Irfan
Abu Naveed, M.Pd.I
I
|
slam
Nusantara (disingkat: Isnus), topik kontroversial ini kembali mengemuka setelah
sebelumnya senyap sejak awal kemunculannya pada beberapa tahun lalu. Bukan
tanpa sebab, kontroversi Isnus mencakup kontoversi istilah, konsepsi hingga isu
politisasi, bagaimana menyikapinya?
A. Kesesatan
Paradigma Isnus
Dari aspek istilah dan konsepsi (al-ism
wa al-musammâ), Isnus dihadirkan untuk menegaskan perbedaan antara praktik
ke-Islam-an di Indonesia dan Timur Tengah, yang berujung pada sikap merendahkan
praktik keberagamaan apa yang mereka istilahkan “Islam Arab”, dan menudingnya
sebagai sumber konflik kekerasan yang berbeda dengan Isnus. Sikap seperti ini akhirnya
mengundang kritik para tokoh Timur Tengah dalam banyak momentum ketika
mereka berkunjung ke Indonesia dan berjumpa dengan penggiat Isnus, semisal Said
Aqil Siroj.
Ironisnya, sebagai sebuah konsep beragama Isnus
pun dianalogikan sebagai aliran madzhab dalam Islam yang harus diakomodasi
sebagai corak keberagaman. Klaim ini bertolak belakang dengan kenyataan
manakala Isnus digunakan untuk menghantam kelompok-kelompok kaum Muslim lainnya,
dan menjadi alasan untuk mencibir praktik ke-Islam-an di Timur Tengah.
Dibuktikan dengan pengakuan jujur para penggiat Isnus yang menegaskan
eksistensinya untuk membendung apa yang mereka namakan “kelompok radikalisme”, yang
pada prinsipnya masih tergolong kelompok kaum Muslim.
Terlebih pada tataran konsepsi, Isnus
mengusung ide-ide yang mengakomodasi nilai-nilai lokal budaya dan adat istiadat
yang bias standar, rawan menjerumuskan pada sinkretisme, maka analogi tersebut
adalah analogi yang cacat secara asasi (qiyâs ma’a al-fâriq) dan wajib
ditimbang dengan standar Islam.
B.
Meluruskan Paradigma:
Keistimewaan Islam
Pertama, Standar
Islam dalam Kehidupan
Perlu ditegaskan
bahwa Islam, baik istilah maupun konsepsinya wajib digali berdasarkan petunjuk
nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Dari segi istilah misalnya, Islam merupakan
istilah syar’i yang menggambarkan konsepsi sempurna (dîn) yang Allah
turunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk umat manusia baik bangsa
arab maupun ‘ajam, yang mengatur segala aspek kehidupan mereka, mengeluarkannya
dari kegelapan (kebatilan) menuju cahaya (Islam):
الر ۚ كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ {١}
“Alif, lâm râ. (ini adalah) kitab yang
Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita
kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan
Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS.
Ibrâhîm [14]: 1)
Dalam ayat yang agung ini, Allah menyifati
al-Qur'an sebagai Kitab Suci yang Dia turunkan kepada Rasulullah ﷺ, dengan hikmah untuk mengeluarkan manusia
dari kegelapan menuju cahaya, diungkapkan
secara majazi (kiasan) dengan meminjam istilah (al-isti’ârah)
untuk mengumpamakan Islam sebagai sesuatu yang baik (cahaya) dan kekufuran
sebagai sesuatu yang buruk (kegelapan). Rasulullah ﷺ bersabda:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
“Wahai umat
manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika
kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya
yaitu KitabuLlâh dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim,
al-Baihaqi)
Hadits ini diungkapkan dalam bentuk
kalimat syarat (jumlah syarthiyyah), yang secara jelas menetapkan
standar agung dalam kehidupan, agar meraih keselamatan dunia akhirat yakni
dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini menuntut
setiap muslim mengembalikan segala perkara kepada keduanya, termasuk tradisi
dan adat istiadat yang wajib dipastikan agar senantiasa berada di atas rel
Islam. Diperjelas isyarat dalam al-Qur’an yang menunjukkan celaan atas
tradisi-tradisi nenek moyang yang tidak sesuai dengan Islam, dan mencela taklid
buta atasnya (lihat: QS. Al-Ma’idah [5]: 104), serta realitas penentangan kaum
Musyrik Quraysyi atas dakwah Rasulullah ﷺ dan para
sahabat yang meluruskan tradisi-tradisi kaum Musyrik yang menyalahi Islam, itu
semua adalah bukti keistimewaan konsepsi Islam dalam membangun kehidupan. Dari
Al-’Irbadh bin Sariyah r.a ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah
kalian berpegang teguh pada sunnahku, dan sunnah para khalifah al-rasyidin
al-mahdiyyin, gigitlah oleh kalian hal tersebut) dengan geraham yang kuat.”
(HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Standar Islam ini pula yang
harus dijadikan standar pembuktian atas klaim bahwa Isnus adalah refleksi Islam
rahmatan lil alamin. Klaim ini hanya bisa terbukti dengan menunjukkan
kesesuaian konsep Isnus dengan konsep al-Qur’an dan al-Sunnah (QS. Âli Imrân
[3]: 103), karena kerahmatan Islam bagi kehidupan mengandung makna menegakkan
Islam: akidah dan syari’ah kâffah hingga membuahkan kebaikan hakiki bagi
alam semesta (QS. Al-Anbiyâ’
[21]: 107, QS. Al-Qashash [28]: 86), bukan dengan
menundukkan Islam pada adat istiadat atau apapun yang menyalahi Islam. Bagaimana
mungkin berbuah jika akar dan batang pohonnya tidak ada atau rusak dipenuhi
hama?
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ {١٠٧}
“Dan tiadalah Kami
mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107)
Menafsirkan ayat ini,
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam tafsirnya (II/62)
menegaskan: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau wahai sebaik-baiknya makhluk
dengan membawa ajaran-ajaran syari’at-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi semesta
alam, yakni untuk menjadi rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya bagi agama
ini dan kehidupan dunia.”
Syaikh Nawawi pun
menegaskan kewajiban mengamalkan keseluruhan ajaran Islam dalam kehidupan dalam
turats-nya, salah satunya Syarh Sullam al-Taufiq (hlm. 8).
Diperjelas petuah muridnya, Mbah Hasyim Asy’ari (w. 1366 H) dalam al-Mawâ’izh
yang berpesan agar kaum Muslim berpegangteguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah
bukan fanatisme buta pada golongan: ”Wahai kaum Muslim, bertakwalah kepada
Allah, kembalilah kepada Kitab Rabb kalian (al-Qur’an), beramalah sesuai dengan
Sunnah Nabi kalian. Teladani lah orang-orang shalih sebelum kalian, niscaya
kalian akan beruntung sebagaimana mereka telah meraih keberuntungan, dan
niscaya kalian akan berbahagia sebagaimana mereka berbahagia. Bertakwalah
kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian. Dan tolong-menolonglah
kalian dalam menunaikan kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam
dosa dan pelanggaran, niscaya Allah melimpahkan rahmat dan ihsan-Nya kepada
kalian.”
Kedua, Kesempurnaan
Din Islam
Keistimewaan Islam
pun mencakup kesempurnaan dan cakupan ajarannya yang menyeluruh mengatur segala
aspek kehidupan manusia, IPOLEKSOSBUDHANKAM, hal itu ditunjukkan oleh nas-nas
al-Qur’an dan praktik kehidupan Rasulullah ﷺ. Allah Swt
berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ {٨٩}
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala
sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.” (QS. Al-Nahl [16]: 89)
Lihat
pula QS. Al-Mâ’idah [5]: 3, QS. Al-Baqarah [2]: 208 dan lainnya, dimana kesempurnaan
Islam ditunjukkan secara praktis dalam kehidupan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, ini merupakan standar hakiki
keberislaman seseorang, bukan konsep beragama yang akhirnya justru mereduksi
ajaran Islam. Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Tafsîr al-Qur’ân
al-’Azhîm (III/131) ketika menafsirkan QS. Al-Mâ’idah [5]: 50 menjelaskan: ”Allah
mengingkari siapa saja yang keluar dari hukum Allah yang jelas mencakup seluruh
kebaikan, mencegah dari segala keburukan, serta mengandung keadilan (bersih)
dari segala hal selain al-Qur’an, berupa pandangan-pandangan pribadi, hawa
nafsu serta istilah-istilah (menyesatkan-pen.) yang dibuat-buat oleh manusia
tanpa mengaitkannya dengan syari’at Allah, sebagaimana kaum jahiliyyah dahulu
berhukum dengannya berupa kesesatan-kesesatan dan kejahilan-kejahilan.”
Ketiga, Universalitas
Dakwah Islam
Di sisi lain wajib
dipahami bahwa dakwah Islam bersifat universal, hal ini meniscayakan visi
dakwah tanpa melihat warna kulit (suku bangsa) dan asal-usul (wilayah),
sebagaimana firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً
لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ {٢٨}
“Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ [34]: 28)
Diperjelas QS. Al-A’râf [7] 158 dan QS.
Al-Anbiyâ’ [21]: 107. Lafal
kâffah menjadi petunjuk penting universalitas dakwah Islam, karena lafal
ini berkonotasi sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagi ke dalam pecahan (mâni’
li ajzâ’ihi min al-tafarruq), dengan kata lain frasa kâffata li al-nâs menunjukkan
bahwa dakwah Islam yang dicontohkan Rasulullah ﷺ adalah dakwah untuk seluruh umat tanpa memandang
batas-batas wilayah dan warna kulit, yang meniscayakan visi persatuan kaum Muslim
tanpa sekat-sekat ashabiyyah (fanatisme buta yang pada selain Islam).
C.
Islam dan Visi
Persatuan Kaum Muslim
Islam secara tegas
mengajarkan umatnya untuk menjunjung tinggi persatuan di atas asas akidah
Islam, dan diikat dalam institusi kepemimpinan Islam (al-Khilâfah al-Islâmiyyah),
hal itu tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan aqwâl para
ulama mu’tabar:
Pertama, Islam mewajibkan
kaum Muslim menjadikan ikatan akidah Islam sebagai pengikat kaum Muslim
(ukhuwwah Islamiyyah) (QS. Al-Hujurat [49]: 10), sebagaimana Islam pun
mengharamkan ikatan-ikatan jahiliyyah (ashabiyyah) yang bisa merusak
kesatuan kaum Muslim, seperti fanatisme buta pada kelompok, kesukuan, dan
lainnya. Islam misalnya, jelas mencela paham fanatisme buta (‘ashabiyyah),
Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى
عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا
مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ»
“Bukan dari
golongan kami, siapa saja yang menyeru kepada ‘ashabiyyah (fanatisme golongan).
Dan bukan dari golongan kami, siapa saja yang berperang atas dasar ‘ashabiyyah.
Dan bukan dari golongan kami, siapa saja yang mati diatas ‘ashabiyyah.”
(HR. Abu Dawud)
Sisi ini bertolak
belakang dengan dampak negatif yang bisa dimunculkan oleh isu “Islam Nusantara”
dengan memprovokasi munculnya aliran-aliran lainnya yang bersifat regional atau
domestik: “Islam Asia”, “Islam Prancis” dsb, dimanfaatkan oleh kaum imperialis
dan liberalis untuk memecah belah barisan kaum Muslim, mencegah persatuan
mereka dan menghujamkan imperialisme di jantung negeri-negeri kaum Muslim.
Strategi ini sejalan dengan strategi yang direkomendasikan Ariel Cohen kepada
AS untuk menghadapi gerakan Islam yang mengusung syariah dan khilafah. Cohen pernah mempublikasikan hasil
risetnya itu yang dibiayai oleh The Heritage Foundation berjudul ‘Hizb
ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia’ (lihat:
www.heritage.org). Menurut Cohen, salah satu cara melawan kelompok “Islam
radikal” adalah dengan cara membenturkan kelompok tersebut dengan kelompok “Islam
moderat”.
Kedua,
Islam mewajibkan kaum
Muslim menegakkan Khilafah sebagai institusi pemersatu kalimat kaum Muslim,
sebagaimana Islam pun mengharamkan segala tindak tanduk yang bisa memecah belah
jama’ah kaum Muslim, seperti bughat (pemberontakan) atas Khilafah.
Kenyataannya, gagasan
“Islam Nusantara” diusung oleh mereka yang selama ini aktif mengusung ide
“Islam Moderat” yang merupakan refleksi lebih halus dari “Islam Liberal”. Hal
ini meniscayakan ketidakbolehan penggunaan istilah ini, mengingat setiap
istilah yang berpotensi mereduksi ajaran Islam, sesat menyesatkan serta memecah
belah barisan kaum Muslim maka tidak boleh digunakan, sebagaimana istidlal para
ulama atas QS. Al-Baqarah [2]: 104. []
Comments
Post a Comment