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika
kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya
yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi dari Ibn ’Abbas r.a.)[11]
Dalam hadits lainnya,
terdapat penegasan penilaian bagi siapa saja yang menyalahi ajaran al-Qur’an:
«كِتَابُ اللهِ
فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ، مَنِ اسْتَمْسَكَ بِهِ، وَأَخَذَ بِهِ، كَانَ عَلَى
الْهُدَى، وَمَنْ أَخْطَأَهُ، ضَلَّ»
“Yaitu KitâbuLlâh, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, siapa saja
yang berpegang teguh padanya dan mengambil pelajaran darinya maka ia berada di
atas petunjuk (selamat), dan siapa saja yang menyalahinya maka ia tersesat.” (HR. Muslim)
Hadits-hadits di atas,
jelas mengandung pesan agung pendidikan dengan pendekatan targhîb dari
Rasulullah ﷺ, untuk mengamalkan al-Qur’an dan mencintainya, sekaligus
menetapkan standar kebaikan, bahwa kebaikan adalah apa yang diajarkan al-Qur’an
dan al-Sunnah, bukan apa-apa yang menyelisihi keduanya, dan bahwa siapa saja
yang menyalahi al-Qur’an (dan al-Sunnah) maka jelas ia berada dalam kesesatan.
Mengamalkan al-Qur’an, sudah tentu harus didasari
ilmunya, al-’ilm qabl al-’amal, dan ilmu diraih dengan cara belajar.
Maka mengamalkan al-Qur’an, wajib diawali dengan mempelajari ilmu-ilmu yang
memahamkan seseorang terhadapnya, yakni ilmu al-Qur’an dan tafsir. Sehingga
relevan jika dalam proses pembelajaran itu sendiri, para ulama menekankan skala
prioritas dari pelajaran yang harus disampaikan kepada peserta didik, al-Qadhi
Badruddin Ibn Jama’ah al-Syafi’i (w. 733 H) menyebutkan tafsir al-Qur’an di
antara pelajaran yang diprioritaskan tersebut:
فيقدم تفسير القرآن، ثم الحديث، ثم أصول الدين، ثم أصول الفقه، ثم المذهب
Maka hendaknya didahulukan tafsir
al-Qur’an, kemudian hadits, ushuluddin, ushul fikih, perbandingan madzhab.[12]
Kedua,
Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad ﷺ, keagungannya
tak disangsikan lagi terbukti dari masa Rasulullah ﷺ hingga saat
ini, dimana al-Qur’an telah menarik perhatian banyak umat manusia karena
ungkapan dan kandungan pesan-pesannya yang agung dari Allah, Rabb Alam Semesta.
Al-Qur’an sebagaimana disebutkan para pakar:
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan dengan bahasa arab
yang unggul[13], wahyu
yang diterima oleh Rasulullah ﷺ, dan ia adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla, turun melalui
perantaraan Al-Rûh Al-Amîn Jibril –’alayhis salâm- dengan lafal berbahasa
arab dan makna-makna yang benar, sebagai bukti bahwa Muhammad ﷺ adalah utusan
Allah, dan rujukan bagi manusia mengambil petunjuk dengan petunjuknya, dan
mendekatkan diri beribadah kepada Allah dengan membacanya, tersusun di antara
lembaran-lembaran mushhaf, diawali Surat al-Fatihah, ditutup dengan Surat
Al-Nâs, dan dinukil kepada kita secara mutawatir.[14]
Tidak ada satu huruf pun dalam al-Qur’an yang tidak
bermakna, seluruhnya merupakan ilmu itu sendiri yang perlu terus digali dan
diteliti. Hal itu sebagaimana tersurat dalam ungkapan para pakar, baik dari
kalangan muslim maupun non muslim.
Prof. Dr. Fadhil Shalih al-Samara’i dalam Balâghat
al-Kalimah fî al-Ta’bîr al-Qur’âni menegaskan bahwa setiap kosakata (mufradat)
dalam al-Qur’an mengandung ilmu dan maksud yang sesuai dalam setiap tempatnya.[15]
Dipertegas ungkapan salah seorang doktor ilmu balaghah dari salah satu
Universitas Islam terkemuka di dunia, Universitas al-Azhar, Dr. Hesham Mohamed
Taha el-Shanshoury menuturkan:
لِكُلِّ حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِ
القُرْآنِ فِيْهِ أَسْرَارٌ
Setiap huruf dari huruf-huruf Al-Qur’an mengandung
berbagai rahasia (kandungan makna).
Maka
tidak mengherankan jika ahli sastra arab, sekaligus salah seorang tokoh kafir
Quraisy yang paling keras kekafirannya, Al-Walid bin al-Mughirah, tak mampu
menyangkal keagungan ungkapan al-Qur’an sehingga ia berkata:
Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian
(Bangsa Quraysi) yang lebih mengenal sya’ir-sya’ir daripada diriku, dan
tidak ada pula yang lebih mengetahui rajaz dan qashid-nya selain
diriku, Demi Allah tidak ada satupun dari apa yang dibaca Muhammad menyerupai
ini semua, Demi Allah sesungguhnya ungkapan yang disampaikannya sangat manis
dan apa yang dituturkannya sangat indah.
Padahal al-Walid
bin Al-Mughirah adalah orang yang tidak beriman dan keras dalam
kekafirannya. I’jaz al-Qur’an terdapat dalam al-Qur’an itu sendiri. Orang yang
telah mendengarkan Al-Qur’an, dan menyimaknya hingga hari
kiamat akan terus merasa kagum dengan kekuatan
daya tarik dan balaghah-nya, walaupun hanya
sekedar mendengar satu kalimat saja dari al-Qur’an.[16] Sehingga al-Qur’an, sudah seharusnya dipelajari, ditela’ah, ditafakuri,
ditadaburi dan diaplikasikan dalam kehidupan.
Maka sangat relevan atsar dari ‘Utsman bin Affan r.a. yang
menggambarkan kesenangan berinteraksi dengan al-Qur’an yang merupakan firman
Allah S.W.T ini dalam perkataannya:
«لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ
مِنْ كَلَامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»
“Jika kalbu kalian telah suci maka kalian tidak akan pernah merasa
puas membaca Firman Rabb kalian (al-Qur’an).”[17]
Yakni sangat senang membaca,
mentadaburi, memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur’an. Maka penting
merevitalisasi kembali pendidikan qur’ani dan pembelajaran ilmu al-Qur’an dan
tafsir, yang mampu mengantarkan seorang insan memahami kalâmuLlâh, dengan
baik dan benar. Di sisi lain tanpa al-Qur’an, manusia
akan tersesat dalam kelamnya kebodohan dan gelapnya kebutaan, sehingga hidup
bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat daripada binatang ternak, hal itu
sebagaimana diisyaratkan dalam ayat yang agung ini:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ
كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا
يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ {١٧٩}
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk
(isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’râf
[7]: 179)
Apa yang diperingatkan
ayat yang agung ini pun terbukti, dengan banyaknya permasalahan yang mencoreng
dunia pendidikan di negeri ini. Poin ini sudah seharusnya mendorong kaum Muslim
merevitalisasi pendidikan, dengan mengembalikannya kepada konsep pendidikan
qur’ani, pendidikan Islam.
Tak bisa dipungkiri bahwa negeri ini sedang dilanda krisis
kehidupan, termasuk krisis di bidang pendidikan, sebagaimana diungkapkan para
pakar dan praktisi pendidikan dalam penelitian mereka. Sepanjang
tahun 2017 angka tawuran terus naik, kekerasan dikalangan pelajar semakin
brutal, menimbulkan dampak meningkatnya jumlah korban dari kalangan pelajar
yang berjatuhan.
Diperparah
kasus narkoba, menurut BNN sudah ada 423 kasus yang ditangani oleh pihak BNN. Kabag Humas BNN, Kombes
Sulistiandriyatmoko, menyebutkan jumlah 423 kasus merupakan kasus dari Januari
hingga Juli 2017 (sumber: nasional.republika.co.id, 4/8/2017).
Deputi Bidang Pencegahan Badan Narkotika
Nasional (BNN), Ali Djohardi, menegaskan bahwa saat ini Indonesia berstatus
darurat narkoba. Pengguna narkoba di Indonesia tercatat sebanyak 5,1 juta jiwa.
Setiap tahun, sekitar 15 ribu jiwa melayang karena narkoba. Mayoritas di
antaranya pada usia produktif 24-30 tahun (sumber: news.detik.com, 18/2/2017).
Dr. Ulil Amri
Syafri dalam pendahuluan bukunya[18] menuturkan bahwa
dunia Islam pada umumnya, tengah dilanda krisis pendidikan yang menyebabkan
kemunduran, namun yang disoroti bukan kemunduran materil melainkan kemunduran
dan krisis akhlak, yang ditandai dengan rapor merah peserta didik yang
terlibat; tawuran, pergaulan bebas hingga free sex, dan lain sebagainya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Dr. Taufik Abdillah dalam buku Pendidikan
Karakter Berbasis Hadits.[19]
Data dari
pengelompokan kasus dalam lingkungan pendidikan menurut laporan dari KPAI
menyebutkan, untuk anak korban tawuran pelajar menunjukkan pada tahun 2011
terdapat 20 kasus, tahun 2012 terdapat 49 kasus, tahun 2013 terdapat 52 kasus,
tahun 2014 terdapat 113 kasus, dan tahun 2015 ada 37 kasus.[20]
Dalam struktur komponen pendidikan,
rapor merah peserta didik ini menjadi gambaran atas output pendidikan,
sekaligus bahan evaluasi atas input, proses dan standar output pendidikan itu
sendiri. Apa akar masalahnya? Dari berbagai pernyataan para ahli
yang dinukil Dr. Ulil Amri mengenai akar permasalahannya, ada poin penting yang
perlu digarisbawahi bahwa krisis pendidikan akhlak ini, ditinjau dari aspek
eksternal akibat dari massif-nya invasi pemikiran dan tsaqafah Barat ke
dunia Islam yang ditandai dengan dominasi worldview Barat yang berat
pada aspek kognitif semata, dikotomi pendidikan (secularistic) dan
ukuran kelulusan yang materialistic oriented, hingga sampai kepada
permasalahan cabang seperti metode dan pendekatan pendidikan, menggantikan
pendidikan qur’ani, yang seluruhnya menjauhkan umat dari Islam itu sendiri.
Sebagian pemikir
dan cendekiawan muslim negeri ini menyebut ancaman ini dengan bahasa lugas “liberalisasi
pendidikan”. Padahal disebutkan dalam Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 ayat 3:
Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan serta berakhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang.
Tujuan ini
kemudian dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), tepatnya pada Pasal 3:
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Namun yang menjadi
permasalahan adalah apa yang disebutkan Dr. Ulil Amri yang mengatakan:
Hampir sebagian
besar para konseptor pendidikan Islam masih terjebak dalam epistemologi
pendidikan Barat sehingga konsep dan metode yang dihasilkan tetap tidak dapat
dilepaskan dalam paradigma keilmuan Barat yang mengambil logika sebagai sumber
ilmu.[21]
Diperkuat
pernyataan Prof. Dr. Ahmad Tafsir bahwa kesalahan terbesar dalam
dunia pendidikan di Indonesia selama ini adalah para konseptor pendidikan
melupakan keimanan sebagai inti kurikulum nasional.[22] Dan lebih jauh
lagi masih menurut Ahmad Tafsir, bahwa para pemerhati pendidikan Islam di
Indonesia kurang tepat menerjemahkan “iman dan takwa”
yang dimaksud.[23] Mereka mencoba
mengimplikasikan dua kata tersebut dengan kacamata Barat dan melupakan
konsep-konsep Islam.[24]
Ironisnya, Barat sebenarnya
sudah gagal dari awal ketika ia salah memahami eksistensi manusia[25], atau jati diri manusia
itu sendiri sebagai akibat dari pincangnya struktur keilmuan mereka, dimana
epistemologi Barat menolak khabar shâdiq (wahyu), atau hal-hal metafisik
sebagai sumber ilmu, dimana hal ini menjadi perbedaan paling prinsipil antara
epistemologi Barat dan Islam. Dan hal itu pula yang menyebabkan Epistemologi
Barat mengalami krisis, kebingungan, hingga terpecah-pecah dalam beberapa aliran.
Jika pijakan ini saja sudah keliru, maka tidak mengherankan jika mereka gagal
pula merumuskan sistem pendidikan yang bisa memanusiakan manusia berada di atas
rel fitrahnya; dari mulai asas hingga metode dan pendekatan pendidikan yang
diterapkan.
Maka
bertolak dari latar belakang ini, sudah seharusnya kembali merevitalisasi
pendidikan qur’ani, pendidikan yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai
pedoman, akidah Islam sebagai asasnya. Positifnya, kebutuhan terhadap
pendidikan qur’ani ini didukung oleh tingginya antusiasme generasi
muda mempelajari dan menghafalkan al-Qur’an, maka Yayasan ZAD al-Insaniyyah
terdorong untuk ikut berkontribusi bagi umat, dengan mendirikan lembaga resmi
pendidikan tinggi, berbentuk Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an (STIQ) ZAD, dengan
mendapatkan dukungan kerja sama dengan salah satu Akademi Tafsir ternama di
Saudi Arabia, dan mendapatkan sambutan positif dari masyarakat serta praktisi
pendidikan Islam. []
Irfan Rhamdan Wijaya (Abu Naveed)
Dosen STIQ ZAD Cianjur
[1]
Tim Pakar, Usus al-Ta’lîm al-Manhaji, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. I, 1425
H, hlm. 9.
[2] Prof. Dr. ‘Abdul Karim Bakkar, Hawla
al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Damaskus: Dâr al-Qalam, Cet. III, 1432 H, hlm.
17.
[3] Ibid, hlm. 20.
[4]
Muhammad bin Jarîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân,
Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, Cet. I, 1420 H, jilid XVII, hlm. 278.
[5]
Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr
al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, jilid VI,
hlm. 37
[6]
Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir bin Jabir Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar
al-Tafâsîr li Kalâm al-‘Ulya al-Kabîr, Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa
al-Hikam, cet. V, 1424 H, jilid III, hlm. 138-139.
[7]
Terjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI dengan sedikit penyesuaian bahasa.
[8]
Muhammad Shiddiq Khan bin Hasan al-Husaini,
Fath al-Bayân fî Maqâshid
al-Qur’ân, Beirut:
Al-Maktabah al-’Ashriyyah, 1412 H/1992, juz XIII, hlm. 71.
[9] Abu
al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibn Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-’Azhîm, Dâr
al-Thayyibah, cet. II, 1420 H/1999, juz VIII, hlm. 480.
[11]
HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/171, hadits no. 318) sanadnya shahih
dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, Al-Baihaqi dalam Al-Sunan
al-Kubrâ’ (X/114, hadits no. 20833)
[12] Badruddin Ibn Jama’ah, Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab
al-‘Âlim wa al-Muta’allim, Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, Cet. III,
1433 H, hlm. 64.
[13]
Yakni mampu mengalahkan bantahan-bantahan atau tantangan-tantangan kaum
penentang (kuffar) atasnya.
[14]
Dr. Samih ‘Athif, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, Mesir: Dâr al-Kitâb
al-Mishri, Cet. I, 1410 H, hlm. 308.
[15] Fadhil
Shalih al-Samara’i, Balâghat al-Kalimah fî al-Ta’bîr al-Qur’âni, Kairo:
Syirkat al-‘Âtik, cet. II, 1427 H/ 2006, hlm. 4.
[16]
Ibid.
[18]
Dr. Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Jakarta:
Rajawali Press, Cet. I, 2012, hlm. 1-12.
[19]
Dr. Taufik Abdillah, Pendidikan Karakter Berbasis Hadits, Jakarta:
Rajawali Press, Cet. I, 2014, hlm. 1-13.
[20] Lihat:
harnas.co, 22/09//2015. Diakses tanggal 3 Agustus 2016, pukul 21:59 WIB
[21]
Dr. Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, hlm. 5.
[22] Ibid, hlm. 4.
[23] Ibid, hlm. 6.
[24] Ibid, hlm. 6.
[25] Dr. Ulil Amri Syafri, membahas tentang masalah ini dalam bukunya pada
halaman 13-16.
No comments :
Post a comment