Meluruskan Paradigma Sesat Soal Hijab & Prinsip Beragama
Irfan Abu Naveed al-Atsari
Membaca tulisan curhat "Gayatri" yang cukup viral di laman FB menyoal hijab dan prinsip beragama, maka saya terdorong untuk memberikan catatan kritis, sebagai tanggung jawab dakwah membela Din Islam dari segala bentuk penyesatan paradigma.
Pada prinsipnya, saya mendapati bahwa ia tampak tak memahami esensi berhijab bagi seorang muslimah. Maka perlu kita pahamkan:
Pada prinsipnya, saya mendapati bahwa ia tampak tak memahami esensi berhijab bagi seorang muslimah. Maka perlu kita pahamkan:

Dari Ibn ’Umar
–radhiyallâhu ’anhu--, ia berkata bahwa Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa
sallam- bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ
فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah)
Ingat, di antara tanda
kebaikan Islam seseorang, adalah apa yang diungkapkan dalam sabda yang mulia
Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam-:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ
المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di antara kebaikan Islam
seseorang adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Al-Tirmidzi, Ibn Majah & Ibn Hibban)
Cobalah belajar, beragama
itu soal prinsip, jika merasa sebagai muslimah maka belajar lah menghargai diri
dengan hidup di atas prinsip Islam. Jangan nodai potensi kecerdasan dengan
menjunjung tinggi pluralisme, suatu ajaran kufur yang sebenarnya menggambarkan orang
bingung yang tak memiliki sandaran dalam hidup.
Belajar lah, hijab dalam
Islam itu bukan soal mode, melainkan sebagai bukti keta'atan kepada Rabb, Penguasa
Alam Semesta. Esensi agung ini jelas jauh lebih berharga daripada motivasi
duniawi, agar tampil modis di depan manusia. Esensi ini tampaknya sulit
diterima oleh mereka yang kadung percaya diri pada kebodohannya, "ini gue,
terserah gue mau pakai baju apa", ini tipe orang yang tak tahu terima
kasih, diberi tapi jelasnya tak tahu diri.
Bagaimana mungkin orang
cerdas mau berprinsip egois seperti itu?! Pada saat yang sama setiap hembusan
nafasnya milik Allah, Rabb Penguasa Alam Semesta yang mewajibkannya berhijab
berikut syarat-syarat yang dikehendaki oleh-Nya dalam Kalam Suci-Nya,
diperjelas oleh hadits Rasul-Nya, dan disampaikan oleh para pewaris rasul-Nya,
dari generasi ke generasi dalam rentetan sanad keilmuan yang panjang dan
terjaga, lalu anda sudah belajar Islam berapa lama untuk menggugat ajaran agung
Islam soal hijab?!
Bahkan jika seseorang benar-benar
mempelajari Islam dengan cara yang tepat: berguru kepada para ulama Rabbani, dan
dilandasi niat yang tulus, maka ilmu tersebut akan membuahkan ketundukan kepada
Rabb Penguasa Semesta Alam, hal itu karena ilmu yang benar membuahkan khasyyah
(rasa ta'zhim, tunduk dan patuh) kepada Allah 'Azza wa Jalla. Cobalah sejenak
berpikir tentang firman-Nya yang agung ini:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ
مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut
kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fâthir [35]: 28)
Anda merasa menjadi ulama?
Sudah sejauh mana anda belajar ilmu-ilmu syar'i?! Ilmu al-Qur'an, ilmu hadits,
ilmu ushul fikih, ilmu fikih, dan banyak lainnya dimana setiap fan ilmu ini
harus dikuasai dari mulai tingkat pemula hingga expert.
Pengamalan hijab yang benar
sesuai ketentuan syari’at, jelasnya hanya bisa dipahami dan diamalkan oleh
muslimah cerdas yang belajar ilmunya dan lurus niatnya, sehingga tak perlu
menjadi orang yang bingung memikirkan soal mode hijab. Allâh ‘Azza wa Jalla
berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ
جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita
yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam,
atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Nûr [24]: 31)
Coba perhatikan permulaan
kalimat dalam ayat yang agung ini, ayat ini berbicara tentang kewajiban menutup
aurat dan mengenakan hijab, namun diawali dengan diksi "al-mu'minat",
yakni perempuan-perempuan yang telah beriman kepada Allah dengan memeluk akidah
Islam. Ini tak sulit untuk dipahami, menunjukkan bahwa esensi hijab adalah
keta'atan kepada Rabb Penguasa Semesta Alam, Allah 'Azza wa Jalla.
Ajaran Islam pun jelas sangat memuliakan kaum wanita, hingga auratnya pun diungkapkan secara majazi dengan istilah al-zînah. Makna (وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ) dalam ilmu balaghah merupakan majaz mursal, yang bermakna mahallu al-zînah (menurut istilah al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani dalam al-Nizhâm al-Ijtimâ’i) atau mawâdhi' al-zînah (menurut istilah Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munîr) yang artinya tempat melekatnya hiasan. Ini satu sisi batasan auratnya.
Bahkan dalam bahasa
Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam-, wanita shalihah yakni wanita cerdas
punya prinsip hidup pada Islam diumpamakan secara majazi dengan istilah khayr
mata' al-dunya (sebaik-baiknya perhiasan dunia), bukan permata, tapi wanita
shalihah:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ
مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan dan
sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
Jadi tak bernilai sama
sekali klaim memiliki nilai studi Islam yang tinggi, jika akhirnya tak menyampaikan
pada pemahaman yang benar tentang esensi hidup sebagai seorang muslim/muslimah.
Coretan curhat Gayatri, menunjukkan ketidakpahaman dirinya pada keagungan
ajaran Islam.
Nilai pada lembaran kertas
itu, tak menunjukkan kecerdasan memahami Din Islam. Coba tengok di luar sana,
tak sedikit kaum orientalis yang pintar bahasa arab, belajar banyak studi
Islam, namun itu semua tak menjadi bukti mereka lebih cerdas daripada seorang
muslim yang hanya lulusan sekolah umum, namun mau mengkaji Islam, memiliki
prinsip dalam hidup dengan berpegang teguh pada Islam.
Allah pun berfirman
mengenai orang-orang beriman dan beramal shalih:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik
makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 7)
Bandingkan dengan mereka
yang tidak beriman, hatta jika seandainya mereka adalah kaum orientalis:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا
أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang
yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka
Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk “. (QS. Al-Bayyinah [98]: 6)
:: Coretan ringan Irfan Abu
Naveed al-Atsari.
Seorang suami sekaligus
ayah yang sedang belajar menjadi orang cerdas yang punya prinsip dalam hidup.
Comments
Post a Comment